Merdeka.com - Ketua DPR RI Bambang Soesatyo mengusulkan Pemilu diubah dengan menggunakan cara e-voting. Yakni pencoblosan dilakukan lewat elektronik dan meninggalkan model lama dengan datang ke Tempat Pemilihan Suara (TPS).
BERITA TERKAIT
Hal itu disampaikannya di acara bertajuk Upaya Mereduksi Biaya Politik Dalam Pemilu dan Pilkada di Kantor Bakamla, Gedung Perintis, Jakarta Pusat, Minggu (25/11).
"Sehingga tidak diperlukan lagi kotak suara, tidak diperlukan lagi tinta, tidak diperlukan lagi nanti bilik suara yang begitu complicated. Cukup dengan memasukan nomor KTP maka bisa dihindarkan juga pendouble-an KTP," kata Bamsoet sapaan akrabnya.
"Seringkali praktek itu di mana di mana pendouble-an KTP identitas dan kemudian ada juga identitas palsu kita tolak. Kalau tidak terdaftar langsung tertolah, tidak bisa mengakses termasuk sistem suara," sambung Bamsoet.
Selain itu, kata dia, bakal ada pemilihan 415 kepala daerah Bupati dan Wali kota, serta 34 gubernur yang akan dilakukan secara serentak sesuai dengan rencana pemerintah pada tahun 2024. Jika sistem pemilihan masih pakai gaya lama, kata Bamsoet, biaya yang dikeluarkan negara terhadap penyelenggaraan Pilkada serentak akan sangat besar.
"Karena sekarang saja sudah melibatkan begitu banyak orang, begitu banyak biaya yang besar tapi masih menimbulkan konflik dan gugatan gugatan sengketa pilkada," ucapnya.
Tak hanya itu, Pemilu 2019 pun melibatkan jutaan saksi yang terdaftar dalam Bawaslu. Kemudian ribuan tenaga KPUD sampai ke TPS-TPS. Pemilu tersebut akan memakan biaya yang sangat luar biasa besar. Para calon juga harus mengeluarkan biaya sehingga terpaksa untuk melakukan politik uang.
"Mau tidak mau dia harus bertahan untuk memenangi pertarungan menggunakan strategi cara cara yang tidak bagus sebetulnya yaitu money politics," ucapnya.
"Tapi memang masyarakat kita, karena sudah berkali-kali menghadapi hal seperti ini selalu kepada kita ditanya NPWP, 'Nomor Piro Wani Piro'. Malah kemarin saya waktu reses ke daerah, dia bilang 'Pak bisa enggak UU dirubah pilkada setiap bulan sekali?' Ya rupanya kalau setiap bulan sekali ada harapan uang mengalir ke dapur RT mereka," cerita Bamsoet.
Lebih lanjut, Bamsoet mengaku dilema membedakan antara biaya politik dan politik uang. Dia menjelaskan, misalnya ketika paslon mengundang rakyat kecil untuk sosialisasi dalam satu acara. Warga tersebut otomatis bakal melepas pekerjaan hariannya yang biasa menghasilkan 100 ribu per hari.
"Kalau ikut acara kita, apakah itu sosialisasi apakah itu rapat akbar dia akan kehilangan pendapatan hariannya 100 ribu. Nah kita dengan kesadaran dan tanggung jawab memberikan uang 100 ribu kepada mereka, tapi bahwa Bawaslu bilang itu pelanggaran pemilu. Itu juga sebab confused juga. Jadi karena tidak bisa dibedakan mana cost politic dan mana money politic," paparnya.
"Kalau menurut saya kalau begitu adalah cost politik yang dibenarkan oleh UU. Dibenarkan oleh UU, sementara kalau money politic itu yang tidak boleh," sambungnya.
Politikus Golkar ini beranggapan, negara harus berani mengubah pemilu tanpa kertas suara, tanpa tinta dan dimulai dari handphone atau media elektronik. Bamsoet melihat, masyarakat Indonesia rata-rata sudah mempunyai handphone dan melek teknologi.
"Dulu 20 tahun yang lalu, kalau saya ke luar negeri saya lihat kondektur atau supir bus pakai HP itu waduh hebat banget ya. Sementara di kita masih barang mewah. Nah sekarang kita lihat di desa-desa anak anak kita sambil ngangon kebo main HP. Sambil naik kebo megang HP. Jadi begitulah bukan barang mewah lagi. Sehingga kita sudah bisa melakukan pemilihan atau Pemilu melalui HP ini," pungkas mantan wartawan itu. [ray]
Baca Lagi Aje https://www.merdeka.com/politik/tekan-biaya-politik-ketua-dpr-usul-pemilu-pakai-e-voting.htmlBagikan Berita Ini
0 Response to "Tekan Biaya Politik, Ketua DPR Usul Pemilu Pakai e-Voting"
Posting Komentar