Laporan Linda Juliawanti, Teatrika Handiko Putri, dan Margith Juita Damanik
Jakarta, IDN Times - Penangkapan Komisioner KPUD Kabupaten Garut Agus Sudrajad dan Ketua Panwaslu Kabupaten Garut Heri Hasan Basri oleh Satgas Anti Politik Uang Baraeskrim Polri, Sabtu 24 Februari lalu, dianggap mencoreng penyelenggara pemilu.
Keduanya disangka menerima suap demi meloloskan pasangan calon dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) Kabupatan Garut. Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI menjatuhkan sanksi berupa pemberhentian sementara kepada keduanya.
Ketua KPU RI Arief Budiman menyebutkan pihaknya telah memberhentikan kedua anggotanya itu. Menurut dia, peristiwa tersebut telah menodai semangat dan integritas pemilu yang jujur dan adil.
"KPU RI mulai minggu ini telah resmi memberhentikan sementara yang bersangkutan dari tugasnya, sebagai penyelenggara pemilihan di daerah tersebut," ujar Arief dalam keterangan tertulisnya, Minggu 25 Februari 2018.
KPU juga memproses pelaporan kasus pelanggaran etik ini ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), untuk segera disidang dan mendapatkan sanksi tegas.
Arief mengimbau kepada jajaran KPU di daerah hingga Panitia Pemungutan Suara (PPS), agar tetap menjaga integritas dan independensinya selama menjalankan tugas.
Apalagi jelang Pilkada 2018.
"KPU RI juga menghormati proses hukum bagi yang bersangkutan, yang saat ini berada di Polda Jawa Barat. Dan memastikan pelaksanaan pemilihan gubernur Jawa Barat dan pemilihan bupati Garut tidak terganggu oleh peristiwa ini," kata dia.
1. DKPP menerima 76 kasus pelanggaran yang melibatkan 163 penyelenggara
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menyebutkan pelanggaran yang dilakukan penyelenggara pemilu tak hanya sekali terjadi selama 2018. Selain kasus suap pada anggota KPUD dan Ketua Panwaslu Kabupaten Garut, ada sejumlah pelanggaran lainnya.
DKPP baru-baru ini merilis data pelanggaran yang dilakukan penyelenggara pemilu selama Januari hingga Februari 2018. Anggota DKPP Ida Budhiati mengatakan sepanjang periode tersebut, pihaknya menangani 76 kasus pelanggaran kode etik yang melibatkan unsur penyelenggara pemilu.
"Data DKPP ini perlu menjadi bahan renungan dan refleksi bagi penyelenggara pemilu, karena sejak Januari hingga 22 Februari DKPP telah memeriksa 76 perkara melibatkan 163 orang penyelenggara," ujar Ida saat ditemui di kantor DKPP, Selasa 27 Februari 2018.
Berdasarkan temuan tersebut, kata Ida, DKPP langsung melakukan pemeriksaan lebih lanjut. Hasilnya, lebih dari 50 persen terbukti telah melakukan pelanggaran.
"Setelah diperiksa, DKPP meyimpulkan bahwa 61,2 persen terbukti melanggar kode etik," ujar dia.
Sebanyak 11 penyelenggara pemilu diberhentikan tetap. Adapun sanksi yang diterima penyelenggara pemilu yang terbukti melakukan pelanggaran kode etik berfariasi. Selain sanksi berupa peringatan, ada pula yang diberhentikan sementara hingga tetap.
"Dari mereka yang terbukti melanggar kode etik, 37 orang diperingatkan keras, 27 orang diperingatkan, tiga orang berhenti sementara, 11 orang diberhentikan tetap, tiga orang diberhentikan dari jabatannya sebagai ketua. Lalu ada yang rehabilitasi yaitu 76 orang," jelas Ida.
Dia mengingatkan agar penyelenggara pemilu seharusnya tetap pada profesionalismenya dan berintegritas. Sebab, jika tidak, akan meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap pelaksanaan pemilu maupun pilkada yang bersih, jujur, dan adil.
"Ini tahapan masih awal, jadi masih ada banyak waktu bagi penyelenggara untuk melakukan refleksi. Melakukan pembenahan dan introspeksi," kata Ida.
