Bagi Ahmad Valiant Prawiratama, pelajar sekolah menengah atas (SMA) di Jakarta Selatan, media sosial menjadi andalan untuk mendapat informasi terkini mengenai pemilihan umum (pemilu) pada 14 Februari. Pada pemilu kali ini, remaja putra yang akrab dipanggil Wira itu, akan perdana melaksanakan hak pilihnya.
“Kalau untuk info [pemilu] sih ya social media. Bisa TikTok, bisa Twitter, bisa IG (Instagram). Walaupun mungkin bukan terbaik, tapi untuk para remaja itu mungkin tempat yang paling pertama dipakai untuk cari informasi sih,” tutur remaja berusia 17 tahun itu.
Wira tidak sendiri. Elva Marsha Gracia, pelajar SMA Negeri (SMAN) 3 Pangkal Pinang, Provinsi Bangka Belitung, juga lebih memilih TikTok untuk mengikuti informasi pemilu.
“Kalau menurutku pribadi, dari TikTok lebih mudah dimengerti karena lewat video,” tutur remaja putri kepada VOA melalui sambungan telepon.
Senada, Kenobi Haidar Akmal, 17 tahun, juga memilih mencari informasi pemilu dari YouTube dan Instagram daripada dari media lain, seperti televisi atau radio.
“Soalnya televisi isinya gosip artis semua. Kalau dari radio, hanya untuk mendengarkan lagu,” ujar Keno, panggilan akrab pelajar SMA di Kota Tangerang Selatan, Banten.
Wira, Elva, dan Keno adalah segelintir dari puluhan jutaan pemilih pemula yang akan berpartisipasi dalam pemilu Februari mendatang. Menurut data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), pemilih berusia 17 hingga 40 tahun menyumbang lebih dari separuh dari total 204,8 juta pemilih terdaftar untuk pemilu 2024.
Pilihan mereka untuk mencari info pemilu dari media sosial mencerminkan tren yang tertangkap survei oleh Centre for Strategic and International Studies (CSIS) pada 2023. Menurut survei tersebut, pemanfaatan media sosial sebagai sumber informasi pemilu meningkat menjadi 59 persen pada 2022, dibandingkan 39,5 persen pada 2018.
Dalam surveinya, wadah pemikir (think tank) mengatakan meningkatnya penggunaan media sosial untuk sumber informasi anak muda tak lepas dari membaiknya infrastruktur digital di Indonesia.
“Ini membuat generasi muda sekarang cenderung memiliki literasi yang lebih baik terhadap informasi. Selain itu, teknologi juga memungkinkan anak-anak muda mengakses sumber-sumber informasi alternatif sebagai penyeimbang informasi yang disajikan oleh media-media konvensional,” kata Arya Fernandes, Edbert Gani Suryahudaya, dan Noory Okthariza yang menulis survei CSIS berjudul “Pemilih Muda Dalam Pemilihan Umum 2024: Dinamis, Adaptif dan Responsif”.
CSIS menggelar survei tersebut pada 8 Agustus hingga 13 Agustus 2022 yang melibatkan 1.200 responden dari 34 provinsi.
Audiens televisi turun, radio menciut
Sementara itu, anak muda makin meninggalkan televisi dan radio sebagai sumber informasi. Survei itu menyebut akses anak muda terhadap televisi turun menjadi 32 persen pada 2022, dari 41,3 persen pada 2018.
“Mengapa saya jarang nonton TV karena saya tahu media menjadi instrumen yang tidak lagi independen. Pemilik media juga bermain untuk mendukung salah satu paslon sehingga informasinya cenderung tidak objektif,” ujar Muhammad Yasir Abbad, pemilih muda di Yogyakarta, kepada VOA.
Sementara itu, audiens untuk sumber informasi lainnya, seperti surat kabar, radio, dan podcast, makin menciut. Untuk radio, misalnya, survei CSIS menunjukkan bahwa jumlah anak muda yang mengakses radio hanya 0,3 persen pada survei 2022, turun dari 0,8 persen pada 2018.
Meski pendengar radio menciut, radio masih diandalkan oleh masyarakat yang tidak punya atau minim akses ke media sosial karena satu dan lain hal.
Yuhyun Akmilan Muskanan, remaja penyandang tunanetra yang tinggal di Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), menjadi bagian dari segelintir pemilih pemula yang mengandalkan radio. Siaran berita dari Radio Republik Indonesia (RRI) menjadi andalan Yuhyun untuk memperoleh informasi terbaru tentang pemilu.
“Kita (saya-red) sebagai tunanetra tidak terlalu mengetahui model HP sekarang. Jadi kurang informasi. Kami banyak tidak tahu. Hanya mendengarkan di radio,” kata pemuda berusia 18 tahun itu kepada VOA saat diwawancarai melalui Zoom.
