TIGA hari pasca-penetapan daftar calon tetap (DCT) anggota DPR, DPRD provinsi dan kabupaten/kota oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), tahapan kampanye sudah dimulai.
Masa tahapan kampanye yang berlangsung selama 203 hari tentu tidak boleh disia-siakan, khususnya oleh para calon anggota legislatif (caleg) perempuan yang berlaga pada Pemilu 2019.
Persentase perempuan yang menjadi caleg pada Pemilu 2019 sedikit mengalami peningkatan dibandingkan dengan Pemilu 2014. Dari sisi jumlah dan persentase caleg DPR, misalnya, dari total 6.607 caleg pada Pemilu 2014, sebanyak 2.467 di antaranya perempuan atau 37,67 persen.
Adapun pada Pemilu 2019, persentase keterwakilan perempuan mencapai 40,08 persen, yakni ada 3.200 perempuan dari 7.985 caleg yang memperebutkan 575 kursi DPR (Kompas, 9/10/2018).
Namun, perjalanan untuk menempati keterwakilan 30 persen di parlemen masih sangat panjang. Ada banyak tantangan besar yang harus dihadapi oleh kaum perempuan.
Salah satu tantangannya adalah masih sedikit caleg perempuan yang berada di nomor urut teratas (Perludem, 2018). Perempuan lebih dominan ada di nomor urut 3 dan 6, Yang menempati nomor urut 1 hanyalah 19 persen.
Perlu kita akui bahwa selama ini keterwakilan perempuan di partai politik hanyalah sebagai pelengkap dalam mengisi ruang–ruang kosong. Siapa pun yang berkenan untuk dicalonkan, maka dimasukkanlah untuk memenuhi nomor urut yang belum terisi. Apalagi, per daerah pemilihan (dapil) yang memang mengharuskan adanya keterwakilan perempuan.
Partai politik tidak berpikir apakah layak atau tidak, yang jelas memiliki kemauan dulu untuk mengisi ruang kosong itu. Barangkali, perempuan yang kapasitasnya betul-betul memadai masih bisa dihitung.
Padahal, peningkatan persentase perempuan di parlemen memiliki peluang cukup besar. Dengan adanya kebijakan afirmasi, misalnya, jumlah perempuan yang terpilih terbukti bertambah.
Mestinya, jika sedari awal partai politik di berbagai tingkatan memiliki orientasi pemenuhan kuota 30 persen perempuan di parlemen, sudah seharusnya melakukan pengaderan dengan matang kepada para caleg perempuan.
Sayangnya, hal itu disia-siakan oleh partai politik. Hanya beberapa partai politik yang melakukan penjaringan para caleg secara serius, sisanya mereka melakukan rekruitmen seadanya, bahkan asal ada. Maka tak ayal bila caleg perempuan dipasang di nomor urut yang sangat tidak signifikan untuk menang.
Atas dasar hal tersebut, selama masa kampanye caleg perempuan tentunya harus memiliki strategi tepat untuk bisa meraih pemilih.
Jika dilihat dari jumlah DPT yang telah ditetapkan KPU, pemilih perempuan sebanyak 92,9 juta dari total pemilih 185 juta jiwa. Ini artinya, perempuan bisa meraup kemenangan cukup signifikan.
Pertama, visi-misi yang diusung oleh para caleg perempuan lebih diutamakan pada isu perempuan dan anak. Ada banyak isu perempuan dan anak yang dapat disajikan untuk bisa meraih simpati pemilih perempuan bahkan juga laki-laki. Misalnya soal kesehatan, keluarga, pendidikan, pengarusutamaan gender, tenaga kerja, usaha kecil dan menengah.
Visi-misi tersebut diharapkan bisa lebih konkret dalam menjawab persoalan-persoalan di dapilnya. Maka dari itu, penting kiranya para caleg perempuan menguasai berbagai hal wawasan, agar bisa tepat sasaran dan sesuai dengan harapan.
Kedua, melihat persaingan yang cukup ketat, para caleg perempuan perlu bekerja keras untuk bisa berkompetisi secara sehat dengan incumbent, pendatang baru, internal partai politik dan kaum laki-laki. Salah satu kerja keras yang dapat dilakukan adalah dengan metode kampanye inovatif, kreatif, dan edukatif.
Hal ini akan mampu meraih partisipasi generasi milenial yang lebih tertarik pada metode kampanye "Zaman Now". Contohnya dengan menggunakan dan memanfaatkan media sosial dengan baik.
Caleg perempuan perlu memperhatikan bagaimana pemilih milenial melakukan eksplorasi diri dan konten pada platform digital media massa yang dianggap sebagai dunia nyata bagi mereka.
Ketiga, caleg perempuan harus melakukan pemetaan politik yang tepat. Pemetaan politik bisa diketahui melalui survei ataupun riset lain yang terpercaya untuk mengetahui demografi pemilih dan peta dukungan pemilih di dapil yang bersangkutan (Suryati, 2018).
Selain itu, analisis pembagian zona kampanye, baik internal atau pun eksternal partai politik, juga harus diperhatikan.
Hal ini bisa menjadi strategi para caleg perempuan dalam menentukan titik kampanye sesuai isu dan kebutuhan dapil.
Cara kampanye yang dilakukan tentu harus berbeda dari calon lain agar tidak dipandang klasik. Apalagi, tipe pemilih sekarang tidak lagi melihat jenis kelamin sebagai dasar utama menentukan pilihannya, tetapi melihat siapa calonnya, siapa yang lebih dapat mereka percaya untuk mengantarkan harapan–harapan rakyat.
Oleh karena itu, ketika turun ke dapil, caleg perempuan perlu melakukan diskusi yang lebih dekat secara emosional atau hadir dalam kegiatan masyarakat untuk menyerap aspirasi pemilih dan meningkatkan trust pemilih kepada caleg perempuan. Ini lebih efektif dilaksanakan dalam menggalang jaringan di akar rumput.
Keempat, para caleg perempuan di nomor urut 3 ke bawah tidak perlu putus asa. Teruslah melakukan hal terbaik selama tahapan kampanye, tentunya, dengan biaya kampanye yang ada.
Banyak cara yang bisa dilakukan untuk meraih pemilih yang tidak membutuhkan biaya besar, asalkan ada kemauan untuk benar–benar memajukan kaum perempuan.
Semoga semua pihak lebih obyektif melihat caleg perempuan yang tidak hanya dilihat dari sisi negatifnya saja. Kondisi perempuan hanya bisa dimengerti oleh sesama kaum perempuan.
Untuk itu, keberadaan perempuan untuk mengambil beberapa kebijakan strategis yang bisa menguntungkan kaum perempuan itu sendiri amatlah penting.
Tidak semua caleg laki-laki bagus, begitu juga dengan caleg perempuan. Untuk itu, janganlah mengesampingkan caleg perempuan. Pilihlah karena potensi dan kapasitasnya.
Baca Lagi Aje https://nasional.kompas.com/read/2018/10/16/08120061/strategi-kampanye-caleg-perempuan-pada-pemilu-2019
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Strategi Kampanye Caleg Perempuan pada Pemilu 2019"
Posting Komentar