Search

Etika dan Estetika Kampanye Pemilu - Investor Daily

Etika dan Estetika Kampanye Pemilu
Oleh Sumbo Tinarbuko | Sabtu, 8 Desember 2018 | 23:41

Jelang perhetalan Pemilu 2019, para calon legislatif (caleg) berikut tim suksesnya dengan dukungan politik aktivis partai politik (parpol) secara serampangan mematok daerah kekuasaannya. Hal itu dilakukan untuk menandai daerah pemilihan (dapil) kekuasaannya. Setelah menemukan area kekuasaan, mereka kemudian menempatkan dan memasang iklan politik serta atribut parpol dengan sesuka hatinya.

Atas nama pengukuhan dapil kekuasaannya, mereka memprivatisasi seluruh ruang publik. Lebih spesifik lagi, mereka memprivatisasi jalan raya berikut ruas jalan simpangannya yang dianggapnya strategis. Sependek akal rasionalitasnya, mereka melakukan hal itu untuk menempatkan penanda visual iklan politik miliknya. Sudah menjadi rahasia umum, penanda visual iklan politik milik para caleg selalu divisualkan dalam wujud media iklan luar ruang. Di antaranya: rontek, spanduk, umbul-umbul, poster, stiker, baliho, billboard, dan bendera parpol.

Kekerasan Simbolik

Mereka sengaja melakukan kekerasan simbolik dengan menebarkan iklan politik di ruang publik yang dimitoskannya memiliki nilai daya ganggu visual. Ruang patembayatan sosial itu kemudian didaku menjadi milik pribadi sang caleg beserta parpol peserta Pemilu 2019.

Kekerasan simbolik yang sengaja mereka lakukan di ruang publik sama sekali tidak mengindahkan etika dan estetika kampanye Pemilu 2019 yang telah disepakati bersama. Padahal inti dari kesepatan itu sejatinya ingin menempatkan aspek etika dan estetika kampanye pemilu sebagai bagian integral dari sebuah dekorasi kota yang artistic dan menawan. Dampak visual atas pelanggaran kesepakatan tersebut, menyebabkan panorama visual kota kehilangan roh keelokannya.

Tata visual panorama kota menjadi berantakan. Penampakan visual kota, yang dikepung sampah visual iklan politik milik caleg yang kebingungan mencari suara, menjadi terlihat kotor dan kumuh. Berdasarkan realitas sosial atas karut-marut penempatan iklan politik milik caleg dan atribut parpol yang mengemuka selama ini, seyogianya segera dilakukan upaya penertiban oleh kedua pihak.

Semuanya itu sebaiknya dilaksanakan bersama antara pemerintah dan partai politik. Upaya paling simpatik dalam konteks ini, penertiban itu dilakukan atas kesadaran sendiri dari peserta pesta demokrasi, yakni: tim sukses dan calon legislative peserta Pemilu 2019 yang dengan sengaja menebar iklan politik di ruang publik.

Tetapi, manakala tidak segera dilakukan penertiban atas pemasangan atribut kampanye yang semrawut, menyebabkan suasana kota akan menjadi sumpek. Karena faktanya, kebanyakan billboard, poster, baliho, spanduk, umbul-umbul milik caleg dan bendera partai politik sudah menjadi sampah visual yang membuat tata ruang kota secara visual berantakan tidak terkendali.

Kalau hal itu dibiarkan bergulir liar, dikhawatirkan akan menjadi teror visual yang berujung pada bencana sosial di ruang patembayatan sosial warga masyarakat.  Masalahnya sekarang, bagaimana membangun kesadaran bersama untuk mengatur penempatan iklan politik milik para caleg. Begitu pula menumbuhkembangkan kesadaran bersama untuk pemasangan atribut parpol didasarkan pada aturan perundang-undangan yang ada.

Hal itu wajib dijalankan secara bersama-sama dan bertanggung jawab demi mewujudkan ekologi visual dan estetika kota secara bertanggung jawab. Ketika hal itu dapat diwujudkan oleh caleg, tim sukses dan partai politik, maka penyelenggaraan kampanye pemilu dengan menempatkan iklan politik para caleg dan memasang atribut parpol, yang dipasang dengan tertib, indah, dan nyaman dipandang mata, akan menciptakan untaian dekorasi kota yang artistik. Ujungnya akan tercipta etika dan estetika kampanye Pemilu yang nyeni, komunikatif serta menawan hati jutaan calon pemilih.

