Search

Politik Kalimantan Barat dalam Pusaran Pemilu - Mata Mata Politik

Di tengah pusaran pemilu, terdapat provinsi yang harus turut diperhatikan: Kalimantan Barat. Kalimantan Barat, meskipun dianggap oleh banyak orang sebagai wilayah dan provinsi pinggiran, memberikan pemahaman penting terkait pola proses politik yang berada di luar wilayah Jakarta. Dampak dan pentingnya politik nasional dan pemilihan presiden yang akan datang akan tumbuh signifikan ketika suara di luar Jawa diperhitungkan.

Oleh: Jonathan Chen (RSIS/Eurasia Review)

Setelah kampanye kontroversial yang melibatkan sentimen Suku, Agama, Ras, Antar-Golongan (SARA) yang terkadang dimainkan oleh kelompok-kelompok kepentingan berbasis etnis dan aktor-aktor pihak ketiga, pasangan Sutarmidji-Norsan muncul sebagai pemenang dalam Pemilihan Gubernur Kalimantan Barat dengan keunggulan sepuluh persen dibanding saingannya Karolin-Gidot.

Walau Sutarmidji sebelumnya menyatakan bahwa “tidak ada alasan untuk tidak mendukung Jokowi”, namun perubahan sentimen di Kalimantan Barat tidak selalu sejalan dengan antusiasmenya terhadap petahana itu.

Salah satu yang dukungannya sulit dipahami adalah Cornelis, mantan gubernur dan Ketua Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) di Kalimantan Barat, yang putrinya Karolin mengakui kekalahan dari Sutarmidji, meskipun enggan. Sejak itu, Cornelis mengumumkan bahwa ia telah mengundurkan diri dari menjadi Kepala Tim Kampanye Daerah Jokowi-Ma’ruf.

Baca Juga: Sandungan Lain bagi Jokowi Jelang Pilpres 2019: Pemilih Golput

Oportunisme Politik

Posisinya digantikan oleh Hildi Hamid, mantan Bupati Kayong Utara dari Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura). Hildi juga merupakan anak didik dari miliarder Pontianak dan politisi kawakan, Oesman Sapta Odang. Masih pulih dari kekalahannya, Cornelis memiliki pengaruh luar biasa di antara penduduk Dayak (terdiri hampir 35 persen dari populasi) terutama yang bermarkas di Kabupaten Landak dan Bengkayang.

Menyusul pelaksanaan pemilu legislatif serentak dengan pemilihan presiden pada bulan April 2019, oportunisme politik masih menjadi alasan kuat dalam mendapatkan dukungan dari oligarki. Cornelis sendiri mencalonkan diri untuk kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sementara Oesman mencalonkan diri untuk kursi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang mewakili Kalimantan Barat.

Mereka bukan satu-satunya nama terkemuka yang mencalonkan diri untuk kursi di Jakarta. Yang lainnya termasuk Adrianus Asia Sidot (mantan Bupati Landak), Milton Crosby (mantan Bupati Sintang yang juga maju melawan Karolin dalam pemilihan gubernur), dan Lazarus (anggota DPR dengan pengikut kuat di jantung Dayak).

Debat Pilpres 2019: Jokowi-Prabowo Gagal Tunjukkan Komitmen Berantas Korupsi

Kandidat presiden petahana Joko “Jokowi” Widodo dan capres Prabowo Subianto saling menyapa dalam debat pilpres di Jakarta, Indonesia, 17 Januari 2019. (Foto: EPA/Adi Weda)

Elit dan Akar Rumput

Keluarga kerajaan Pontianak juga tidak bersatu dalam dukungan mereka terhadap calon presiden masing-masing. Sultan Pontianak saat ini, Mahmud Melvin Alkadrie, serta bagian dari keluarga Alkadrie yang memiliki hubungan dekat dengan ulama kontroversial Habib Rizieq dan organisasi Front Pembela Islam (FPI) setempat, adalah pendukung setia Prabowo Subianto.

Di sisi lain, anggota keluarga yang berasal dari atau terkait erat dengan Sultan yang berkuasa terakhir—Syarif Hamid Alkadrie II—sebelum ia digulingkan pada tahun 1950 sebagai tersangka federalis, sebagian besar mendukung Jokowi dan kebijakannya. Karena Kalimantan Barat secara historis berada di bawah kekuasaan militer selama periode Suharto—dari tahun 1966 hingga 1998—latar belakang militer Prabowo dan hubungan masa lalunya dengan intelijen bagi mereka adalah representasi dari Orde Baru Indonesia yang otoriter.

Di tingkat bupati dan wali kota, banyak yang telah mengumumkan dukungan mereka untuk Jokowi sebagai presiden. Itu termasuk: Paolus Hadi (Bupati Sanggau), Tjhai Chui Mie (Wali Kota Singkawang), Citra Duani (Bupati Kayong Utara), Antonius L Ain Pamero (Wakil Bupati Kapuas Hulu), dan Hairiah (Wakil Bupati Sambas).

Meski begitu, terlepas dari pengikut kuat di tingkat elit untuk Jokowi, dukungan akar rumput tampaknya masih kurang pasti. Dukungan untuk salah satu kandidat presiden dapat dilihat dalam perpecahan perkotaan-pedesaan. Secara umum, Muslim Melayu yang tinggal terutama di kota-kota pesisir kritis terhadap ketidakmampuan pemerintah Jokowi atas kenaikan inflasi dalam komoditas (sembako).

