JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai, antusiasme perempuan untuk mengikuti rekrutmen sebagai penyelenggara pemilu di Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) masih rendah.
Titi menyebutkan, ada sejumlah faktor yang menciptakan situasi tersebut.
Pertama, problem kultural di mana perempuan mempunyai stigma yang kurang positif terhadap politik.
"Selain juga persepsi masyarakat kita yang kurang positif dalam beberapa hal melihat keterlibatan perempuan sebagai penyelengara Pemilu," kata Titi dalam diskusi bertajuk 'Seleksi Penyelenggara Pemilu dan Upaya Mewujudkan Komitmen Afirmasi Keterwakilan Perempuan' di gedung Bawaslu, Jakarta, Minggu (10/6/2018).
Selain itu, ada benturan ranah domestik dengan ranah publik atau politik yang membuat perempuan lebih sulit saat ingin berkontribusi sebagai penyelenggara pemilu.
Titi juga mengungkapkan adanya masalah struktural di Bawaslu dan KPU dalam melakukan rekrutmen.
"Gimana kemudian kelembagaan penyelenggara pemilu dalam lakukan rekrutmen punya keterbatasan dalam sosialisasikan proses rekrutmen itu sendiri," kata dia.
Ia menambahkan, ada standar ketat dari tim seleksi karena mereka masih melihat kapasitas, seperti pengetahuan soal pemilu hingga partai politik tak bisa ditawar.
Sehingga perempuan harus didesak untuk memiliki kapasitas yang sama.
"Sementara dalam pandangan kami, perempuan itu bisa diafirmasi atau mendapat tindakan khusus sementara, untuk mengejar ketertinggalan mereka di lembaga penyelenggara pemilu nanti," kata dia.
Titi juga menilai, tak adanya konsolidasi kuat pemilih perempuan, penyelenggara pemilu perempuan dan calon legislatif atau kepala daerah dari kalangan perempuan.
Padahal, kata dia, sinergitas ketiga aktor itu berpengaruh besar pada pencapaian keterwakilan perempuan dalam politik hingga pengambilan kebijakan di tingkat eksekutif dan legislatif nanti.
Ia mengingatkan, berdasarkan kriteria United Nations Division for the Advancement of Woman, nilai-nilai program prioritas perempuan bisa diperhatikan apabila perempuan memiliki keterwakilan sekitar 30-35 persen.
"Itu bukan angka imajiner yang tidak objektif, itu angka ilmiah. Perempuan itu baru bisa punya peluang agar suara dan keberadaannya diperhitungkan kalau jumlahnya 30 sampai 35 persen," kata dia.
Oleh karena itu, perlu upaya yang lebih optimal untuk mendorong lebih banyak perempuan mau masuk dan menjadi penyelenggara pemilu.
"Karena, selama ini afirmasi keterwakilan perempuan mudah diucapkan, disampaikan tetapi menjaga konsistensi dan komitmennya sulit untuk diwujudkan," ujar Titi.
Baca Lagi Aje https://nasional.kompas.com/read/2018/06/10/19114281/antusiasme-perempuan-jadi-penyelenggara-pemilu-dinilai-masih-rendah
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Antusiasme Perempuan Jadi Penyelenggara Pemilu Dinilai Masih ..."
Posting Komentar