Baca juga: Bawaslu Putuskan PBB Jadi Peserta Pemilu 2019, Begini Tanggapan KPU
2. KPU diminta berhati-hati mengambil keputusan
Kekalahan KPU RI dalam sengketa pemilu di Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) juga turut menjadi sorotan publik. Kekalahan lembaga penyelenggara pemilu atas Partai Bulan Bintang (PBB) itu sudah keempat kalinya.
Kekalahan KPU di antaranya dalam sidang sengketa melawan JR Saragih dalam Pilkada Sumatera Utara, dan PBB sebagai peserta Pemilu 2019.
Karena itu, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengingatkan agar KPU tidak mengambil keputusan sembarangan, agar tidak mengalami kekalahan dalam sengketa Bawaslu. Kekalahan ini membuat kepercayaan publik pada KPU semakin berkurang.
Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu juga berharap tak ada lagi stigma buruk terhadap KPU, dan tetap menjaga netralitas serta kepentingan nasional.
“Negara ini dilawan oleh rakyatnya karena rakyatnya kritis semua. Karena itu hati-hatilah bekerja, karena ini masa depan konsolidasi demokrasi,” ujar Fahri, di Gedung DPR RI, Senin 5 Februari lalu.
Menurut Fahri memasuki tahun politik yang memiliki jiwa kompetitif dan persaingan, KPU diharapkan tidak terseret untuk berpihak pada kelompok tertentu.
“Jangan mau gitu loh, saya pengen betul KPU itu hati-hati. Kita sudah menyelenggarakan demokrasi itu, tolong dijagalah netralitas dan lain sebagainya itu,” ucap dia.
Terkait netralitas KPU, Fahri mengimbau agar Komisi II DPR RI mulai berani menindaklanjuti atau menginvestigas apa yang terjadi internal KPU.
Menyinggung PBB yang sempat tak lolos sebagai peserta pemilu sebelumnya, Fahri menganggap sedikit konyol. Karena partai yang dipimpin pakar tata hukum negara Yusril Ihza Mahendra itu adalah partai yang sudah jelas strukturnya, dan sudah ada sejak 1999. Tidak masuk akal jika patai ini dihilangkan sebagai peserta pemilu 2019.
“Saya justru ini, bahkan ada partai yang saya tidak tahu, di daerah itu tidak ada, tapi tiba-tiba bisa menang, mendapat nomor punggung ikut pemilu. Itu aneh,” kata dia.
Baca juga: Kapolri sebut 70 Persen Masalah Pemilu Terkait Penyelanggara, Ini Tanggapan Bawaslu
3. KPU menganggap ini hanya masalah cara pandang
Komisioner KPU Ilham Saputra mengatkan pihaknya melakukan evaluasi besar-besaran setelah mengalami kekalahan berturut-turut.
"Kita akan lakukan evaluasi besar-besaran lah ya terkait verifikasi ini. Prinsipnya kami akan mencoba mengevaluasi agar di kemudian hari tidak ada kesalahan administratif atau kesalahan yang kita anggap multi intrepretatif terkait peraturan yang ada," kata Ilham saat ditemui di Hotel Aryaduta, Gambir, Jakarta Pusat, Senin 5 Maret lalu.
Ilham tak terlalu memikirkan atas tanggapan Ketua DPP Partai Amanat Nasional (PAN) Yandri Susanto yang mengatakan, KPU tidak cermat dalam proses verifikasi partai politik peserta Pemilu.
Menurut dia, Yandri maupun Fahri Hamzah tak bisa menyimpulkan KPU tidak cermat karena mengalami kekalahan. Sebab jika hendak dibandingkan, jumlah kekalahan jauh lebih kecil dibandingkan kemenangan KPU RI.
"Itu diitung juga gak berapa kali kita yang menang? Jangan-jangan yang kalah saja yang diitung seperti di Sumut (JR Saragih) dan PBB saja. Coba deh diitung lagi dan dibuat persentasenya, kira-kira KPU lebih banyak menang atau kalah?" tanya dia.
"Di Bone kita menang, Enrekang menang, di Luwu, NTB, Jabar, Garut, juga di beberapa kabupaten kota lain juga menang," Ilham melanjutkan.
