Pelaksanaan pemilu pada bulan Februari, April, atau Mei, bahkan Juni 2024 tidak berpotensi melanggar konstitusi. Yang penting pada bulan Oktober atau November harus sudah ada pelantikan.
JAKARTA - Seperti di Amerika, UUD 45 tidak mengatur detail pemilu seperti menyebutkan bulan atau tanggal pelaksanaan. Pernyataan ini disampaikan analis politik Universitas Diponegoro, Teguh Yuwono, di Semarang, Kamis (23/9).
"Maka, bulan dan tanggal pelaksanaan pemilu fleksibel. Ini untuk Pemilu Presiden/Wakil Presiden dan anggota legislatif tahun 2024," kata Teguh. Menurut alumnus Flinders University Australia itu, yang penting begitu habis masa kerja presiden/wakil presiden, anggota DPR, dan Dewan Perwakilan Daerah sudah harus ada pejabat baru untuk dilantik.
"Jadi, pelaksanaan pemilu pada bulan Februari, April, atau Mei, bahkan Juni 2024 tidak berpotensi melanggar konstitusi. Yang penting pada bulan Oktober atau November harus sudah ada pelantikan," tandas Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Undip Semarang itu.
Begitu pula dengan pendapat Ketua Mahkamah Konstitusi 2013-2015 Hamdan Zoelva. Menurut pakar hukum tata negara ini, yang terpenting disesuaikan dengan masa jabatan yang dipilih melalui pemilu, yaitu presiden/wakil presiden serta DPR, DPD, dan DPRD.
"Yang penting kalau masih dalam range 5 tahun, tidak ada masalah," kata Hamdan Zoelva. Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Partai Keadilan dan Persatuan (PKP) Said Salahudin minta DPR, pemerintah, KPU, dan Bawaslu berhati-hati dalam menentukan jadwal Pemilu 2024.
Baca Juga :
Persiapan PemiluSaid Salahudin di Jakarta, Senin (20/9), mengemukakan bahwa mengubah waktu pelaksanaan pemilu berpotensi inkonstitusional karena UUD 45 Pasal 22E Ayat (1) tegas menyatakan bahwa pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun.
Said menjelaskan bahwa frasa "lima tahun" mudah sekali menghitungnya, yaitu 12 bulan dikali 5. Kalau pada tahun 2019 Pemilu dilaksanakan pada bulan April, 60 bulan berikutnya jatuh pada bulan April 2024.
Protokol Khusus
Sementara itu, peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Maharddika mengatakan bahwa Indonesia perlu memiliki protokol khusus penanganan disinformasi untuk menjamin kelancaran penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu).
"Protokol khusus penanganan disinformasi yang membuat seseorang menghilangkan hak pilih sangat diperlukan," kata Maharddika ketika menyampaikan hasil riset bertajuk "Gangguan terhadap Hak Memilih: Fenomena dan Upaya Penanggulangan."
Maharddika memandang hingga kini tidak ada upaya khusus difokuskan untuk melindungi hak pilih seseorang dari disinformasi. Padahal, terdapat berbagai disinformasi yang mendelegitimasi proses pemilu.
"Disinformasi tidak hanya menyerang pemilih, tetapi juga penyelenggara pemilu," ucap Mahardikka. Serangan terhadap penyelenggara pemilu ada dua. Pertama, serangan yang membuat pemilih mempertanyakan independensi penyelenggara pemilu. Kedua, disinformasi yang membuat pemilih berpikir, terdapat keberpihakan penyelenggara pemilu kepada kandidat tertentu.
Baca Juga :
Peduli Pemilu"Menarasikan bahwa penyelenggara pemilu tidak independen dan memenangkan calon pasangan politik tertentu bisa mengganggu kredibilitas penyelenggara pemilu seperti KPU dan Bawaslu," tuturnya. Kredibilitas yang terganggu, berpotensi memengaruhi pemilih. Mereka bisa saja tidak memilih karena menganggap ada kecurangan dalam pemilihan.
"Ini berdampak pada turunnya kepercayaan publik terhadap legitimasi proses pemilu," tambahnya. Upaya penanggulangan disinformasi pemilu yang dilakukan pemerintah hingga kini berupa menyelenggarakan program literasi digital, penyediaan informasi pemilu, dan penindakan terhadap disinformasi.
Redaktur : Aloysius Widiyatmaka
Penulis : Aloysius Widiyatmaka, Haryo Brono
Bagikan Berita Ini
0 Response to "UUD 45 Tak Atur Detil Pemilu - Koran Jakarta"
Posting Komentar