Search

Penyelenggara Pemilu, pilar ke-lima demokrasi

Merdeka.com - Pemilu 2019 sudah di depan mata. 15 partai politik (parpol) sudah ditetapkan menjadi peserta dan mendapatkan nomor urut. Proses demokrasi di negeri ini terus berjalan. Kita mengenal istilah pilar utama demokrasi adalah eksekutif, legislatif dan yudikatif. Tiga lembaga negara ini dikenal dari sebuah konsep pemisahan kekuasaan Montesquieu, Trias Politika (L'Esprit des Lois/The Spirit of The Laws: 1748). Berawal dari perspektif bahwa kekuasaan cenderung korup, maka harus dibatasi. Tujuannya, menghilangkan hegemoni kekuasaan pada satu lembaga. Konsep ini banyak diadopsi oleh negara-negara yang "mengaku" demokratis.

BERITA TERKAIT

Sejak proklamasi 17 Agustus 1945, Indonesia adalah negara republik dengan sistem demokrasi. Artinya, estafeta kepemimpinan nasional diselenggarakan melalui pemilu. Perjalanan waktu mengukir sejarah panjang demokrasi kita, beberapa penggalannya menandai wajah demokrasi dan pemilu di negeri ini. Era Orde Lama, Era Orde Baru dan Era Reformasi.

Hariman Siregar, dalam Gerakan Mahasiswa: Pilar ke-5 Demokrasi, mengurai bahwa kelima pilar-pilar tersebut adalah eksekutif, legislatif, yudikatif, Kebebasan Pers dan gerakan mahasiswa. Tulisan ini bukan untuk membuat antithesis, tetapi untuk membangun perspektif baru tentang pilar-pilar demokrasi itu dengan dua alasan utama.

Pertama Landasan Historis

Pasca proklamasi, pada 18-22 Agustus 1945, para founding fathers kita mengadakan empat kali sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Dalam konteks tulisan ini, hasil persidangan yang terkait yaitu pada sidang pertama dan keempat.

Hasil sidang pertama 18 Agustus 1945. Pertama, mengesahkan UUD 1945 dengan konsep trias politika: membentuk lembaga eksekutif (Presiden), legislatif (DPR/MPR) dan yudikatif (MA). Kedua, menetapkan susunan Pemerintahan dan Batang Tubuh UUD 1945. Ketiga, Memilih presiden dan wakil presiden (Ir Soekarno dan Drs Moh Hatta) dan membentuk Komite Nasional Indonesia Pusat. Kemudian, pada sidang keempat 22 Agustus 1945, PPKI membentuk Partai Nasional Indonesia, ide awalnya sebagai partai tunggal. Hingga 3 November 1945 pemerintah mengeluarkan maklumat, mendorong pembentukan parpol.

Dengan mengadopsi konsep trias politika dan mendorong pembentukan parpol. Artinya, secara historis Parpol adalah pilar keempat demokrasi kita. Pastinya, tidak ada demokrasi tanpa parpol, dan tidak akan berjalan demokrasi tanpa penyelenggara pemilu. Maka, penyelenggara pemilu adalah pilar kelima demokrasi.

Kedua, Landasan Konstitusional dan Institusional

Dimana posisi institusional penyelenggara pemilu secara konstitusional?

Pertama, pada pemilu 1955 berdasarkan UU No 7 Tahun 1953 Tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan anggota DPR. Struktur tertinggi, Panitia Pemilihan Indonesia (PPI), dibentuk Presiden dan di provinsi, Panitia Pemilihan, dibentuk Menteri Kehakiman. Keduanya bertugas untuk masa empat tahun.

Di Kab/Kota, Panitia Pemilihan Kab/Kota (PPK), Bupati/Walikota, menjadi Ketua PPK. Di Kecamatan, Panitia Pemungutan Suara (PPS), Camat menjadi Ketua PPS. Di Kelurahan/Desa, Panitia Pendaftaran Pemilih (Pantarlih), Lurah/Kepala desa menjadi Ketua Pantarlih. Anggota PPK, PPS dan Pantarlih dibentuk atas nama Mendagri Oleh Gubernur, Bupati/Walikota dan Camat untuk waktu yang ditentukan oleh Mendagri. Untuk pemilu di luar negeri, Kepala Perwakilan RI membentuk Panitia Pemilihan Luar Negeri.

