Search

Pemilu 1992 Tanpa Perubahan Undang-undang - TangerangNews

Oleh : Zulpikar, Komisioner Bawaslu Kabupaten Tangerang 

Penyimpangan Dalam Pemilu 1992

Setelah mengalami masa puncak pada Pemilu 1987, dukungan untuk rezim Orde Baru mulai turun dalam Pemilu 1992. PPP dan PDI perlahan mulai berhadapan dengan Golkar yang disokong rezim. Meski demikian, dua partai ini masih harus berhadapan dengan beragam bentuk pembatasan. Setidaknya penulis melihat ada dua hal baru namun tidak lumrah dalam pemilu tahun 1992. Dua hal tersebut adalah : pertama, tidak adanya perubahan Undang-undang Pemilu dan yang kedua yaitu pemerintah mewajibkan calon anggota DPR/MPR harus menjalani Penelitian Khusus (Litsus). 

Majalah Hukum dan Pembangunan, Satya Arinanto dalam “demokratisasi kehidupan politik di Indonesia menyongsong Pemilu 1992 dan Sidang Umum MPR 1993” (1991) menulis : Untuk pelaksanaan Pemilu 1992, ternyata telah ada kesepakatan bahwa tidak akan terjadi perubahan undang-undang pemilu, hal ini merupakan fenomena pertama dalam masa Orde Baru,  bahwa menjelang pemilu tidak diadakan perubahan undang-undang. Hal yang semacam ini belum pernah terjadi di dalam pemilu sebelumnya, dimana selalu ditetapkan undang-undang yang baru untuk penyelenggaraannya.

Pemilu 1992 menampilkan hal baru, kali ini pemerintah mewajibkan calon anggota DPR harus menjalani Penelitian Khusus (Litsus) untuk mendapatkan surat keterangan tidak terlibat organisasi terlarang (SKTT). Setelah hasilnya diproses  akan keluar rekomendasi dari Bakorstanas kepada kepolisian. Berdasarkan rekomendasi itu, polisi akan memberikan surat keterangan tidak tersangkut (SKTT) kepada para calon anggota DPR/MPR tersebut.

Todung Mulya Lubis dalam seminar Hukum Tata Negara 13 November 1991 yang diselenggarakan oleh lembaga kajian keilmuan Senat Mahasiswa FHUI Depok : litsus ini pada dasarnya adalah sensor atau screaning yang bisa saja bersifat administratif tetapi berdampak ideologis. Sebetulnya setelah kita memiliki Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1985 tentang Pemilu, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1985 tentang Parpol dan Golkar, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum, dan Undang-Undang Nomor Nomor  8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan maka tidak ada lagi alasan untuk mengadakan litsus.

Sebab kelima Undang-Undang diatas telah menyelesaikan secara tuntas ideologis, dan ternyata tidak ada lagi yang mempersoalkan Pancasila lagi. Tidak berlebihan jika disimpulkan bahwa litsus itu bertentangan dengan prinsip prinsip kelima undang-undang diatas, tetapi anehnya tidak satupun yang mempersoalkannya, apalagi membawanya ke Peradilan Tata Usaha Negara. Ditilik dari segi apapun litsus merugikan kepentingan politik warga negara yang dianggap belum atau tidak pancasilais.asas praduga tak bersalah sudah dilanggar dengan ketentuan litsus ini.

Pemilu kelima pada pemerintahan Orde Baru dilaksanakan pada tanggal 9 Juni 1992. Sistem pemilu yang digunakan sama dengan sistem yang diterapkan pada Pemilu tahun 1987, yaitu menggunakan sistem perwakilan berimbang (proporsional) dengan stelsel daftar. Pemilu tahun 1992 menggunakan asas langsung, umum, bebas dan rahasia. Dasar hukum yang digunakan pada Pemilu tahun 1992 yaitu : Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1985.  

Badan Penyelenggara, Peserta dan Perolehan Suara Pemilu 1992

Badan penyelenggara pemilu tahun 1992, sama dengan struktur organisasi penyelenggara pemilu tahun 1987, yaitu terdiri dari : PPI, PPD I, PPD II, Pantarlih dan KPPS, serta PPLN, PPSLN, dan KPPSLN. Peserta pemilu pada Pemilu tahun 1992 yaitu : Partai Persatuan Pembangunan, Golongan Karya dan Partai Demokrasi Indonesia.

Partai Persatuan Pembangunan pada pemilu kali ini masih menduduki urutan kedua. Namun dari segi perolehan kursi hanya naik satu kursi dari Pemilu 1987. Sementara Partai Demokrasi Indonesia perolehan kursinya naik signifikan sebesar 16 kursi.

Tirto.id di artikel "Sejarah Pemilu 1992: Golkar Terkendala, PPP & PDI Bersaing Ketat"

Di Pemilu 1987, ormas berlambang pohon beringin ini meraup 74.75 persen suara dan memperoleh 299 kursi di DPR. Sedangkan untuk Pemilu 1992 ini, suara yang dikumpulkan Golkar sedikit menurun yakni 70.5 persen dan 282 kursi parlemen. Harry Tjan Silalahi dalam Bunga Rampai Pemilihan Umum 1992: Suatu Evaluasi (1995) menyebutkan, langkah Golkar menjelang pemilu kali ini memang terganjal sedikit masalah, terutama persoalan internal. Salah satu yang tampak adalah buruknya komunikasi antara Dewan Pertimbangan dan Dewan Penasehat cabang Golkar di sejumlah provinsi seperti Kalimantan Barat, Riau, Sulawesi Utara, dan NTT. Golkar juga harus menghadapi beberapa aktivisnya yang merasa diabaikan setelah kemenangan besar di Pemilu 1987. Mereka yang kecewa itu terutama dari kalangan purnawirawan ABRI dan perangkat desa

Ketua Umum DPP PDI kala itu, Soerjadi, dalam kampanyenya di Jakarta pada 12 Mei 1992 di Jakarta bahkan berani melontarkan wacana pembatasan masa jabatan presiden. Aturan ini tak tercantum dalam UUD 1945 atau undang-undang turunan lainnya. Maka, ia mengusulkan agar masa jabatan presiden di masa depan perlu dibatasi hanya dua periode saja. Hasil Pemilu 1992 menunjukkan suara yang digamit PDI mengalami peningkatan yang cukup lumayan, yakni 14 persen, naik 4 persen dari pemilu sebelumnya yang hanya meraih 10 persen. Begitu pula untuk perolehan tempat di DPR, dari 40 kursi pada Pemilu 1987 menjadi 56 kursi. “Pada Pemilu 1992 ini, PDI berhasil menaikkan 16 kursi lagi. Ini artinya, dalam dua pemilu ini PDI berhasil menambah 32 kursi,” lapor Tim Komisi Pemilihan Umum (KPU) melalui buku Pemilu Indonesia dalam Angka dan Fakta (2000). (RMI/RAC)

Let's block ads! (Why?)

Baca Lagi Aje http://tangerangnews.com/kabupaten-tangerang/read/30461/Pemilu-1992-Tanpa-Perubahan-Undang-undang

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Pemilu 1992 Tanpa Perubahan Undang-undang - TangerangNews"

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.