Ilham menuturkan, KPU siap jika seandainya dipanggil anggota Komisi II DPR RI untuk mempertanggungjawabkan kinerjanya dalam penyelenggaraan Pilkada 2018 maupun Pemilu 2019.
"Kita kan mitra kerja dengan Komisi II DPR, jadi tentu saja kita siap dipanggil. Toh, berdasarkan survei kita masih dipercaya sebanyak 75,6 persen oleh masyarakat sebagai penyelenggara pemilu yang bisa netral dan nonpartisan," Ilham memungkasi.
Hal senada juga disampaikan Komisioner KPU Wahyu Setiawan. Menurut dia wacana benar dan salah atau menang dan kalah tidak tepat dalam hal ini.
"Semua yang kami kerjakan dapat dipertanggungjawabkan dalam perundang-undangan maupun Peraturan KPU (PKPU), sehingga tidak tepat jika menilai putusan Bawaslu sebagai kemenangan atau kekalahan pihak lain (PBB)," ujar Wahyu di Kantor KPU, Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat, Selasa 6 Maret 2018.
Menurut Wahyu keputusan ini sekadar perbedaan cara pandangan. Sebab, KPU berpegangan pada aturan partai politik lama dan wajib diverifikasi, seperti keputusan Mahkamah Konstitusi (MK).
"Tidak ada putusan Bawaslu yang menyatakan verifikasi di Manokwari Selatan itu salah, karena Bawaslu berpedoman pada hasil verifikasi sebelum putusan MK keluar. Ini bukan ukuran tapi perspektif untuk saling menghormati, KPU adalah lembaga yang sangat menghormati hukum dan asas kepastian hukum," kata dia.
Terkait PBB, KPU dan Bawaslu juga pernah beda cara pandang saat pendaftaran partai politik. Menurut Komisioner KPU Hasyim Ashari, dalam undang-undang menyatakan parpol mendaftar harus menyerahkan dokumen persyaratan secara lengkap, tapi Bawaslu berpendapat lain.
"Yang digunakan KPU saat pendaftaran adalah persyaratan lengkap atau tidak, ketika KPU menyatakan tidak lengkap, waktu itu ada sembilan mengajukan permohonan ke Bawaslu. Kemudian Bawaslu memerintahkan untuk yang tidak lengkap diterima, kemudian diikutkan dalam proses adminstrasi. Ini karena persoalan cara pandang saja," ujar Hasyim dalam kesempatan yang sama.
Hasyim mengatakan perbedaan cara pandang ini juga terjadi dengan putusan PBB, dalam Surat Keputusan (SK) KPU Nomor 227 soal verifikasi untuk partai lama di 2014 di daerah otonomi baru seperti di Papua, ketika dinyatakan memenuhi syarat sebenarnya tidak perlu verifikasi.
Namun, karena keputusan MK mewajibkan partai politik lama juga harus diverifikasi ulang, maka mestinya hasil verifikasi sebelumnya tidak berlaku.
"Maka dalam pandangan kami yang fair dan adil harusnya dilakukan verifikasi ulang di Manokwari Selatan, sehingga ada keadilan dan pembuktian bahwa verifikasi faktual, ada pembuktian PBB betul-betul memenuhi syarat sebagai peserta pemilu," ucap Hasyim.
Meski demikian, Hasyim mengatakan pihaknya akan melakukan evaluasi terhadap putusan Bawaslu.
"Kalau kita baca putusan Bawaslu dan kita saksikan persidangan-persidangan, ada banyak hal dan yang penting, juga adalah kita cermati pertimbangan Bawaslu dalam mengeluarkan putusan," kata dia.
KPU juga akan melakukan evaluasi internal dan konsolidasi dengan menggelar rapat pimpinan dengan Ketua KPUD di seluruh provinsi dan kabupaten/kota.
"Besok kami akan laksanakan rapim dengan ketua KPUD daerah secara internal. Kami harap yang terjadi sekarang tidak mengurangi semangat kami untuk melaksanakan pemilu yang jujur dan adil," kata Hasyim.
4. Persoalan terbesar ada di penyelenggaraan pemilu level terbawah
Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengajak KPU untuk saling bersinergi menyelenggarakan pemilu. Karena sebentar lagi akan digelar Pilkada serentak di 171 daerah pada 27 Juni 2018 dan Pilpres 2019.
