Merdeka.com - Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) merilis hasil temuan riset terkait sejumlah gangguan yang kerap diterima bagi para pemilih terhadap hak memilih (voter suppression) saat dimulainya kontestasi pemilu maupun pilkada.
Peneliti Perludem, Mahardhika menyebut dari hasil risetnya sampai saat ini ditemukan setidaknya ada tiga kategori gangguan bagi pemilih. Pertama yakni, diskriminasi dalam regulasi kepada para pemilih.
"Kepemilikan KTP elektronik sebagai syarat pemilih. Kita bisa simpulkan dari putusan MK bahwa kepemilikan KTP elektronik adalah syarat mutlak, syarat administrasi seseorang untuk bisa memilih, penggantinya hanyalah suket," kata Dhika saat sesi webinar yang digelar Perludem, Kamis (23/9).
Oleh karena itu, Dhika mengidentifikasi masih ada potensi seseorang mengalami gangguan hak pilih secara sistem karena tidak tercatat dalam KTP elektronik yang bisa dialami oleh masyarakat adat atau transperempuan.
Selain itu terkait gangguan regulasi lainnya, yaitu, persyaratan bagi pemilih yang alami gangguan jiwa maupun ingatannya sebagai syarat terdaftar sebagai pemilih. Dan keterbatasan pengaturan pindah memilih dan metode pemungutan suara khusus.
Kemudian kategori kedua yaitu intimidasi dan pengusikan bagi hak memilih. Dhika menyebut kalau hak ini kerap diterima kelompok minoritas. Dengan pengaruh yang berkaitan terhadap kuasa untuk menekan seseorang agar memilih atau tidak memilih.
"Kalau di pemilu 2019 kami menemukan isu-isu agama, isu etnis sering dimainkan. Dan dianggap sebagai faktor yang penting dalam pemilu karena bisa menentukan kemenangan," ujarnya.
Intimidasi, lanjut Dhika, juga ditemukan terhadap para pekerja pabrik yang turut tidak hanya mendapat ancaman fisik, tetapi juga mendapat ancaman ekonomi seperti ancaman penghilangan pekerjaan, penghasilan, atau shift kerja, atau kehilangan jabatan.
"Di tahun 2020 ditemukan kasus intimidasi dilakukan oleh perusahaan pertambangan terhadap para pekerja saat hari pemungutan suara di Halmahera Utara pada saat itu. Dan ini berkaitan dengan kondisi pandemi, dan MK dalam putusannya menilai perusahaan yang tidak meliburkan beberapa pekerja pada saat itu mengakibatkan para pekerja tidak dapat menyalurkan hak pilihnya sebagai warga," bebernya.
Selanjutnya, kata Dhika, soal pengusikan kepada hak memilih yang orang gangguan jiwa, memiliki hubungan erat dengan pengaruh untuk mempertanyakan seseorang ketika memiliki gangguan jiwa, namun terdaftar sebagai pemilih.
"2019 orang dengan gangguan jiwa sering di stigmatisasi dan mungkin bapak ibu masih ingat yang satu paling mengemuka itu kita temukan di twitter gitu ya. Ada cuitan di salah satu juru kampanye pasangan calon yang pengikutnya banyak, itu menyerang hak disabilitas atau hak disabilitas mental," ucapnya.
Lalu kategori terakhir yakni pengacauan informasi pemilu, dengan memanfaatkan keterbatasan informasi bagi kelompok rentan sehingga bisa dimasukan dengan informasi palsu. Alhasil terjadi disinformasi yang diterima kelompok rentan untuk mendelegitimasi proses pemilu.
Informasi yang biasa dikacaukan yaitu, pengaburan informasi prosedur teknis kepemiluan berkaitan teknis pemberian suara, syarat dokumen yang harus dibawa untuk bisa memilih di TPS, waktu pemungutan suara itu juga sering dikaburkan informasinya, dan topik lain yang berkaitan dengan penyelenggara pemungutan suara.
"Bentuk disinformasi yang mendelegitimasi proses pemilu. Jadi disinformasi ini tidak hanya menyerang pemilih, tetapi disinformasi juga menyerang penyelenggara pemilu, menyerang proses pemilu," ujar Dhika.
Alhasil akibat disinformasi yang diterima para pemih bisa berdampak pada penyelenggara, yakni KPU maupun Bawaslu berkaitan dengan independensi dan potensi keberpihakan pada kandidat tertentu. Termasuk menyerang kredibilitas tahapan itu menyerang proses penyelenggaraan tahapan itu.
"Jadi disinformasi topiknya kecurangan -kecurangan yang sering dilakukan, kemudian ada intervensi asing terhadap penyelenggara tahapan dan diskriminasi hak pemilih," terangnya.
"Nah disinformasi ini sering disebarkan. Dan kategori disinformasi ini secara kuat menarasikan kalau penyelenggara pemilu tidak independen gitu ya. Memenangkan pasangan calon partai politik tertentu dan secara signifikan itu bisa mengganggu kredibilitas KPU dan Bawaslu," lanjutnya.
Sedangkan pada kesempatan yang sama Direktur Eksekutif Perludem, Khoirunnisa N. Agustyati berharap dengan adanya hasil riset ini para penyelenggara pemilu dapat bersiap-siap mengatasi gelombang gangguan kepada pemilih terhadap hak memilih (voter suppression), terkhusus pada Pemilu 2024 nanti.
"Karena pemilunya sangat kompleks bukan hanya pemilu lima kota saja, tetapi pada kesempatan yang sama juga ada pilkada. Tahun ini Informasinya akan bercampur baur begitu. Nah bagaimana kita nanti bisa ya membuat semacam peta jalan," tuturnya.
Sebab, kata Khoirunnisa, kalau upaya- upaya untuk menghasilkan informasi sebenarnya tidak disiapkan dari sekarang. Potensi masyarakat mendapatkan informasi yang simpang siur dan tidak komprehensif terkait dengan pemilu dan pemilihan kepala daerah 2024, sangat besar.
"Tentu yang akan dipercaya justru berita berita bohong itu harus ditekan, salah satu tantangannya kenapa berita bohong itu dipercaya. Mungkin karena informasi yang sebenarnya tidak tersedia atau kalaupun tersedia sulit diakses oleh masyarakat secara umum," ujarnya. [bal]
Baca Lagi Aje https://www.merdeka.com/politik/hasil-riset-perludem-temukan-sejumlah-gangguan-hak-pemilih-saat-pemilu.htmlBagikan Berita Ini
0 Response to "Hasil Riset Perludem Temukan Sejumlah Gangguan Hak Pemilih Saat Pemilu | merdeka.com - merdeka.com"
Posting Komentar