Kedua, era Orde Baru. Terjadi dua kali perubahan UU yang berpengaruh pada keorganisasian PPI. Pemilu 1971-1977 berdasarkan pada UU No 15 Tahun 1969 Tentang Pemilu Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat. Perbedaannya dari UU sebelumnya adalah: PPI diketuai Mendagri, anggotanya dibentuk Presiden atas usul Mendagri. Panitia Pemilihan Daerah Tingkat I (PPDT I) diketuai Gubernur, anggotanya dibentuk Mendagri, atas usul Gubernur. Panitia Pemilihan Daerah tingkat II (PPDT II) diketuai Bupati/Walikota, anggotanya dibentuk Mendagri, atas usul Gubernur. PPS diketuai Camat, anggotanya dibentuk Bupati/Walikota atas usul camat. Pantarlih diketuai Lurah/Kepala Desa, anggotanya dibentuk Bupati/Walikota atas usul camat.

Kemudian, Pemilu 1982-1997 berdasarkan UU No 2 Tahun 1980. Poin penting dari perubahannya adalah, masuknya unsur Parpol dalam struktur PPI dan terbentuknya, Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilu (Panwaslak Pemilu). Strukturnya, Panwaslak Pemilu Pusat, Panwaslak Pemilu Daerah Tingkat I, Panwaslak Pemilu Daerah Tingkat II dan Panwaslak Pemilu Kecamatan. Masing-masing sesuai dengan tingkatannya terdiri dari Ketua dan Wakil merangkap Anggota, dijabat oleh pejabat Pemerintah, anggotanya dari unsur Pemerintah, PPP, PDI, Golkar dan ABRI. UU ini berlaku hingga pemilu 1997.

Komposisi penyelenggara pemilu di atas adalah poin penting dari pondasi politik Orde Baru untuk memulai dan mempertahankan kekuasaannya. Seluruh struktur penyelenggara pemilu adalah perangkat pemerintah yang secara hierarkis, dalam kendali presiden.

Ketiga, fase Reformasi. Secara konstitusional, diatur dalam UUD 1945 hasil amandemen, BAB VIIB tentang Pemilu, Pasal 22E ayat (5) Pemilu diselenggarakan oleh suatu komisi Pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Dan ayat (6) Ketentuan lebih lanjut tentang Pemilu diatur dengan UU.

Di fase ini, terjadi dinamika yang sangat luar biasa terhadap penyelenggara pemilu dengan perubahan UU pada setiap pemilu, misalnya: Pemilu 1999 dengan UU No 3 Tahun 1999. Pemilu 2004 dengan UU No 12 Tahun 2003. Pemilu 2009 dengan UU No 22 Tahun 2007. Pemilu 2014 dengan UU No 15 Tahun 2011 dan Pemilu 2019 dengan UU No 7 Tahun 2017.

Dari dinamika tersebut, terjadi transformasi pada lima poin. Pertama, kelembagaan. Tidak hanya KPU, Bawaslu dan DKPP (kini), bersifat permanen. Kedua, komposisi keanggotaan. Semula dari parpol dan pemerintah serta melibatkan MA dalam pengawasan, kini diisi oleh unsur masyarakat profesional. Ketiga, skema rekruitmen. Semula rekomendasi dari Pemerintah dan Pemda untuk KPU, serta rekomendasi dari KPU untuk Bawaslu, kini ada skema timsel tersendiri dan mandiri. Keempat, kewenangan. Bawaslu, semula hanya mengawasi dan merekomendasi, kini dapat "meng-eksekusi" pelanggaran pemilu. DKPP, semula hanya "mekanisme", kini lembaga. Kelima, struktur kerja Bawaslu, semula hanya ditingkat kecamatan, kini hingga di TPS.

Kesimpulan

Dari proses transformasi tersebut, secara sadar bangsa ini terus meningkatkan kompetensi dan independensi lembaga penyelenggara pemilu untuk mendorong terciptanya demokrasi yang substantif. Keberadaan penyelenggara pemilu menjadi kunci terpilihnya Pemerintah dan DPR yang sah. Proses yang dilakukannya mendorong terbentuknya negara yang stabil, efektif dan efisien. Sekalipun ada kekecewaan dari kontestan yang kalah, hal itu dapat terkondisikan secara alami.

Bahkan penyelenggara pemilu dapat mendorong terciptanya akuntabilitas publik pemerintah dan DPR. Rakyat dapat menghukum peserta pemilu (tidak dipilih kembali), jika dianggap ingkar janji politik. Hasil pemilu kita juga dapat menjamin keterwakilan setiap kelompok di parlemen. Hal yang paling utama, penyelenggara pemilu dapat menjembatani hak konstitusi setiap warga negara. Dengan fungsi yang dahsyat tersebut, apakah tidak layak posisinya ada diurutan kelima dalam pilar-pilar demokrasi kita?

Penulis: Munandar Nugraha Saputra (Dosen FISIP Universitas Nasional).[dan]

Let's block ads! (Why?)

Baca Lagi Aje https://www.merdeka.com/politik/penyelenggara-pemilu-pilar-ke-lima-demokrasi.html

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Penyelenggara Pemilu, pilar ke-lima demokrasi"

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.