Tito menyatakan hal itu lantaran permasalah pemilu paling besar ada pada pihak penyelenggara, yakni di level kelurahan hingga kecamatan.
“70 persen itu berasal dari masalah tim penyelenggara,” kata Tito di Ruang Rapat Utama Mabes Polri Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan, Selasa 27 Maret lalu.
Tito menyebut masalah tersebut berdasarkan pengalaman yang pernah ia temui selama menjabat di daerah. Karena itu, ia menyarankan agar KPU membuat konsep program yang membuat Pemilu berjalan baik.
Tito mengusulkan agar KPU memiliki standar yang tinggi dalam merekrut orang-orang yang akan dijadikan sebagai penyelenggara di setiap Tempat Pemungutan Suara (TPS). Karena dari situlah dugaan kecurangan-kecurangan awal muncul.
“Nah, mereka bukan orang-orang adhoc, hanya lima tahun sekali selesai. Permasalahannya kalau yang permanen aneh-aneh, sanksi jelas diproses pecat segala macem. Kalau kawan-kawan ini dia lima tahun sekali berpikir begini, kapan lagi nih lima tahun sekali ini,” ujar Kapolri.
Tito menyatakan Polri siap membantu KPU mengamankan proses Pilkada. Sebab Kepolisian memiliki jaringan organisasi hingga ke desa-desa terpencil. Karena itu, pihaknya mengajak KPU untuk saling bersinergi membuat kesepakatan bersama menciptakan Pemilu yang aman dan netral.
“Polri mendorong agar jaringan KPU ini mampu bekerja lebih efektif maka itu pake MoU. MoU untuk membantu mereka bekerja netral dan mampu melaksanakan tugasnya dengan dukungan dari Polri,” kata Tito.
Ketua Bawaslu Abhan menanggapi langsung anggapan Kapolri. Menurut dia, mekanisme penyelenggaraan Pemilu secara khusus telah dilaksanakan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
"Kami terima kasih atas masukan-masukan dari Polri soal netralitas penyelenggara pemilu. Tapi saya kira mekanisme untuk penyelenggara yang salah kan sudah ada di dewan kode etik, DKPP," ujar Abhan saat ditemui di Kantor Bawaslu, Selasa 27 Maret lalu.
Abhan menyebutkan, Bawaslu sebagai salah satu penyelenggara pemilu telah berupaya semaksimal mungkin, untuk mengatasi adanya kesalahan dalam mekanisme pemilu. Di antaranya membina seluruh anggota Panwaslu di daerah.
"Tentu kami terus berupaya melakukan pembinaan internal terus-menerus. Mekanisme sudah ada, bahkan sudah beberapa pengawas dan jajaran kami yang sudah kami berhentikan juga ada, tapi mekamisme secara khusus ada di DKPP," ujar dia.
Abhan berharap agar publik juga turut mengawasi penyelenggaraan pesta demokrasi, baik Pilkada Serentak maupun Pemilu Presiden yang akan datang.
"Saya kira partisipasi publik juga untuk sama-sama mengawasi penyelenggara itu penting baik Panwaslu atau KPU, kami harap begitu," tutupnya.
Ilham juga tak membantah ucapan Tito. Namun, dia mempertanyakan asal mula angka 70 persen.
"Banyak faktor yang kemudian menyebabkan ada persoalan dalam Pemilu dan Pilkada. Kalau ada kesalahan dari kami (selaku penyelenggara) memang iya, kami gak menutup mata. Tapi 70 persen angka dari mana itu? Tentu harus didalami lagi," ujar Ilham di Kantor KPU, Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat, Selasa 27 Maret lalu.
Ilham mengatakan tidak semua permasalahan dalam Pemilu menjadi bentuk kesalahan. Sebab, sejauh ini pihaknya telah melakukan yang terbaik agar proses pesta demokrasi berjalan baik.
"Ketidakpuasan calon yang kalah terhadap kinerja kita apakah itu diitung sebagai bagian kesalahan penyelenggara? Padahal kami sudah melakukan sesuai prosedur perundang-undangan," kata dia.
