Search

Jatuh-Bangun Partai Pendatang Baru di Ajang Pemilu

Jakarta, CNN Indonesia -- Kehadiran partai baru di ajang Pemilihan Umum ibarat sebuah keniscayaan di Indonesia. Fenomena itu juga terjadi di ajang Pemilu 2019.

Setidaknya ada empat partai politik baru yang dinyatakan memenuhi syarat oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mengikuti pesta demokrasi lima tahunan.

Partai-partai tersebut adalah Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Berkarya, Partai Persatuan Indonesia (Perindo), dan Partai Gerakan Perubahan Indonesia (Garuda).

Fenomena kehadiran partai baru mulai (kembali) menjamur seiring tumbangnya Orde Baru dan Indonesia memasuki era reformasi.

Tak tanggung-tanggung, pemilu pertama setelah kejatuhan Presiden ke-2 Soeharto langsung diikuti 48 partai politik. Hal itu menjadi fenomena tersendiri, mengingat sepanjang Soeharto berkuasa hanya ada tiga partai yang menghiasi pesta demokrasi lima tahunan, yakni Partai Demokrasi Indonesia (PDI), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), serta Golongan Karya (Golkar).


Partai-partai baru yang muncul ketika era reformasi di antaranya, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Masyumi Baru, Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Keadilan hingga Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKP).

Sementara itu PDI berubah menjadi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) setelah terjadi konflik internal, sedangkan Golongan Karya berubah menjadi Partai Golkar.

Meski banyak partai yang ikut dalam Pemilu 1999 yang merebutkan 462 kursi parlemen, namun tak semuanya dapat meloloskan wakilnya ke MPR/DPR.

Hanya beberapa partai baru yang menempatkan kadernya sebagai wakil rakyat seperti Partai Golkar, PDIP, PKB, PBB, PAN, dan Partai Keadilan, dengan jumlah kursi bervariasi.

Partai Berkarya, salah satu parpol pendatang baru di Pemilu 2019. (CNN Indonesia/Lalu Rahadian)

Peneliti bidang politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Indria Samego mengatakan ada dua alasan yang mendasari kemunculan partai-partai baru di setiap pemilu. Sebabnya bersifat objektif dan subjektif.

Alasan objektif, kata Indria, berarti sekelompok orang membentuk partai politik lantaran mereka ingin memanfaatkan kebebasan untuk berpolitik praktis. Selain itu, hanya lewat partai politik cara mereka bisa ikut pemilu.

"Kalau membentuk ormas, sebesar apa pun anggotanya tidak bisa ikut pemilu," ujar Indria kepada CNNIndonesia.com.

Sementara untuk alasan subjektif, kata Indria, adalah mereka yang membentuk partai politik untuk membangun jaringan dengan tujuan mendapat keuntungan materiil. Jaringan tersebut sangat bermanfaat untuk mengembangkan bisnis mereka.

"Orang-orang kaya seperti, misalnya, Hary Tanoesoedibjo atau Aburizal Bakrie masih butuh partai politik, karena apa? Butuh jaringan," tuturnya.


Hal lain yang juga dijadikan pertimbangan membentuk partai politik adalah keinginan untuk memiliki kekuasaan. Mereka yang membentuk partai politik biasanya memiliki keinginan untuk bisa mengatur.

Menurut Indria, keinginan untuk bisa mengatur tak akan bisa diperoleh apabila masuk ke partai politik lama karena harus berhadapan dengan tokoh-tokoh yang telah ada di dalamnya.

"Contohnya Tommy Soeharto. Itu menunjukkan bahwa apa yang telah diperoleh Tommy selama ini hanya keuntungan materi saja. Politik tidak," kata dia.

Untuk bisa meraih simpati publik dan mendulang suara besar di Indonesia, kata Indria, partai politik mesti memiliki dua modal, yakni tokoh ternama untuk menarik perhatian masyarakat dan memiliki modal finansial.

Fenomena tersebut dianggap menimbulkan ambiguitas. Menurutnya tak hanya masyarakat yang berpandangan pragmatis, melainkan juga elite-elite politik yang membentuk cara berpikir seperti itu.