Hoaks, bias, dan informasi dangkal
Bagi para pemilih pemula itu, mengarungi belantara informasi pemilu di media sosial yang kerap dipenuhi dengan hoaks dan berita palsu juga menjadi tantangan sendiri.
Wira tak menampik bahwa info-info di media sosial kerap bias. Belum lagi, media sosial dipenuhi banyak opini yang bertentangan dan cenderung tidak imbang.
“(Info) yang paling bagus sebenarnya dari orang tua yang sudah tahu. YouTube atau Google juga punya informasi terbaik yang terlengkap dan paling sedikit biasnya. Cuma tempat-tempat kayak TikTok dan Twitter, walau mungkin ada biasnya, itu tempat yang menurut saya sih, paling digestible (mudah dicerna-red) informasinya,” tutur remaja berusia 17 tahun itu.
Keno juga sependapat dengan Wira.
“Harus hati-hati dengan informasi pemilu di YouTube. Soalnya politik sering dijadikan bercandaan. Jadi dicek lebih teliti. Kadang informasinya tidak lengkap,” tutur Keno.
Selain hoaks dan berita palsu, kualitas informasi pemilu juga menjadi persoalan tersendiri.
Yasir menilai informasi mengenai capres kerap tidak penting dan tidak cukup menjadi bahan pertimbangan bagi pemilih muda untuk memilih calon pemimpin. Contohnya, informasi status Prabowo sebagai duda cerai, Anies yang digambarkan sebagai keturunan Arab, atau Ganjar yang dicitrakan ramah dan penyayang keluarga.
“Kami kaum muda lebih banyak membutuhkan informasi bagaimana tokoh-tokoh ini bekerja, bagaimana mereka menentukan postur anggaran pemerintahan, dan strategi operasional yang melibatkan banyak aktor di pemerintahan,” tutur Yasir yang kerap membuat konten-konten Instagram yang membahas tentang berbagai isu politik.
Sayangnya, imbuh Yasir, pemerintah, peserta pemilu, dan bahkan KPU belum mampu menghadirkan informasi yang relevan.
Sebaliknya, dia melihat ada upaya dari para jurnalis independen dan para peneliti yang peduli terhadap kemajuan demokrasi untuk menyajikan informasi rekam jejak para peserta pemilu yang lebih tepercaya. Namun, informasi tersebut belum dikemas agar ramah pembaca, terutama Generasi Z yang lebih memilih informasi instan.
“Setidaknya cukup membantu buat dijadikan bahan pertimbangan untuk kami, pemilih muda, menentukan pilihan,” ujar pencipta konten yang baru saja meraih gelar sarjana Hubungan Internasional dari Universitas Muhammadiyah, Yogyakarta.
Isu penting terlewatkan
Terkait program-program yang diusung oleh para peserta pemilu, termasuk oleh tiga pasangan capres, para pemilih muda merasa program-program tersebut belum mencakup isu-isu yang sangat relevan bagi mereka di masa depan.
Yasir menyebut sejumlah isu yang dihadapi oleh para pemilih pemula, antara lain kesehatan mental dan ekonomi.
“Saat ini, kami anak-anak muda juga banyak dikatakan sebagai generasi sandwich yang dalam hal ini punya beban ekonomi ganda dan diprediksi akan sulit membeli rumah,” ujar Yasir.
Generasi sandwich merujuk kepada anak muda yang bekerja tidak saja untuk menghidupi dirinya, tetapi juga menjadi pencari nafkah bagi orang tua dan saudara-saudaranya.
Meski tak ada data pasti mengenai berapa persentase Gen-Z yang termasuk generasi sandwich, data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2023 menunjukkan hampir 83 persen rumah tangga lanjut usia menggantungkan pembiayaan dari pekerjaan mereka sendiri dan anggota rumah tangga yang bekerja.
Pendapat Yasir sejalan dengan survei CSIS yang menyebut 44,4 persen responden menaruh perhatian pada aspek peningkatan, antara lain terkait akses terhadap lapangan kerja. Saat survei dilakukan, sebesar 15,4 persen responden mengaku sedang tidak bekerja.
Keresahan itu, ujar Yasir, seharusnya bisa didiskusikan dengan para calon pemangku kebijakan atau para peserta pemilu ini untuk menentukan formulasi yang tepat.
“Nah, faktanya forum-forum 'curhat' ini kan terbatas banget,” imbuhnya.
Sementara itu, Wira menilai para peserta pemilu, termasuk para capres, harus punya program yang bisa mendorong agar anak-anak muda Indonesia mau bekerja di tanah air dan tidak berkarya di luar negeri.
