Istilah lame duck session alias sesi 'bebek lumpuh' sudah tidak asing bagi masyarakat, khususnya di kalangan yang bergelut di dunia politik dan hukum. 'Bebek lumpuh' merupakan periode transisi dalam pemerintahan atau lembaga legislatif, yang mana anggota yang terpilih atau ditunjuk sudah ditentukan, tetapi belum resmi menjabat, sementara anggota saat ini sudah melewati masa pemilihan umum dan pada dasarnya akan segera lengser.
Sesi 'bebek lumpuh' disebut demikian karena para anggota pemerintahan atau legislatif yang berada dalam periode ini dianggap memiliki kekuasaan yang berkurang, seperti bebek lumpuh yang tidak bisa bergerak dengan bebas. Dalam sistem pemerintahan Indonesia, masa jabatan anggota DPR adalah 5 tahun dan berakhir pada saat anggota DPR yang baru mengucapkan sumpah/janji, sehingga secara teori, praktik lame duck session bisa terjadi di Indonesia karena terdapat masa transisi antara pemilihan umum dengan pelantikan anggota parlemen baru.
Tetapi, dalam praktiknya, lame duck session tidak terjadi di Indonesia. Hal ini dikarenakan anggota parlemen tetap produktif menjalankan fungsinya sebelum masa jabatannya berakhir. Selain itu, para anggota parlemen yang baru terpilih juga biasanya tidak ingin terlibat dalam aktivitas legislatif besar selama lame duck session karena mereka belum secara resmi menjabat.
Kendati demikian, lame duck session bukanlah praktik yang baik karena menyebabkan parlemen lumpuh. Hal ini dikarenakan anggota parlemen yang terpilih atau ditunjuk belum memiliki mandat yang kuat dari rakyat, sehingga mereka tidak bisa membuat kebijakan yang signifikan.
Masyarakat perlu mewaspadai terkait (secara teori) lame duck session di Indonesia pasca-Pemilu 2024 nanti karena masa transisi ini bisa menjadi ajang bagi legislator dan pemerintah eksekutif untuk mengutak-atik regulasi untuk kepentingan dirinya maupun golongannya.
Fenomena Menarik
Melihat Pemilu 2019, ada fenomena menarik terkait legislatif yang tiba-tiba produktif. Namun, produktivitasnya dibarengi dengan "kecacatan" dari segi substansi; hal ini bisa dilihat banyak sekali kritikan yang dilontarkan dari para ahli, baik di bidang hukum maupun politik. Hal ini menimbulkan pertanyaan masyarakat dan banyak juga aksi protes yang mewarnainya.
Seorang ahli hukum, Fitra Arsil (2019), pun menyatakan bahwa aktivitas legislasi DPR tiba-tiba meningkat pesat di akhir masa jabatannya, terutama pada masa transisi atau lame duck session. Peningkatan produktivitas ini kontras dengan kinerja rendah DPR selama hampir lima tahun sebelumnya. Meskipun terdapat beberapa RUU yang diselesaikan dengan materi yang cukup banyak, peningkatan frekuensi rapat paripurna dan kesibukan legislasi menimbulkan pertanyaan.
DPR yang sebelumnya kurang produktif tiba-tiba intensif dalam fungsi legislasinya di masa sidang terakhir. Meskipun kemampuan legislatifnya rendah dalam beberapa tahun sebelumnya, DPR 2014—2019 menjadi sangat aktif dalam pembahasan RUU di lame duck session ini. Namun, hal ini juga diikuti dengan berbagai protes dari masyarakat terkait kurangnya partisipasi publik.
Pertanyaan muncul terkait risiko kesibukan legislasi ini, terutama karena lame duck session seharusnya merupakan masa yang mana anggota lama kehilangan legitimasi untuk membuat keputusan penting. Protes masyarakat menunjukkan bahwa pembahasan RUU masih memerlukan partisipasi publik, sesuai dengan amanat UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Kesibukan legislasi ini juga memunculkan perdebatan antara legitimasi dan legalitas, mengingat anggota parlemen yang masih duduk memiliki legitimasi rendah namun masih memegang kewenangan. Tingkat urgensi dalam memutuskan persoalan kontroversial dalam waktu yang sangat terbatas juga menjadi isu. Beberapa RUU yang tengah dibahas, seperti RUU KPK, RUU KUHP, dan RUU PKS, mesti dilihat dalam konteks lame duck session dengan mempertimbangkan legitimasi, tingkat urgensi, dan kontroversi materi.
