DEWASA ini banyak pihak mempertanyakan mengenai terpidana untuk kasus tertentu, misalnya terpidana korupsi apakah diperbolehkan untuk maju dalam Pemilu Anggota DPR, DPD, ataupun DPRD.
Dalam UU Pilkada atau bahkan pengaturan lainnya mengenai pengisian jabatan publik pun ada norma yang serupa maksudnya dengan yang ada di dalam UU Pemilu.
Norma terpidana dalam UU Pilkada sejatinya dulu ketika dibahas sebetulnya menyesuaikan dengan apa yang diatur dalam UU Pileg saat itu yakni UU 8/2012, baik batang tubuh maupun penjelasannya. Adapun norma dalam UU Pilkada itu pula mengalami perubahan-perubahan.
Terakhir pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016 adalah hasil perubahan dari norma sebelumnya yang telah ada dan berlaku yakni dalam Pasal 7 huruf g UU 8/2015 yang menyatakan sebagai berikut:
"tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih."
Norma dalam Pasal 7 huruf g UU 8/2015 yang mengatur mengenai Pilkada ini sejatinya adalah norma yang persis sama dengan norma yang ada dalam UU 8/2012 yang mengatur pemilihan anggota DPR, DPD, maupun DPRD (UU Pileg).
Norma tersebut diatur dalam Pasal 12 huruf g dan Pasal 51 ayat (1) huruf g. Bahkan penjelasannya pun dibuat sama persis yakni memiliki rumusan penjelasan:
"Persyaratan ini tidak berlaku bagi seseorang yang telah selesai menjalankan pidananya, terhitung 5 (lima) tahun sebelum yang bersangkutan ditetapkan sebagai bakal calon dalam pemilihan jabatan publik yang dipilih (elected official) dan yang bersangkutan mengemukakan secara jujur dan terbuka kepada publik bahwa yang bersangkutan pernah dipidana serta bukan sebagai pelaku kejahatan berulang-ulang. Orang yang dipidana penjara karena alasan politik dikecualikan dari ketentuan ini."
Bahwa hal yang menjadi alasan sehingga norma di batang tubuh dan penjelasan di UU Pileg dan UU 8/2015 ini bisa sama persis adalah dikarenakan dalam pembentukan UU 8/2015, pembentuk UU merujuk kepada definisi norma dalam UU 8/2012 yang mengatur mengenai Pileg tersebut. Hal ini juga sesuai dengan kelaziman berdasarkan UU 12/2011, lampiran II angka 103 dinyatakan bahwa:
“Apabila rumusan definisi dari suatu Peraturan Perundang-undangan dirumuskan kembali dalam Peraturan Perundang-undangan yang akan dibentuk, rumusan definisi tersebut harus sama dengan rumusan definisi dalam Peraturan Perundang-undangan yang telah berlaku tersebut."
Bahwa sebagaimana diketahui bahwa norma dalam Pasal 7 huruf g UU 8/2015 dimana terdapat batasan yakni ancaman penjara pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih adalah norma sama persis yang berlaku dalam:
•Norma dalam Pasal 12 huruf g dan Pasal 51 ayat (1) huruf g UU 8/2012;
•Norma dalam Pasal 5 huruf n UU 42/2008 mengenai syarat bagi calon Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres);
•Norma dalam syarat umum bagi penyelenggara Pemilu yang diatur dalam UU 15/2011 yakni misalnya syarat bagi KPU/KPU Provinsi/KPU Kabupaten/Kota di Pasal 11 huruf j;
•Norma dalam pengaturan Pilkada sebelumnya yakni di UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah di Pasal 58 huruf f;
• Norma dalam pengaturan Pileg sebelumnya yakni di UU 10/2008 di Pasal 12 huruf g dan Pasal 51 ayat (1) huruf g; dan
•Norma dalam UU 23/2003 di Pasal 6 huruf t,
Bahkan norma batasan ancaman penjara pidana penjara lima tahun atau lebih juga diatur dalam UU terkait jabatan publik lainnya yakni seperti misalnya:
•UU 24/2003 yang mengatur mengenai syarat bagi Hakim Konstitusi di Pasal 16 ayat (1) huruf d;
•UU 5/2004 yang mengatur mengenai syarat bagi Hakim Agung di Pasal 7 ayat (2) huruf d;
•UU 15/2006 yang mengatur mengenai syarat bagi anggota BPK di Pasal 13 huruf g; dan
•di berbagai persyaratan bagi pengisian jabatan publik lainnya, sehingga dapat disimpulkan norma ini adalah umum.
