Bisnis.com, JAKARTA – Pemilihan Presiden Amerika Serikat (Pilpres AS) 2020 yang digelar 3 November telah berakhir.
Apa yang tersisa dari pemilu yang cukup melelahkan itu adalah pelajaran berharga, terutama bagi Partai Republik yang kehilangan banyak suara pemilih. Sebaliknya, Partai Demokrat bersiap untuk mewarnai peta perpolitikan AS di bawah kepemimpinan Presiden terpilih Joe Biden empat tahun ke depan.
Pada saat yang sama, para ahli strategi politik akan mengkaji angka-angka dan data untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. Dengan demikian, mereka dapat bahan untuk dijadikan pelajaran pada pemilu empat tahun berikutnya.
Selama beberapa pekan ke depan, gugatan hasil pemilu akan ‘dimainkan’ di beberapa negara bagian oleh tim pengacara Donald Trump, pada saat penghitungan suara hasil pemilu dalam tahapan proses sertifikasi.
Adalah tugas tim kampanye Presiden Donald Trump untuk membuktikan kecurangan pemilu yang dituduhkan.
Mereka tidak elok kalau hanya sekadar menuduh telah terjadi kecurangan. Proses hukum tentu membutuhkan bukti, bukan pernyataan lewat akun Twitter seperti yang sering dilakukan Trump.
“Saya optimistis mantan Wakil Presiden Joe Biden akan mendapatkan pengesahan kemenangan pemilihannya di negara bagian medan pertempuran Arizona, Georgia, Michigan, Nevada, Pennsylvania, dan Wisconsin sebelum akhir bulan ini,” ujar Matt Mackowiak, pengamat politik yang juga Presiden Potomac Strategy Group seperti dikutip Aljazeera.com Rabu (18/11/2020).
Partai Demokrat Berkuasa
Menurut pengamatannya, hitungan akhir mungkin sedikit berubah, tetapi margin kemenangannya di negara bagian tersebut akan stabil untuk kemenangan Biden.
Dengan demikian, Presiden Trump akan menjadi presiden keempat yang kalah saat mengikuti pemilihan periode kedua dalam 100 tahun terakhir.
Memang, kalah dalam pemilihan presiden adalah bencana bagi partai politik mana pun. Kondisi itu membuat partai menjadi kacau, tanpa pemimpin di tingkat puncak, setidaknya selama tiga tahun. Kejadian itu akan berlangsung sampai calon presiden baru terpilih dalam pemilihan pendahuluan.
Konsekuensi logis dari sebuah pemilu adalah partai yang berkuasa akan mengontrol negara. Karena itulah, Partai Demokrat bisa mengumpulkan lebih banyak dana, dan dapat memberlakukan agenda-agenda populer.
Aka tetapi, terlepas dari kekalahan dalam pemilihan presiden kali ini, pemilu tahun 2020 akan menjadi pelajaran sangat berharga bagi Partai Republik.
Presiden terpilih Joe Biden mendengarkan masukan penanganan Cobvid-19 dari para tenaga kesehatan yang berada di garis depan perang terhadap Virus Corona./Twitter @JoeBiden
Memang, menjelang Hari Pemilu, harapan yang muncul secara umum adalah bahwa Partai Demokrat kemungkinan akan memenangkan kembali mayoritas kursi di Senat AS sekaligus mendapatkan lebih banyak kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Demokrat vs Republik di Senat
Pertempuran untuk mengontrol Senat AS tampaknya suram bagi Partai Republik. Sedangkan, Partai Demokrat memiliki keuntungan sosial dan finansial yang besar.
Bayangkan, para kandidat dari Partai Republik di negara bagian Maine, North Carolina, Iowa, South Carolina, Montana dan Alaska harus bekerja keras memenangkan pemilihan ulang.
Mereka harus mati-matian untuk menjaga setidaknya posisi 50-50 kursi dari 100 kursi di Senat kalau tidak ingin kecolongan sedikitnya dua kursi sebagi penanda “berkuasa atau tidak” di Senat .
Sedangkan, Partai Republik secara signifikan akan mampu mempersempit ruang gerak Ketua DPR Nancy Pelosi yang mayoritas dari Partai Demokrat. Setidaknya, kaum Republikan akan mengancam kekuatan Partai Demokrat untuk meloloskan RUU progresif selama dua tahun ke depan.