"Kecuali memang ada putusan-putusan secara hukum terbukti kami dari penyelenggara melakukan kecurangan atau melakukan hal-hal yang menyebabkan potensi konflik, lalu Pilkada atau Pemilu tersebut bisa dianggap gagal. Nah, itu yang harus dicek kembali. Apa parameternya 70 persen gagalnya pemilu adalah penyelenggara tersebut," dia melanjutkan.
Ilham memastikan KPU akan berupaya lebih maksimal agar mengurangi kesalahan. Misalnya, pada penyelenggaraan Pilkada 2018 dan Pemilu 2019, sejumlah aturan telah diperbarui.
"Misalnya undang-undang soal TPS itu sudah ada perubahan, kita jika sudah ada penyelenggara di petugas TPS atau PTK, itu dua periode udah gak boleh, dievaluasi itu. Nantinya petugas-petugas TPS anak-anak muda, itu kemudian nanti akan kita coba berusaha memperbaiki itu," ujar dia.
Ketua KPU Arief Budiman menuturkan pihaknya sudah melakukan yang terbaik dalam penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada. Bahkan, pihaknya sudah bersinegri dengan 11 perguruan tinggi negeri (PTN) terbaik di Indonesia, untuk mendidik mahasiswa paham Pemilu.
"Di tempat kita untuk mengelola tata Pemilu dilakukan pendidikan formal di kampus terbaik. Kalau di luar negeri gak ada," ujar Arief dalam sambutannya saat penandatanganan MoU dengan Universitas Sumatera Utara (USU) tentang pendidikan dan pelatihan Sumber Daya Manusia (SDM), Selasa 27 Maret 2018.
Menurut Arief Indonesia akan menjadi kiblat bagi orang-orang dunia yang ingin tahu tata kelola Pemilu. "Saya pikir sinergi kita berdampak baik. Ini kelihatan dalam acara Pemilu sudah banyak negara yang mau dan bersedia belajar di Indonesia."
"Bahkan, 2016 kita jadi tuan rumah pertemuan KPU dan pemerhati Pemilu se-dunia. Amerika, Arab, dan sejumlah beberapa daerah hadir," lanjut Arief.
5. Menimbulkan dugaan tidak netral dan tidak profesional pada penyelenggara pemilu
Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai, tindakan kedua oknum penyelenggara pemilu itu berpotensi menimbulkan dugaan tidak netral dan tidak profesional.
"Namun, jika sudah sampai menerima suap dan melakukan tindakan atas kewenangan yang melekat padanya, untuk menguntungkan salah satu peserta pilkada, adalah perbuatan yang tidak bisa ditoleransi," ujar Titi saat dihubungi terpisah.
Titi menilai tindakan anggota KPU dan Ketua Panawaslu Garut ini melanggar Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017, tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilu, khususnya Pasal 8 huruf a, “Dalam melaksanakan prinsip mandiri, penyelenggara pemilu bersikap dan bertindak netral atau tidak memihak terhadap partai politik, calon, pasangan calon, dan/atau peserta pemilu."
Tindakan Agus Sudrajad dan Heri Hasan Basri ini juga diduga melanggar Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 Pasal 8 huruf g, “Dalam melaksanakan prinsip mandiri, penyelenggara pemilu menolak untuk menerima uang, barang, dan/atau jasa, janji atau pemberian lainnya dalam kegiatan tertentu secara langsung maupun tidak langsung dari peserta pemilu, calon anggota DPR, DPD, dan DPRD, dan tim kampanye kecuali dari sumber APBN/ABPD sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.”
Langkah pemberhentian kepada anggota KPU dan Ketua Panwaslu Kabupaten Garut ini dianggap menjadi pilihan tepat. "Tujuannya untuk memastikan tugas-tugas pelaksanaan tahapan Pilkada 2018 di Kabupaten Garut berjalan dengan baik," kata Titi.
Pada kesempatan berbeda, Titi menyoroti soal rekrutmen calon penyelenggara pemilu, sebagai solusi untuk menjaga marwah penyelenggara pemilu yang berintegritas.
Titi mengakui, KPU RI memang menekankan integritas, kompetensi, kepemimpinan, dan independensi sebagai parameter dalam menyeleksi calon anggota KPU. Integritas jadi mantra yang disabdakan untuk diikuti, ditaati, dan dijalankan.
