Search

Percepat Pemilu Elektronik

SUDAH saatnya sistem pemilihan umum kita dibuat lebih murah buat partai politik peserta dan para calon anggota badan legislatif. Selama ini peserta pemilu harus mengais fulus dari berbagai sumber untuk membiayai aneka rupa keperluan. Kebutuhan yang paling vital tapi tergolong paling mahal adalah membayar honor saksi partai.

Kisruh soal ini merebak pekan lalu, ketika terungkap bahwa Partai Persatuan Pembangunan mewajibkan calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang mendapat nomor urut 1 menyetor uang Rp 500 juta. Dana ini bakal dialokasikan untuk membayar tak kurang dari 800 ribu saksi partai yang ditugasi mengawal suara PPP di setiap tempat pemungutan suara (TPS) pada April 2019. Total dana yang dibutuhkan partai adalah Rp 241,5 miliar.

Fenomena semacam ini tentu bukan monopoli PPP saja. Semua partai politik peserta pemilu mewajibkan calon legislatornya urunan membayar honor saksi. Bahkan, selain membantu biaya saksi dari partai, para calon legislator kerap mengerahkan saksi sendiri untuk mengamankan perolehan suara. Praktik semacam ini jelas butuh biaya tak sedikit.

Biang masalahnya ada pada panjangnya proses rekapitulasi suara dalam pemilu kita, yang mencapai 35 hari. Suara dihitung sejak TPS, lalu direkapitulasi di kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, hingga nasional. Pengalaman di masa lalu menunjukkan panjangnya proses ini membuka peluang penggelembungan dan jual-beli suara. Karena itu, setiap calon legislator merasa perlu menurunkan saksi agar suaranya tidak "dicuri".

Pemilihan umum secara elektronik bisa memecahkan masalah tersebut. Pencoblosan hingga rekapitulasi suara dengan komputer adalah pilihan inovatif yang sudah saatnya dikaji serius. Dengan sistem ini, peserta pemilu tak perlu membayar ratusan miliar rupiah biaya saksi. Rekapitulasi suara bisa dikontrol dari layar telepon pintar. Biaya besar memang dibutuhkan di awal untuk investasi peralatan, tapi setelah itu akan menurun drastis.

Apalagi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi sudah lama mengembangkan teknologi e-voting. Diuji pertama kali pada 2008, dalam pemilihan kepala desa di Kabupaten Jembrana, Bali, terakhir teknologi ini dipakai dalam pemilihan kepala desa serentak di 172 desa di Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah, pada September 2018. Evaluasi menunjukkan akurasi sistem mencapai 100 persen. Tingkat kesalahan nol persen.

Banyak negara di dunia sudah menggunakan teknologi pemilu elektronik dengan hasil memuaskan. Selain lebih murah dan cepat, proses autentifikasi pemilih akurat. Mesin bisa memastikan hanya warga yang berhak memilih yang dapat mengakses dan memberikan suara. Teknologi juga menyederhanakan cara memilih sehingga kesalahan pencoblosan bisa dikurangi dengan drastis.

Sayangnya, proyek kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP), yang dicanangkan pemerintah sejak sepuluh tahun lalu, kini porak-poranda akibat korupsi. Akibatnya, sistem administrasi kependudukan dengan nomor identitas tunggal sampai sekarang belum juga tuntas. Padahal implementasi pemilu elektronik tak bisa dilakukan tanpa sistem ini. Karena itu, Kementerian Dalam Negeri harus berkomitmen untuk segera menyelesaikan proyek penting ini, tentu kali ini tanpa korupsi.

Dengan pemilu elektronik yang berbiaya murah, para calon legislator dan partai politik bisa berkonsentrasi menawarkan gagasan dan program kerja yang paling cocok untuk pemilih. Mereka tak perlu sibuk mencari bohir atau pinjam duit kanan-kiri. Harapannya, jika kelak terpilih, mereka pun jadi kebal dari godaan menilap anggaran.

Let's block ads! (Why?)

Baca Lagi Aje https://kolom.tempo.co/read/1138323/percepat-pemilu-elektronik

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Percepat Pemilu Elektronik"

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.