“Menurut aku sih yang bisa difokuskan adalah bagaimana caranya agar kita tidak kehilangan orang-orang muda. Salah satu kelebihan Indonesia itu orangnya banyak banget, tapi kebanyakan tidak punya edukasi dan pendidikan yang bagus,” ujarnya.
Berdasarkan data BPS, kelompok usia 15–24 tahun yang masuk rentang usia Gen-Z, memiliki persentase tingkat pengangguran terbuka (TPT) yang paling tinggi, yaitu 19,20 persen pada November 2023. Sebagai perbandingan, TPT untuk kelompok umur 25-59 tahun hanya 3 persen.
Lain halnya dengan Elva. Menurut Elva, program-program yang dijanjikan oleh para peserta pemilu sudah cukup mencakup isu-isu penting bagi para pemilih muda, terutama terkait isu gender.
"Menurut saya sudah ada, seperti mencakup isu-isu kesetaraan gender dan perlindungan perempuan yang menjadi isu di kalangan remaja," ujar remaja yang gemar olahraga basket itu.
Peran orang tua
Melihat rumitnya pelaksanaan pemilu dan derasnya arus informasi, sebagian orang tua merasa perlu mendampingi bagi para pemilih pemula untuk mempertimbangkan pilihan.
Ari Juliano Gema, ayah Wira, rutin mengajak putra keduanya itu untuk berdiskusi mengenai pemilu dan bagaimana bersikap kritis menyikapi rekam jejak para peserta pemilu.
“Anak saya sebagai pemilih pertama ketika sudah 17 tahun perlu dibekali setidaknya informasi bagaimana nantinya dia mempertimbangkan pilihannya karena pemilu kali ini kan cukup kompleks ya. Semuanya berbarengan dari mulai presiden, kepala daerah, sampai anggota legislatif,” ujar Ari yang pernah menjabat sebagai staf ahli reformasi birokrasi dan regulasi di Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Untuk Wira, Ari menyarankan ada tiga hal yang harus dipertimbangkan saat memilih calon pemimpin, yaitu latar belakang pendidikan, pengalaman kerja yang relevan, dan pengalaman organisasi atau aktivitas sosial.
“Dengan bekal tiga ini, kalau dia nanti mencari-cari info, menurut saya cukup bisa memberikan bahan untuk mempertimbangkan satu profil yang nantinya akan ditentukan, baik sebagai presiden, kepala daerah maupun sebagai anggota legislatif,” tutur Ari yang kini berprofesi sebagai pengacara kekayaan intelektual dan hiburan.
Lain halnya dengan Renaningtyas, ibu dari Keno. Praktisi humas yang akrab dipanggil Rena itu mengaku tidak pernah berdiskusi khusus dengan putra sulungnya seputar informasi para peserta pemilu. Pasalnya, topik politik sudah menjadi bagian obrolan sehari-hari, selain tema-tema lain yang sedang populer.
“Kalau duduk bareng serius membahas itu (pemilu) tidak ada, tapi mungkin dia (Keno) mendengar di lingkar keluarga. Seperti omnya, eyangnya ketika (kumpul) bersama-sama menjadi topik bahasan. Mungkin dari situ dia tahu ketika memilih harus tahu apa programnya,” kata Rena.
Bagi Rena, memandu putranya bagaimana teknis pemungutan suara, seperti cara mencoblos surat suara yang benar, lebih penting daripada membahas pilihan kandidat.
“Karena meski sudah tahu pilihanya, begitu masuk bilik suara itu keder. Mungkin nyoblosnya bisa meleset. Banyak surat suara yang gagal itu karena ya itu tadi, kesalahan mencoblos. Karena mencoblos pertama kali itu nervous lho,” tutur Rena. [ft/dw]
Baca Lagi Aje https://news.google.com/rss/articles/CBMiZGh0dHBzOi8vd3d3LnZvYWluZG9uZXNpYS5jb20vYS9wZW1pbGloLXBlbXVsYS1kaS10ZW5nYWgtYmFuamlyLWluZm9ybWFzaS10ZW50YW5nLXBlbWlsdS83NDU0ODEzLmh0bWzSAWZodHRwczovL3d3dy52b2FpbmRvbmVzaWEuY29tL2FtcC9wZW1pbGloLXBlbXVsYS1kaS10ZW5nYWgtYmFuamlyLWluZm9ybWFzaS10ZW50YW5nLXBlbWlsdS83NDU0ODEzLmh0bWw?oc=5Bagikan Berita Ini
0 Response to "Pemilih Pemula di Tengah Banjir Informasi tentang Pemilu - Bahasa Indonesia - VOA Indonesia"
Posting Komentar