"Ini sangat wajar, mengingat satu perbedaan mendasar antara kedok legitimasi demokrasi dan legitimasi demokrasi murni terletak pada integritas pemilu (Global Commission on Elections, Democracy and Security, 2012)," tulis Titi seperti dikutip di laman perludem.org, Sabtu (31/3).
Integritas menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan, kejujuran.
Maka, kata Titi, seleksi punya tugas besar menghasilkan calon anggota KPU yang punya mutu, sifat, potensi, dan kemampuan untuk bisa menjaga kehormatan, kewibawaan, dan kejujuran lembaga penyelenggara pemilu.
Sekarang bagaimana proses seleksi bisa memastikan soal integritas? Menurut Titi KPU RI harus mempersiapkan beberapa perangkat agar dipedomani tim seleksi dalam bekerja.
"Misalnya, pertama kali dalam sejarah seleksi KPU, tes tulis bagi calon dilakukan dalam sistem gugur dengan menggunakan metode computer assisted test (CAT). Tes berbasis komputerisasi ini bisa menjamin kerahasiaan dan kualitas seleksi, sebab soal tes diacak namun dengan tingkat kesulitan yang sama. Soal yang digunakan dikelola langsung KPU RI dan diunduh di komputer peserta paling cepat dua jam sebelum pelaksanaan tes," kata dia.
Dengan begitu, kata Titi, peserta langsung mengetahui hasil tes setelah selesai mengerjakan soal. Hasil tes tulis akan diumumkan hari itu juga. Dengan CAT diharapkan didapat standar minimal kompetensi dasar penyelenggara pemilu.
Timsel akan menetapkan maksimal 49 peserta yang lolos tes tulis dan selanjutnya ikut tes psikologi oleh institusi penguji kredibel. Atas hasil tes psikologi, Timsel menetapkan paling banyak 42 orang untuk lanjut ke tahap berikutnya, yaitu tes kesehatan dan wawancara.
Setelah tes kesehatan dan wawancara, Timsel memilih 14 calon yang kemudian akan mengikuti uji kelayakan dan kepatutan oleh KPU RI. KPU RI lah yang menentukan tujuh nama terpilih anggota KPUD.
Lalu bagaimana strategi agar bisa menghasilkan calon-calon terbaik? Titi menyarankan tiga kunci yakni keterbukaan, transparansi, dan partisipasi.
"Timsel mutlak terbuka dan transparan atas keseluruhan proses seleksi. Mulai dari jadwal, nama pendaftar, latar belakangnya, metode pengambilan keputusan, maupun perkembangan tahapan pendaftaran," kata dia.
Titi berpendapat keterbukaan dan transparansi akan memicu partisipasi pemangku kepentingan. Partisipasi untuk mendaftar sebagai calon, partisipasi mengawal dan mengawasi proses, juga partisipasi memberikan tanggapan dan masukan atas nama-nama calon terdaftar.
Berdasar ketentuan seleksi, kata dia, Timsel diwajibkan membuka ruang bagi masukan dan tanggapan masyarakat hampir sepanjang waktu proses seleksi. Hal ini menggambarkan bahwa KPU RI serius menghendaki agar nama-nama yang disetorkan kepada mereka adalah produk terbaik hasil seleksi.
"Nama-nama yang mampu menjaga muruah, kewibawaan, harkat, dan kejujuran lembaga penyelenggara pemilu. Dan lagi-lagi, itu hanya mungkin kalau publik peduli, mau ambil bagian mengawal rangkaian proses yang ada," kata dia.
Titi pun pesimis penyelenggara pemilu bisa menjaga kredibilitas, jika masyarakat juga tidak peduli pada calon penyelenggara yang akan diseleksi. "Karena nya, dorong yang terbaik untuk ikut seleksi, cermati dan kritisi rekam jejak para pendaftar. Terus jaga, kawal, pantau dan awasi proses seleksi."
Baca juga: KPU Tak Menutup Mata Soal Temuan Kesalahan Pemilu Disebabkan Penyelenggara
Baca Lagi Aje https://news.idntimes.com/indonesia/rochmanudin-wijaya/menakar-integritas-penyelenggara-pemilu-1Bagikan Berita Ini
0 Response to "Menakar Integritas Penyelenggara Pemilu"
Posting Komentar