Adapun maksud dari norma lazim (ada batasan lima tahun sebagai acuan) ini dalam UU 8/2015 adalah dalam Pilkada masih diberikan keadilan bahwa hanyalah yang pernah menjadi terpidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dengan minimal ancaman pidana sebesar lima tahun sajalah yang tidak diperbolehkan untuk mencalonkan diri.
Bahwa kemudian dalam perubahan selanjutnya dari UU Pilkada yakni UU 10/2016, norma mengenai peryaratan bagi terpidana ini menjadi hilang batasan lima tahun sebagai acuan pidana yang dianggap berat ini. Hal ini sesuai dengan usulan rumusan yang diajukan oleh pemerintah dalam ruu perubahan kedua UU 1/2015 dengan alasan menjalankan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015.
Bahwa norma terkait peryaratan bagi terpidana untuk dapat bisa maju dalam Pilkada ini pula telah beberapa kali diuji di MK dalam sejumlah putusan yang terkait, yakni mulai dari Putusan MK No. 14-17/PUU-V/2007, Putusan MK No. 4/PUU-VII/2009, Putusan MK No. 42/PUU-XIII/2015, Putusan MK No. 51/PUU-XIV/2016, dan terakhir Putusan MK No. 71/PUU-XIV/2016.
Bahwa esensi utama dari norma yang berulang kali diuji ini yakni untuk bertujuan untuk mengatur bagi terpidana ataupun mantan terpidana dalam persyaratan ini adalah sebagai norma yang umum yang juga hingga kini masih diberlakukan sebagai suatu persyaratan untuk dapat menduduki suatu jabatan tertentu, baik itu jabatan politis maupun jabatan publik.
Norma ini memiliki semangat yang semata-mata untuk mendapatkan pemimpin yang memiliki rekam jejak (track record) yang tidak tercela. Sejumlah norma dalam persyaratan ini secara keseluruhan diharapkan dapat menjaring pemimpin atau pemangku jabatan publik yang baik, memiliki integritas dan kapabilitas moral yang memadai, mendapatkan kepercayaan dari masyarakat, benar-benar bersih, jujur, dan berwibawa dengan standar persyaratan yang objektif.
Bahwa terkait Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016 yang diuji oleh Pemohon ini pula, pada pokoknya telah muncul Putusan MK yang terkait yakni Putusan MK No. 71/PUU-XIV/2016 yang pada amar putusannya di angka 2 (dua), MK telah merumuskan ulang Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016 menjadi sebagai berikut:
"Tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana."
Oleh karena itu sepatutnya jikalau sudah ada norma baru yang diperintahkan oleh MK melalui Putusan MK No. 71/PUU-XIV/2016, maka sejatinya seharusnya UU Pemilu menyesuaikan. Namun demikian apa yang ada di UU Pemilu terbaru di UU 7/2017 adalah norma lama yang ada di UU 8/2012 yang juga dahulu dipergunakan pula dalam UU Pilkada karena menyesuaikan dengan UU 8/2012. Dan sebagaimana kita ketahui norma di UU Pilkada itu pula telah beberapa kali diuji dengan putusan MK terakhir yakni Putusan MK No. 71/PUU-XIV/2016.
Dalam Pasal 240 Ayat (1) huruf g, UU 7/2017 tersebut sudah ada mensyaratkan calon anggota DPR dan DPRD tidak pernah dipenjara akibat melakukan tindak pidana yang ancaman hukumannya lima tahun atau lebih.
Syarat itu tidak berlaku apabila terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik pernah menjadi narapidana. Apakah mantan narapidana yang di bawah lima tahun juga tidak boleh ikut dalam kontes pesta demokrasi? Hal ini jika dilarang juga oleh KPU sungguh KPU sudah melanggar UU dalam membuat peraturannya.[****]
Djafar Ruliansyah Lubis, SH, MH
Advocat/Praktisi Hukum
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Terpidana Menjadi Calon Pemilu"
Posting Komentar