- Salah satu problem utama pemilu yang digelar di berbagai negara adalah informasi palsu. Masalah ini juga mewarnai gelaran Pemilu Amerika Serikat 2020. Menurut sebuah laporan, misinformasi dan disinformasi dalam Pemilu AS tahun ini tidak lagi diproduksi oleh aktor-aktor curang di Facebook atau troll asal Rusia, melainkan oleh calon presiden petahana Donald Trump dan partainya, Partai Republik.
- Di tengah pandemi Covid-19, warga AS memberikan suaranya dalam pemilihan presiden. Dengan jumlah kasus positif Covid-19 di AS yang telah melebihi 9,4 juta orang, muncul kekhawatiran soal potensi peningkatan kasus setelah hari pemilihan. Kekhawatiran serupa juga timbul di Indonesia, yang menggelar pemilihan kepala daerah serentak bulan depan. Bagaimana agar pemilih terhindar dari Covid-19 saat memberikan suaranya?
Halo pembaca nawala CekFakta Tempo! Beberapa bulan terakhir, ramai pembicaraan seputar Pemilu AS yang mempertemukan calon presiden Donald Trump dengan Joe Biden. Sayangnya, diskusi di media sosial juga diwarnai dengan berbagai misinformasi dan disinformasi. Fenomena ini telah berlangsung sejak Pemilu AS 2016. Namun, menurut laporan Berkman-Klein Center for Internet and Society Harvard University, aktor di balik banjirnya hoaks dalam pemilu tahun ini berbeda dari pemilu empat tahun silam.
Apakah Anda menerima nawala edisi 6 November 2020 ini dari teman dan bukan dari email Tempo? Daftarkan surel di sini untuk berlangganan.
Nawala edisi ini ditulis oleh Angelina Anjar Sawitri dari Tempo Media Lab.
BANJIR DISINFORMASI DAN MISINFORMASI DI TENGAH PEMILU AS
Misinformasi dan disinformasi selalu menjadi problem bagi pemilu di berbagai belahan bumi. Yang paling disorot saat ini, banjirnya misinformasi dan disinformasi di tengah gelaran Pemilu Amerika Serikat 2020. Jika banjir hoaks dalam Pemilu AS empat tahun lalu diduga digerakkan oleh aktor-aktor curang di Facebook atau troll asal Rusia, dalam pemilu tahun ini, menurut laporan Berkman-Klein Center for Internet and Society Harvard University, misinformasi lebih banyak digerakkan oleh calon presiden petahana Donald Trump dan partainya, Partai Republik.
Temuan ini sejalan dengan hasil riset para peneliti Cornell University yang menganalisis sekitar 38 juta artikel tentang pandemi Covid-19 di media-media berbahasa Inggris. Menurut studi yang dipublikasikan pada 1 Oktober 2020 itu, 38 persen berita yang membahas misinformasi seputar Covid-19 merujuk pada Trump. “Kejutan terbesar adalah bahwa Presiden AS merupakan pendorong utama dan terbesar informasi palsu seputar Covid-19,” kata Sarah Evanega, penulis utama studi tersebut.
PolitiFact, organisasi pemeriksa fakta non-partisan yang berfokus pada politik AS, juga telah memeriksa pernyataan Trump dan Joe Biden selama musim pemilihan. Hasilnya, terdapat sekitar 900 verifikasi atas pernyataan yang dibuat oleh Trump, namun hanya 12 persennya yang diberi label “benar” atau “sebagian benar”. Sementara Biden, 36 persen dari verifikasi atas pernyataannya dilabeli “benar” atau “sebagian benar”.
Temuan-temuan itu tidak mengherankan. Sejak hari pemungutan suara pada 3 November 2020 hingga artikel ini ditulis (5 Oktober) saja, ada enam cuitan Trump yang telah disembunyikan oleh Twitter karena “kemungkinan mengandung klaim yang menyesatkan tentang pemilu”. Beberapa di antaranya adalah cuitan yang menyerang keputusan Mahkamah Agung tentang surat suara di Pennsylvania dan cuitan yang menuduh Partai Demokrat mencoba mencuri Pemilu AS.
Pada 3 November, di Teitter, Trump mencela keputusan Mahkamah Agung yang mengizinkan panitia pemilu di Pennsylvania menerima absentee ballots (surat suara pemilih yang tidak bisa hadir di tempat pemilihan sehingga dikirim lewat pos) sampai beberapa hari setelah pemilihan. Aturan tersebut dibuat untuk mengakomodasi pemilih yang ingin menghindari pemungutan suara secara langsung di tengah pandemi Covid-19.