"Ya masyarakat, ya elitenya. Ujung-ujungnya tidak ada yang bicara tentang perjuangan, atau ideologi," ujar Indria.

Perindo, salah satu partai pendatang baru di Pemilu 2019. (CNN Indonesia/Christie Stefanie)

Memasuki Pemilu 2004, peserta pemilu yang tadinya seabrek berkurang 50 persen menjadi 'hanya' diikuti 24 partai.

Pengurangan ini dilakukan berdasarkan undang-undang pemilu ketika itu, yang hanya memperbolehkan partai dengan 2 persen kursi DPR atau 3 persen kursi di DPRD untuk ikut dalam pemilu 2004.

Pada pesta demokrasi edisi kedua pasca-reformasi itu juga tak ketinggalan memunculkan partai-partai baru maupun partai yang bergabung dengan partai lainnya dan berubah nama sebagai peserta.

Sebut saja Partai Demokrat, Partai Pelopor, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) --perubahan dari Partai Keadilan--, Partai Damai Sejahtera (PDS), Partai Bintang Reformasi (PBR), hingga Partai Patriot Pancasila.


Selang lima tahun kemudian, peserta pemilu kembali bertambah dengan total ada 38 partai yang ikut serta dalam Pemilu 2009. Dari seluruh peserta tersebut, 18 partai di antaranya merupakan partai politik yang baru pertama kali mengikuti pemilu ataupun baru mengganti namanya.

Partai-partai baru yang muncul pada Pemilu 2009 di antaranya, Partai Hanura, Partai Gerindra, Partai Peduli Rakyat Nasional, Partai Demokrasi Pembaruan, Partai Karya Perjuangan, dan Partai Matahari Bangsa. Namun, dari semua peserta itu hanya 9 partai yang lolos ke DPR.

Saat itu, berdasarkan Pasal 202 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, ambang batas parlemen ditetapkan sebesar 2,5 persen. Pada edisi ini, partai-partai yang baru muncul di era reformasi, seperti PBB, PBR, dan PDS tak lolos sebagai wakil rakyat.

Partai Solidaritas Indonesia, salah satu parpol pendatang baru di Pemilu 2019. (ANTARA FOTO/Reno Esnir)

Masuk pada Pemilu 2014, partai-partai baru tak berhenti bermunculan. Partai baru yang ikut mendaftar ke KPU ketika itu di antaranya Partai NasDem, Partai Karya Republik, Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia, hingga Partai Kongres.

Setelah KPU melakukan verifikasi administrasi dan faktual, hanya NasDem, partai baru ketika itu yang lolos menjadi peserta Pemilu 2014 dan berlaga bersama 11 partai lainya.

Setelah dilakukan pemungutan suara, berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun Tahun 2012, yang menetapkan ambang batas parlemen sebesar 3,5 persen, hanya 10 partai yang menduduki wakilnya di DPR. PBB dan PKPI saat itu tak mendapat jatah kursi di parlemen.

Indria mengatakan keberadaan partai baru tak selalu mampu mengubah peta politik. Alasannya, mereka harus meraih suara yang besar, sementara pencapaian itu bukan sesuatu yang mudah diperoleh.


Partai politik baru mesti mendapat kursi dalam jumlah yang besar untuk bisa mempengaruhi peta politik yang telah ada. Jika tidak, partai-partai politik baru hanya ikut dalam arus pertentangan antara koalisi pemerintah dan oposisi saja.

"Kalau masuk Senayan hanya mendapat sedikit kursi, ya hanya sekadar melengkapi penderitaan saja," kata Indria.

Indria memprediksi keempat partai baru di Pemilu 2019, yakni PSI, Partai Berkarya, Perindo dan Partai Garuda tak bakal meraih suara banyak dan signifikan, mengingat partai-partai lawas, terutama mereka yang bertunas di era reformasi, masih mendominasi elektabilitas dan popularitas publik figur di baliknya

"Tapi yang namanya politik kan dinamis. Masih cair, bisa berubah," kata Indria.

(gil)

Let's block ads! (Why?)

Baca Lagi Aje https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180308130711-32-281427/jatuh-bangun-partai-pendatang-baru-di-ajang-pemilu

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Jatuh-Bangun Partai Pendatang Baru di Ajang Pemilu"

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.