Politikus yang kerap disapa Bamsoet ini melempar wacana pembahasan pemilihan kepala daerah yang dipilih oleh legislatif tingkat daerah.
Dia sudah memprediksi bakal ada banyak pihak yang menentang wacananya tersebut. Namun, lanjutnya, pengembalian pemilihan kepala daerah ke DPRD adalah sesuai amanah dari konstitusi.
"Kembalikan kepada keterwakilan sistem di DPRD sesuai dengan bunyi sila ke-4 Pancasila. Pasti ini akan dituding kemunduran demokrasi, tapi itulah konsekwensi kita," ujar dia.
"Mereka juga pasti akan bilang mengembalikan kembali keterwakilan dengan mencabut hak rakyat. Sebetulnya tidak, kan rakyat sudah menjadi anggota DPRD masing-masing," ucapnya.
Tak sedikit masyarakat kerap bergesekan gara-gara perbedaan pilihan. "Banyak yang head to head berdampak dengan akar rumput gesekan makin menguat makin keras," ucap dia.
Selanjutnya, opsi kedua Bamsoet menyarankan ada pemilihan dengan sistem elektronik atau e-voting. Sistem ini, kata dia, sudah banyak dilakukan di dalam negeri dengan sistem percobaan untuk pemilihan kepala desa.
"Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) sudah menerapkan ini untuk pilkades. Mereka duluan yang merasakan, di Jerman, Belanda, Brazil dan Irlandia juga demikian," kata Bamsoet.
"Jadi mungkin kalau di rumah dia bisa ti ggal masukkan NIK dan tinggal vote. Tinggal keberanian kita saja mau enggak. Tapi ini masih kita kaji semuanya," tutur dia.
Rekomendasi Parpol Rata-rata Rp5 M
Bamsoet menyatakan korupsi yang tinggi jelang pemilu dipicu oleh pengeluaran seorang calon kepala daerah dan calon legislatif yang besar.
Dia bercerita, salah satu pengeluaran yang besar ialah harga surat rekomendasi yang dikeluarkan partai.
"Untuk mendapatkan rekomendasi partai politik rata-rata Rp5 miliar. Kadang-kadang perlu 3 rekomendasi ya Rp15 miliar jadinya," katanya.
Karena itu tak heran jika suatu caleg bisa mengeluarkan biaya miliaran rupiah. Terlebih seorang calon kepala daerah, kata dia, bisa mengeluarkan dana belasan miliar rupiah
"Karena itu mereka memerlukan biaya tinggi. Caleg bisa Rp1 miliar sampai Rp2 miliar. Apalagi kalau kepala daerah bisa keluar Rp10 miliar hingga Rp50 miliar," ucap Bamsoet.
Ongkos politik yang berat ini disebut Bamsoet tidak hanya terjadi di Jakarta. Fenomena ongkos politik serupa juga terjadi di daerah seperti Jawa Tengah. Di tempat itu ia mengatakan memiliki pengalaman terkait ongkos politik yang selangit.
"Saya pengalaman di Jateng untuk bisa mendukung calon sendiri mintanya Rp200 miliar, ditawar Rp50 miliar. Tapi saya pikir uang dari mana ini. Bayangkan ada 34 provinsi ini," tutur dia.
Dengan angka hitung-hitungan seperti itu, Bamsoet tak menampik pejabat bakal putar otak untuk mengembalikan uangnya. Di sini terjadilah celah korupsi untuk mendulang keuntungan kembali.
Karena itu ia menyarankan calon legislatif yang berlaga sedianya harus sudah memiliki dompet yang mapan. Jika tidak, maka hal ini akan muncul sebagai bibit korupsi di tubuh eksekutif maupun legislatif.
"Ketika ia terpilih akan ada pilihan bagaimana uang itu kembali. Jadi hal seperti ini yang perlu ditekan," ujar dia. (ctr/dea)
Baca Lagi Aje https://www.cnnindonesia.com/nasional/20181125222714-32-349154/tekan-biaya-politik-bamsoet-wacanakan-pemilu-pakai-e-votingBagikan Berita Ini
0 Response to "Tekan Biaya Politik, Bamsoet Wacanakan Pemilu Pakai e-Voting"
Posting Komentar