Keesokan harinya Trump kembali mencuit, “We are up BIG, but they are trying to STEAL the Election. We will never let them do it. Votes cannot be cast after the Polls are closed!”. Trump juga mencuit bahwa keunggulan suaranya di negara-negara bagian kunci yang didominasi oleh Partai Demokrat “mulai menghilang secara ajaib”, dan “500 ribu suara di negara-negara bagian yang penting terancam”.
Tuduhan-tuduhan yang dilontarkan oleh Trump itu membuat para politikus Partai Demokrat bereaksi. Mereka menyerukan agar akun Twitter Trump ditangguhkan hingga hasil Pemilu AS diumumkan. “Saat ini, akun Twitter Presiden mengunggah kebohongan dan misinformasi. Ini adalah ancaman bagi demokrasi kita,” kata David Cicilline. Sementara Gerry Connolly mencuit, “Tangguhkan akunnya, @Twitter. Ini murni disinformasi. Suara yang valid sedang dihitung. Ini Amerika, bukan Rusia.”
Menurut dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada Kuskridho Ambardi, misinformasi dan disinformasi bakal menyesatkan pemilih. Ketika menjatuhkan pilihan, seseorang akan bertolak dari informasi yang dimilikinya tentang karakter dan tawaran kebijakan para kandidat selama kampanye. Jika kualitas informasi yang diperolehnya buruk, bahkan palsu, mereka akan memilih kandidat yang salah, yang akhirnya menurunkan kualitas pemilu dan demokrasi. Yang mengkhawatirkan, menurut jajak pendapat jaringan radio publik PBS, mayoritas pemilih AS (59 persen) mengaku kesulitan mengidentifikasi informasi yang menyesatkan.
Selain itu, menurut Yochai Benkler, ketua tim peneliti Berkman-Klein Center for Internet and Society, media arus utama telah membantu Trump menyebarkan informasi yang keliru. Banyak media yang mengadopsi “jalur ganda”, di mana mereka memberitakan klaim Trump dengan seimbang dan kemudian melakukan pemeriksaan fakta. Padahal, apa yang dilaporkan pada berita pertama sebenarnya jauh lebih penting. “Media benar-benar perlu melakukan pengecekan fakta sebelum menulis berita utama. Headline dan lead berita pun perlu mengajari pembaca bahwa apa yang akan mereka dengar adalah klaim palsu.”
Menurut laporan jurnalis senior Vox, Sean Illing, tantangan utama yang kita hadapi saat ini adalah kejenuhan informasi dan sistem media yang bisa diretas. Volume konten begitu banyak, dengan narasi dan kontra-narasi yang memusingkan. Siklus berita pun terlalu cepat untuk diproses. Pembaca yang jenuh dapat memutuskan untuk menjauh dan mengabaikan. Reaksi lain yang mungkin terjadi, pembaca hanya berpegang informasi yang paling ingin mereka dengar. “Kita berada di zaman nihilisme buatan,” katanya.
Illing menyebutnya “buatan” karena fenomena ini merupakan konsekuensi dari strategi yang disengaja. Hal ini diimplementasikan dengan hampir sempurna oleh Steve Bannon, mantan pimpinan Breitbart News dan kepala strategi Trump. “Partai Demokrat tidak penting,” kata Bannon pada 2018. “Oposisi yang sebenarnya adalah media. Dan cara untuk mengatasinya adalah dengan membanjiri zona itu dengan kotoran.”
Idealnya, pers harus menyaring fakta dari fiksi dan memberikan informasi yang dibutuhkan publik agar mereka bisa membuat pilihan politik dengan tepat. “Jika Anda memperpendek proses itu dengan menjenuhkan ekosistem dengan informasi yang salah, dan membuat media kewalahan dalam menengahi suatu isu, Anda dapat mengganggu proses demokrasi. Ini berhasil bukan dengan menciptakan konsensus seputar narasi tertentu, tapi dengan memperkeruh air sehingga konsensus tidak dapat dicapai,” kata Illing.
TETAP AMAN DARI COVID-19 SAAT BERIKAN SUARA
Bagian ini ditulis oleh Siti Aisah, peserta Health Fellowship Tempo yang didukung oleh Facebook.
Warga Amerika Serikat baru saja memberikan suaranya dalam pemilihan presiden yang digelar pada 3 November 2020, di tengah pandemi Covid-19. Dengan jumlah kematian akibat Covid-19 di AS yang telah mencapai sekitar 233 ribu orang dan jumlah kasus positif yang telah menyentuh lebih dari 9,4 juta orang, timbul kekhawatiran terkait potensi peningkatan kasus setelah hari coblosan. Kekhawatiran serupa juga tertuju pada Indonesia yang bakal menggelar pemilihan kepala daerah di 270 wilayah bulan depan. Bagaimana agar pemilih terhindar dari Covid-19 saat menggunakan hak pilihnya?
