Oleh AHMAD RIYADI, Pegiat Akademi Literasi Ansor, bekerja di Komisi Penyiaran Indonesia Pusat
---
Tangan Kotor di Balik Layar mengisahkan fenomena politik 2024. Pesan korektifnya, jangan-jangan, kaum terdidik, cendekiawan, intelektual, dan sejenisnya itu tidak bersifat organik dengan keberlangsungan demokrasi.
JIKA platform digital dan media sosial melalui unggahan dan berita demi berita akan melumat peristiwa sebelumnya di kemudian hari, barangkali buku bisa mencegahnya. Kendati tidak bisa dibukanya dengan sentuhan jari atau terbaring di atas layar sentuh, buku memanjakan kedekatan. Pun tidak ada istilah jejak digital. Apa yang ada di buku melekat dan mengakar dalam ingatan.
Baca Juga: UKT Mahal, Makan Siang Gratis
Sama halnya, terlebih novel, mempunyai daya intim dengan pembacanya. Alur cerita, tokoh, dan seterusnya menjadi hiasan kata demi kata yang menguatkan substansi untuk selalu menempel memberikan kesan dalam pikiran.
Dalam lipatan pemilu, sekencang-kencangnya terpasung jejak digital mengenai pemberitaan tentang ”cawe-cawe”, dinasti politik, pengarahan pejabat, dan seterusnya, akan beralih dengan isu-isu lain. Bisa jadi akan menjadi isu yang lebih privat atau isu sensasional lainnya di momen politik selanjutnya.
Bagi penulis, tulisan-tulisan di berita akan cepat kabur corak dan warnanya. Sehingga ia hanya menjadi penimpal atau kontra dengan pihak-pihak yang nantinya tidak lagi sekubu. Tetapi, buku menjadi pengokoh bangunan perspektif dan paradigma. Dan inilah peran buku, ia mengonstruksi pikiran dengan komprehensif tidak parsial.
Baca Juga: DPR Nilai Protes Biaya UKT Mahal Lambat Direspons Kemendikbudristek
Tangan Kotor di Balik Layar mengisahkan fenomena politik tahun 2024. Dia sedikit banyak memotret bagaimana para elite menyusun strategi dan menggalang opini publik agar kekuasaan dapat dipertahankan dan program-program dilanjutkan dengan mulus tanpa ada sengketa konflik horizontal yang rumit, apalagi sampai terjadi kekerasan.
”Saya belum bisa mengatakan semuanya. Tapi tolong, kalau ada para tokoh, mau kepala desa sampai setingkat gubernur atau yang lebih tinggi lagi, tolong kalau ada orang yang bertanya soal pilpres nanti, Mas Ikhsan bilang, pilpres yang baik adalah pilpres yang damai dan tenang. Masyarakat kita membutuhkan ketenangan. Kalau gegeran dan panas, kasihan masyarakat…” (hal 88).
Narasi itu muncul dalam percakapan Pak Carik dengan Mas Ikhsan. Untuk yang pertama, pembaca tentu menangkap siapa yang dimaksud. Tapi, siapa Mas Ikhsan?
Baca Juga: Film Jelek sebagai Perlawanan
Tokoh itulah yang menarik dalam novel ini sekaligus menjadi hub cerita yang menggabungkan banyak narasi kepentingan beserta karakter dari beragam tokoh lain. Terutama berkenaan dengan tokoh-tokoh yang terlibat dalam perhelatan pesta demokrasi.
Baca Lagi Aje https://news.google.com/rss/articles/CBMiaGh0dHBzOi8vd3d3Lmphd2Fwb3MuY29tL2J1a3UvMDE0Njg5NTA3L3RpYXAtcGVtaWx1LWtvay1uYXJhc2lueWEtbWVtaWxpaC15YW5nLXRlcmJhaWstZGFyaS15YW5nLXRlcmJ1cnVr0gFsaHR0cHM6Ly93d3cuamF3YXBvcy5jb20vYnVrdS9hbXAvMDE0Njg5NTA3L3RpYXAtcGVtaWx1LWtvay1uYXJhc2lueWEtbWVtaWxpaC15YW5nLXRlcmJhaWstZGFyaS15YW5nLXRlcmJ1cnVr?oc=5Bagikan Berita Ini
0 Response to "Tiap Pemilu kok Narasinya Memilih Yang Terbaik dari Yang Terburuk - Jawa Pos - JawaPos"
Posting Komentar