Memaksakan keputusan dalam waktu singkat di tengah lemahnya legitimasi dapat menimbulkan kecurigaan, dan ada perlunya waktu lebih leluasa untuk menemukan jawaban yang memuaskan. Kecurigaan pun muncul; RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang telah dirumuskan pembaruannya sejak 1963 harus "mengalah" dengan pengesahan RUU yang disahkan secara singkat—bahkan mengesampingkan meaningful participation, yang seolah cuma menjadi formalitas karena lebih mementingkan kuantitas ketimbang kualitas—misalnya UU KPK.
Upaya Pencegahan
Oleh karena itu, perlu ada upaya pencegahan dan penanggulangan terhadap potensi risiko lame duck session pasca-Pemilu 2024. Pertama-tama, diperlukan pengawasan ketat dari masyarakat dan lembaga pengawas untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam setiap aktivitas legislasi yang dilakukan oleh DPR selama periode transisi.
Selanjutnya, perlu adanya kebijakan yang mengatur batasan aktivitas legislasi selama lame duck session. Hal ini bertujuan untuk menghindari adanya upaya manipulasi atau pengesahan regulasi yang tidak memenuhi standar substansi dan kepentingan publik. Pemerintah dan lembaga terkait harus berperan aktif dalam menetapkan pedoman yang jelas untuk memastikan bahwa proses legislasi tetap berjalan dengan integritas dan memberikan hasil yang berkualitas.
Partisipasi publik juga mesti diutamakan dalam setiap tahap pembuatan kebijakan. Peningkatan keterlibatan masyarakat dalam diskusi dan pembahasan RUU bisa membantu menjamin bahwa suara rakyat didengar dan dipertimbangkan secara serius. Forum-forum partisipatif dan mekanisme umpan balik masyarakat perlu didorong agar proses pembuatan kebijakan tidak terlalu terpusat pada pihak-pihak tertentu.
Selain itu, perlunya perbaikan dalam tata kelola dan etika legislasi. Anggota DPR yang masih menjabat dalam lame duck session mesti memahami tanggung jawab etis mereka dan memastikan bahwa keputusan yang diambil benar-benar mewakili kepentingan publik, bukan hanya kepentingan pribadi atau golongan tertentu.
Terakhir, perlu ada evaluasi terhadap mekanisme pemilihan dan pelantikan anggota parlemen baru. Diperlukan langkah-langkah yang bisa meminimalkan periode transisi yang panjang antara pemilihan umum dan pelantikan anggota baru guna menghindari potensi risiko lame duck session. Perubahan dalam regulasi terkait proses pemilihan dan pelantikan bisa membantu mengoptimalkan kinerja parlemen dan menjaga kepercayaan publik.
Dengan langkah-langkah preventif dan peningkatan transparansi, diharapkan potensi risiko lame duck session pasca-Pemilu 2024 bisa diminimalkan, dan proses legislasi tetap berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan.
Raihan Muhammad, Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang
(mmu/mmu) Baca Lagi Aje https://news.google.com/rss/articles/CBMiVWh0dHBzOi8vbmV3cy5kZXRpay5jb20va29sb20vZC03MjAxMDI4L21ld2FzcGFkYWktbWFzYS1iZWJlay1sdW1wdWgtcGFzY2EtcGVtaWx1LTIwMjTSAVlodHRwczovL25ld3MuZGV0aWsuY29tL2tvbG9tL2QtNzIwMTAyOC9tZXdhc3BhZGFpLW1hc2EtYmViZWstbHVtcHVoLXBhc2NhLXBlbWlsdS0yMDI0L2FtcA?oc=5Bagikan Berita Ini
0 Response to "Mewaspadai Masa 'Bebek Lumpuh' Pasca-Pemilu 2024 - detikNews"
Posting Komentar