- Para ahli kesehatan masyarakat setuju bahwa memberikan suara melalui surat adalah metode yang paling aman untuk meminimalisir risiko infeksi Covid-19. Meskipun begitu, tidak semua pemilih dapat menggunakan surat dalam memberikan suaranya. Menurut Myrna Perez, direktur program hak suara dan pemilihan di Brennan Center for Justice, kebutuhan beberapa pemilih akan layanan tertentu hanya ditemukan di tempat pemungutan suara (TPS), seperti penerjemah bahasa atau bantuan bagi kaum difabel. Karena itu, datang ke TPS bakal tetap menjadi pilihan utama.
- Menurut wakil ketua Masyarakat Penyakit Menular AS (IDSA), Krutika Kuppali, dengan tindakan pencegahan yang tepat, risiko pemilihan langsung dapat diminimalisir. Bagi dia, penting bagi pemerintah untuk fokus pada pengendalian penyebaran Covid-19 dalam pekan-pekan menjelang pemilihan. “Kesempatan terbaik kita untuk menyelenggarakan pemilu yang aman adalah ketika semua warga membantu menekan penularan di tengah komunitas,” katanya. Artinya, warga harus mempraktikkan kebersihan tangan yang baik, memakai masker, menjaga jarak fisik, dan tidak menghadiri pertemuan sosial.
- Menurut Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit AS (CDC), pemungutan suara secara langsung dalam satu hari berisiko tinggi. Solanya, akan terbentuk kerumunan besar dalam waktu yang lama. Agar risiko lebih rendah, penyelenggara pemilu harus menyediakan beberapa metode alternatif serta memperpanjang periode pemungutan suara. Praktik mencuci tangan, tinggal di rumah saat sakit, serta pembersihan dan disinfeksi lingkungan juga penting untuk membantu menurunkan risiko penyebaran Covid-19.
- IDSA membuat pedoman untuk meminimalisir risiko penularan Covid-19 bagi pemilih yang mesti memberikan suaranya secara langsung. Berikut beberapa pedoman tersebut: tetap berada di luar ruangan selama mungkin saat berada di TPS; menjaga jarak sejauh enam kaki atau sekitar 1,8 meter dengan orang lain di TPS; mengenakan masker selama berada di TPS; memisahkan jalur masuk dan keluar pemilih untuk membatasi kerumunan, dan; menghindari membawa orang yang tidak berkepentingan ke TPS, seperti anak-anak.
- Marybeth Sexton, asisten profesor kedokteran divisi penyakit menular Emory University, menyatakan sangat penting untuk mengetahui apakah virus Corona penyebab Covid-19, SARS-CoV-2, sedang menyebar di daerah tempat pemungutan suara. Status penyebaran virus secara real time bisa ditemukan di beberapa alat pelacak nasional, seperti yang dikelola oleh John Hopkins University atau PolicyLab Rumah Sakit Anak Philadelphia untuk warga AS. Jika warga tinggal di daerah di mana penularan virus tinggi, memberikan suara melalui surat dapat menjadi pertimbangan.
WAKTUNYA TRIVIA!
Berikut beberapa kabar tentang misinformasi dan disinformasi, keamanan siber, serta privasi data pekan ini, yang mungkin terselip dari perhatian. Kami mengumpulkannya untuk Anda.
- Untuk mencegah penyebaran kabar tak resmi tentang hasil Pemilihan Presiden Amerika Serikat 2020, Facebook bakal memberikan label pada unggahan dari kandidat, Donald Trump dan Joe Biden, maupun tim kampanyenya yang mengklaim kemenangan sebelum hasil penghitungan diumumkan. Label ini juga akan diterapkan di Instagram. Selain Facebook, Twitter juga bakal menerapkan label serupa. Twitter pun bakal menghapus kicauan yang mengganggu proses pilpres dan penghitungan suara, terutama yang mengandung kekerasan.
- Facebook dan Twitter membekukan sejumlah akun milik situs media baru, yang cenderung berafiliasi politik kanan. Kedua raksasa teknologi ini menganggap informasi dalam unggahan akun-akun tersebut mengenai pemungutan suara Pilpres AS melanggar kebijakan platform. Beberapa akun di Twitter dicurigai saling terkait dalam perilaku otomatisasi, yang mencuit tentang akan terjadinya kerusuhan terkait pilpres. Sejumlah akun di Facebook dengan nama serupa juga dicurigai melakukan hal yang sama.
- Pelarangan TikTok di AS yang rencananya berlaku pada 12 November 2020 ditunda. Menurut sejumlah laporan, penundaan ini terjadi karena adanya gugatan hukum oleh sejumlah influencer TikTok. Dalam gugatannya, mereka mengatakan larangan terhadap TikTok akan merugikan bisnis mereka. Gugatan tersebut membuat hakim di Pennsylvania menunda sementara keputusan Departemen Perdagangan AS yang melarang kehadiran TikTok di toko aplikasi Google dan Apple mulai 12 November.