Di sisi lain, populasi pedalaman pedesaan—yang sebagian besar adalah suku Dayak—telah mendapat manfaat dari proyek infrastruktur berskala besar, seperti proyek jalan lintas perbatasan yang menghubungkan provinsi Kalimantan Barat, Timur, dan Utara—dan dengan demikian lebih condong ke arah dukungan untuk Jokowi.

Politik Pusat dan Pinggiran

Politik di ibu kota negara—terutama aksi Protes Bela Islam 212 pada 2 Desember 2016—telah membawa dampak nyata setelah pemilihan regional di Kalimantan Barat. Ketegangan etnis yang lemah dipolitisasi dan diprovokasi dengan tujuan mengumpulkan suara. Walau ketegangan mereda dengan cepat di Kalimantan Barat pasca-pemilu, namun pertentangan atas hasil pemilu dan dorongan oleh beberapa aktor untuk memainkan politik identitas masih ada di tingkat dasar.

Misalnya, prosesi yang melibatkan tarian singa (barongsai) dan parade yang merupakan fitur klasik dari festival tahunan Cap Goh Meh di Pontianak, telah menimbulkan kontroversi pasca-pemilihan gubernur 2018.

Festival ini ditentang oleh organisasi masyarakat (Ormas) seperti Persatuan Forum Komunikasi Pemuda Melayu (PFKPM) dan Pemuda Pancasila (PP).

Firman Muntaco—Pemimpin PP saat ini di Kalimantan Barat—mengimbau pemerintah daerah untuk tidak membiarkan prosesi ini terjadi pada Februari 2019, dengan alasan sensitivitas menjelang pemilu legislatif dan presiden yang akan datang.

Baca Juga: Pilpres 2019: Bisakah Golput Selamatkan Demokrasi Indonesia?

Presiden Joko Widodo dan Ibu Negara Iriana berpose dengan para siswa sekolah dasar di Kalimantan: Desentralisasi telah memberdayakan pemerintah daerah untuk mendorong pendidikan agama. (Foto: Reuters)

Presiden Joko Widodo dan Ibu Negara Iriana berpose dengan para siswa sekolah dasar di Kalimantan: Desentralisasi telah memberdayakan pemerintah daerah untuk mendorong pendidikan agama. (Foto: Reuters)

Pembagian sebagai Dorongan Politik

Terlepas dari tindakan-tindakan ini, mungkin hadiah terbesar dalam perselisihan politik ini adalah potensi bagi Kalimantan Barat—sebuah provinsi yang luas—untuk terbagi lebih lanjut menjadi divisi-divisi administratif baru (pemekaran).

Walau masalah pembagian administratif masih ditempatkan di bawah moratorium untuk jangka waktu yang tidak terbatas, namun potensinya sebagai dorongan politik masih kuat di Kalimantan Barat. Dalam upayanya untuk menjadi gubernur, Sutarmidji mendesak untuk dipecah dengan maksud mengamankan suara di bidang-bidang tertentu yang menguntungkan.

Walau pembagian administratif diinginkan secara luas di semua daerah pemilihan di Kalimantan Barat, namun batas dan ruang lingkupnya menjadi masalah konflik yang melintasi berbagai pihak dan etnis yang berkepentingan. Walau Kabupaten Kapuas Raya dan sekitarnya telah diprioritaskan sebagai provinsi baru yang berpotensi untuk dipecah, namun “provinsi-provinsi” saingan bermunculan.

Ini termasuk provinsi “Kalimantan Raya” yang tumpang tindih dengan bagian dari Kabupaten Kapuas Raya, Provinsi “Tanjung Pura” yang akan mencakup sebagian besar kabupaten Ketapang di selatan, dan provinsi “Sambas Raya/Darussalam” yang mencerminkan Kesultanan Sambas yang sekarang sudah tidak ada.

Cukup jelas bahwa pembagian administratif ini tidak sembarangan—mereka memetakan ruang yang menguntungkan penerima manfaat tertentu. Misalnya, “Kalimantan Raya” terletak di wilayah Cornelis, sementara “Kapuas Raya”—yang terdiri dari campuran Dayak dan Melayu—berada di bawah Milton, saingan politik lama Cornelis.

Kalimantan Barat, meskipun dianggap oleh banyak orang sebagai wilayah dan provinsi pinggiran, memberikan pemahaman penting terkait pola proses politik yang berada di luar wilayah Jakarta. Dampak dan pentingnya politik nasional dan pemilihan presiden yang akan datang akan tumbuh signifikan ketika suara di luar Jawa diperhitungkan.

Jonathan Chen adalah Associate Research Fellow di Program Indonesia, Sekolah Studi Internasional S. Rajaratnam, RSIS, Universitas Teknologi Nanyang (NTU), Singapura. Ini adalah bagian dari Seri RSIS pada Pemilihan Presiden Indonesia tahun 2019.

Keterangan foto utama: Pasar terapung di Kalimantan Barat, Indonesia. (Foto: via Eurasia Review)

Politik Kalimantan Barat dalam Pusaran Pemilu

Let's block ads! (Why?)

Baca Lagi Aje https://www.matamatapolitik.com/analisis-politik-kalimantan-barat-dalam-pusaran-pemilu/

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Politik Kalimantan Barat dalam Pusaran Pemilu - Mata Mata Politik"

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.