Bahkan, tidak tertutup kemungkinan yang sangat nyata bahwa Partai Republik dapat memenangkan kembali mayoritas suara dalam pemilihan paruh waktu 2022.
Pada sisi lain, kaum Republikan juga bisa mengambil alih jabatan gubernur di Montana dan beberapa negara bagian yang mayoritas legislatifnya dikuasai Partai Republik. Pasalnya, proses redistricting akan terjadi pada awal 2021 di setiap negara bagian.
Fakta Menarik
Pertama, Presiden Trump benar-benar mengungguli hasil pemilu 2016 dengan sekitar 10 juta suara ketika melawan Hillary Clinton. Seharusnya kondisi ini cukup kuat untuk mempertahankan basis suara di wilayah Republik.
Hanya saja, momentum untuk merebut kembali suara tersebut terlambat. Belum lagi Trump tidak mampu merebut kemenangan yang menentukan dalam debat presiden kedua yang membawanya ke akhir masa kampanye.
Fakta menarik lainnya adalah, bahwa jajak pendapat nasional telah memperkirakan kekalahan Republik, baik untuk suara popular maupun suara elektoral (electoral college).
Hal menarik adalah sang petahana kalah, karena Demokrat meningkatkan margin suara mereka di pinggiran kota, yang cukup bagi lawannya untuk menang di negara-negara medan pertempuran. Hal ini dipicu oleh penanganan wabah Covid-19 yang tidak becus dan kebijakan Trump yang sering tak sejalan dengan pemerintah setempat.
Kedua, Presiden Trump mampu meningkatkan kinerjanya untuk merebut suara pemilih non-kulit putih, menurut exit poll. Hal ini sangat terasa di tempat-tempat seperti Florida Selatan dan Texas Selatan. Di kedua tempat itu, dia mampu mengubah seluruh kabupaten hingga 20 sampai 30 persen mendukungnya, sehingga menguntungkan bagi para calon Angota Kongres dari Partai Republik.
Ketiga, Partai Republik merekrut kandidat yang beragam dan luar biasa. Tampaknya semua kandidat Partai Republik yang merebut kursi di Kongres, baik di Senat maupun DPR, pada tahun 2020 adalah perempuan, Hispanik, atau veteran militer.
Ada 17 perempuan Partai Republik yang memenangkan pemilihan untuk Kongres tahun ini. Kandidat ini mampu secara rutin membuat Trump unggul di distrik mereka sekitar tiga hingga lima persen.
Warga Amerika Serikat (AS) pendukung Donald Trump di Pilpres AS 2020./Twitter @realDonaldTrump
Trump Kembali di Pilpres 2024?
Pelarian pemilih pinggiran kota dari Partai Republik adalah masalah. Para warga usia lanjut kemungkinan besar memberikan suara yang sangat kuat untuk Biden.
Sedangkan, dari kaum milenial atau pemilih muda, mereka telah menimbulkan gelombang pasang demografis yang dapat menghanyutkan mayoritas suara Partai Republik. Hal inilah yang menimbulkan pertanyaan soal masa depan Partai Republik.
Masih belum jelas seberapa kuat cengkeraman Presiden Trump atas Partai Republik setelah dia lengser dari jabatannya. Ada dugaan, dia secara pribadi tengah memikirkan untuk mencalonkan diri lagi pada tahun 2024, karena tidak ada persyaratan batasan usia untuk itu. Dan jika dia melakukannya, dia pasti akan menjadi calon.
Hanya saja, 2024 adalah waktu yang lama dari sekarang dan banyak yang bisa berubah antara sekarang dan nanti.
Partai Republik sangat ingin melihat Presiden Trump terpilih kembali. Kehilangan Trump benar-benar mengecewakan kalau melihat raksi yang terjadi beberapa hari terakhir ini.
Apalagi, gelagat Trump yang enggan meninggalkan Gedung Putih mengisyaratkan bahwa dia masih punya dukungan kuat untuk Pemilu 2024.
Ayo, ikut membantu donasi sekarang! Klik Di Sini untuk info lebih lengkapnya.
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Nasib Trump dan Partai Republik Usai Pemilu 2020 - Bisnis.com"
Posting Komentar