- Studi terbaru dari State University of Campinas, Brasil, dan University of California, Berkeley, AS, mempertanyakan upaya YouTube dalam menahan misinformasi terkait vaksin, terutama dalam bahasa Portugis. YouTube mengklaim telah membatasi rekomendasi untuk video anti-vaksin dan melakukan demonetisasi dengan menghapus iklan dalam video-video tersebut. Tapi riset ini menunjukkan praktik itu tidak selalu berhasil. Banyak video masih memiliki iklan meskipun memuat teori konspirasi tentang penggunaan vaksin dalam pengendalian populasi.
- Peneliti dari Western Kentucky University dan Ohio State University, AS, menganalisis data survei tentang dukungan bagi pengecekan fakta di media sosial terhadap politikus secara umum dan Presiden AS Donald Trump secara khusus. Riset ini menunjukkan mayoritas pengikut Partai Demokrat mendukung pemeriksaan fakta terhadap politikus, termasuk Trump. Adapun mayoritas pengikut Partai Republik mendukung pemeriksaan fakta terhadap politikus, tapi tidak terhadap Trump. Selain itu, mereka yang khawatir dengan penularan Covid-19 cenderung mendukung pemeriksaan fakta.
- Riset terbaru oleh sejumlah peneliti dari Massachusetts Technology Institute (MIT), AS, mengungkap bahwa Covid-19 bisa dideteksi lewat batuk dengan bantuan teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI). Bahkan, AI bisa mengidentifikasi orang tanpa gejala (OTG) dari suara batuk yang dikeluarkan. Sebenarnya, para peneliti mengembangkan algoritma AI ini untuk mendiagnosis gejala pneumonia dan asma. Ketika Covid-19 mulai menyebar, para peneliti mencari tahu apakah algoritma yang mereka kembangkan juga berfungsi dalam mendiagnosis penyakit tersebut.
PERIKSA FAKTA SEPEKAN INI
Sepekan terakhir, seiring munculnya pro-kontra terhadap pernyataan Presiden Prancis Emmanuel Macron tentang Islam yang merespons pembunuhan seorang guru bernama Samuel Paty, beredar pula berbagai hoaks seputar Prancis. Salah satunya adalah video pembakaran mobil mewah oleh seorang pemuda yang diklaim sebagai bagian dari aksi boikot produk Prancis. Menurut klaim itu, pemuda tersebut sengaja membakar mobilnya karena merupakan produk buatan Prancis.
Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim tersebut keliru. Mobil yang dibakar oleh vlogger bernama Mikhail Litvin itu adalah jenis Mercedes-AMG GT 63S. Mercedes-Benz adalah mobil buatan Jerman, bukan Prancis. Pembakaran mobil itu pun sama sekali tidak terkait dengan aksi boikot produk Prancis. Litvin memutuskan membakar mobilnya sebagai bentuk protes kepada Mercedes-Benz atas layanan perbaikan dari dealer yang dinilai tidak memuaskan.
Selain artikel di atas, kami juga melakukan pemeriksaan fakta terhadap beberapa hoaks yang beredar. Buka tautan ke kanal CekFakta Tempo.co untuk membaca hasil periksa fakta berikut:
- Benarkah 48 warga Korsel tewas usai terima vaksin Covid-19?
- Benarkah tusuk 10 jari dengan jarum adalah pertolongan pertama stroke?
- Benarkah ini video produk Prancis yang dibuang oleh negara-negara Timur Tengah?
- Benarkah ini video saat polisi Prancis serang muslim di Turki ketika salat?
- Benarkah ini video pembakaran kantor Kedubes Prancis di Sudan?
- Benarkah CDC sebut Covid-19 tak menyebar lewat udara sehingga pakai masker tak berguna?
- Benarkah Macron memohon-mohon Timur Tengah akhiri seruan boikot produk Prancis?
- Benarkah ini video saat polisi Prancis tutup masjid atas perintah Macron?
Kenal seseorang yang tertarik dengan isu disinformasi? Teruskan nawala ini ke surel mereka. Punya kritik, saran, atau sekadar ingin bertukar gagasan? Layangkan ke sini.
Ikuti kami di media sosial:
Baca Lagi Aje https://newsletter.tempo.co/read/1409287/cekfakta-83-banjir-misinformasi-dan-disinformasi-di-tengah-pemilu-asBagikan Berita Ini
0 Response to "CekFakta #83 Banjir Misinformasi dan Disinformasi di Tengah Pemilu AS - Tempo"
Posting Komentar