Sampah Visual

Dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, di sana dijabarkan: semua peserta pemilu harus memperhatikan estetika dalam menyebarkan bahan kampanye. Kalau aturan itu dijunjung tinggi, maka estetika kampanye pemilu dengan sangat artistic dapat diparadekan di seantero negeri ini.

Selain itu, estetika kampanye pemilu akan terjaga estetikanya secara elegan. Keberadaannya ditopang pasal 298 ayat (2) dan (3) dari UU Pemilu. Di sana telah diatur tata cara dan tata kelola pemasangan alat peraga kampanye pemilu. Dalam ayat (2) ditetapkan aturan sebagai berikut: pemasangan alat peraga kampanye pemilu oleh pelaksana kampanye pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan mempertimbangkan etika, estetika, kebersihan, dan keindahan kota atau kawasan setempat sesuai dengan peraturan perundangundangan. Sementara itu dalam ayat (3) ditegaskan,

“Pemasangan alat peraga kampanye pemilu pada tempat yang menjadi milik perseorangan atau badan swasta harus dengan izin pemilik tempat tersebut”.

Mengacu hasil catatan Komunitas Reresik Sampah Visual, berdasar tinjauan lapangan di setiap kabupaten dan kota, menemukan pelanggaran alat peraga kampanye berupa iklan politik caleg, bendera dan atribut partai politik. Pelanggaran tersebut dilakukan antara lain memasang alat peraga kampanye berupa iklan politik caleg dan bendera parpol yang dipasang di ruang publik. Ditebarkan di taman kota, jembatan dan trotoar. Diikatkan di tiang listrik, tiang telepon, tiang rambu lalu lintas dan tiang lampu penerangan jalan. Yang paling menyedihkan, iklan politik milik caleg peserta Pemilu dipakukan di batang pohon yang ada di sepanjang jalan.

Masih berdasarkan catatan dari Komunitas Reresik Sampah Visual, pelaku pelanggaran perundangundangan pemilu ternyata berasal dari parpol papan atas. Mereka banyak melakukan pelanggaran pemasangan alat peraga kampanye pemilu di ruang publik. Ironisnya, pelanggaran tersebut dilakukan oleh mayoritas parpol besar yang sudah berpengalaman mengikuti pesta coblosan pemilu periode lima tahun sebelumnya.

Kemerdekaan Visual

Atas peristiwa pelanggaran UU Pemilu yang mengakibatkan bermunculannya sampah visual iklan politik, masyarakat pun secara terbuka mengambil sikap tegas. Mereka lalu berkeluh kesah lewat medsos. Hal itu dilakukan karena masyarakat merasa terganggu kemerdekaan visualnya di ruang publik. Mereka juga rajin menulis di media massa perihal gangguan visual yang disebabkan tebaran sampah visual iklan politik di ruang publik.

Hal itu dilakukan karena mereka mulai jengah dengan perilaku sang caleg, tim sukses dan parpol yang senang menebar sampah visual iklan politik di ruang publik. Para caleg yang kebingungan mencari suara itu dengan sengaja memasang atribut parpol dan iklan politik miliknya tanpa mengindahkan estetika keindahan kota. Mereka pun rupanya enggan mengikuti kaidah baku ekologi visual sebuah kota demi melahirkan rasa keindahan dan kenyamanan lingkungan, serta menjaga ruang hati masyarakat penghuni perkotaan.

Ujungnya, para caleg, tim sukses dan elite parpol sengaja memberangus kemerdekaan visual yang menjadi hak sosial warga sipil di ruang patembayatan sosial. Pemberangusan hak kemerdekaan visual tersebut mereka lakukan dengan menempatkan “teroris visual” di ruang publik. Para caleg memberi tugas kepada “teroris visual” untuk memporakporandakan tata kelola visual sebuah kota. Hal itu dilakukannya dengan cara menebar sampah visual iklan politik milik sang caleg di ruang publik.

Pada titik inilah, kemerdekaan visual milik warga sipil menjadi terganggu. Gangguan-gangguan visual seperti itu senantiasa didengungkan secara masif. Ujungnya, bencana sosial pun menimpa warga masyarakat tanpa ada yang mau menolongnya.

Sumbo Tinarbuko, Inisiator Reresik Sampah Visual dan Dosen Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta

Let's block ads! (Why?)

Baca Lagi Aje http://id.beritasatu.com/opini/etika-dan-estetika-kampanye-pemilu/183358

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Etika dan Estetika Kampanye Pemilu - Investor Daily"

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.