TRIBUNNEWS.COM, JAKARTa - Pemilu 2019 sudah di depan mata. Tak ayal semua partai politik di Indonesia sudah memulai untuk memanaskan ‘mesin’ politik masing-masing.
Sejauh ini telah kita jumpai beragam manuver-manuver dari parpol yang bisa diamati sejak dini, terutama setelah pelaksanaan pilkada serentak 2018 kemarin.
Hal ini dapat menjadi tolok ukur seberapa besar partai politik dapat merebut simpati masyarakat dengan meraih suara di daerah-daerah lumbung suara. Fokus utama mereka tetaplah pada satu tujuan untuk menggaet para swing voters atau yang sering disebut undecided voters/floating mass.
Dengan kemenangan yang memenuhi target tertentu di Pilkada Serentak 2018, masing-masing parpol dapat mengukur seberapa jauh sebuah parpol memiliki daya saing untuk menatap 2019 dan menjaga konstituennya.
Untuk itu berbagai macam cara dilakukan, mulai dari menggerakkan para kader untuk melakukan aksi dukungan melalui berbagai macam bentuk kampanye, hingga penggunaan political volunteering sebagai sebuah fenomena bentuk dukungan pada kandidat yang diusung parpol tanpa mengorbankan afiliasi masyarakat yang cenderung untuk tidak terjebak dalam fanatisme sebagai salah satu sisi negatif dari keberadaan partai politik.
Jika kita menilai ulang produk yang dihasilkan oleh pilkada serentak 2018, sejumlah parpol cukup optimistis menatap 2019.
Partai Nasdem misalnya, dengan meraih kemenangan di 10 daerah, ia menjadi salah satu calon partai yang berpotensi untuk menjadi pesaing partai inti koalisi pemerintahan Jokowi-JK: PDI-Perjuangan.
Kejutan lain juga diraih oleh PAN, partai yang didirikan oleh tokoh reformasi Amien Rais ini berhasil memenangi 9 provinsi. Begitu pula dengan Hanura (8 provinsi), PKS (6 provinsi), dan seterusnya.
Namun pertanyaan kembali mengerucut pada seberapa signifikan daerah-daerah ini pada perolehan suara nasional? Tanpa bermaksud untuk membuat paradigma Jawa sentris, maka kita dapat melihat seberapa besar perolehan suara di pulau terpadat di Indonesia ini.
Dengan konsentrasi massa yang cukup tinggi, partai politik akan mengupayakan kemenangannya di tiga provinsi di Jawa pada perhelatan pilkada 2018. Proses pembelajaran partai politik yang diambil adalah pemetaan ‘selera’ atau ‘preferensi’ masyarakat dalam menentukan kriteria pemimpin.
Karena seiring dengan perkembangan zaman, masyarakat Indonesia pada umumnya mengalami proses pendidikan politik baik langsung maupun tidak langsung. Selain itu juga terletak pada persoalan tradisional dalam penyelenggaraan pemilihan langsung, politik uang dan partisipasi pemilu itu sendiri.
Ada beberapa catatan khusus yang dapat dikatakan menjadi torehan positif, berhasil diraih pada pilkada 2018.
Pertama, jumlah laporan yang masuk ke Bawaslu terkait politik uang.
Pada pilkada Serentak 2017, setidaknya ada 600 dugaan politik uang sebagaimana yang dilansir oleh Jawa Pos.
Sebaliknya pada tahun 2018, politik uang berhasil direduksi hingga hanya 40 kasus sebagaimana dilansir Jawa Pos, terlepas dari fakta yang terjadi di lapangan mungkin sebagian kecil masyarakat yang masih enggan untuk melaporkan terjadinya kecurangan.
Kedua, angka partisipasi Pilkada yang cukup menjanjikan. Hal ini dapat dibuktikan dengan pilkada 2015, yang mana angka partisipasinya baru mencapai 68%. Di pilkada 2017, melonjak menjadi 77,5% dan Pilkada 2018 sebesar 73,24%, dikutip dari berbagai media.
Artinya, dengan asumsi bahwa Pilkada adalah kontestasi daerah yang dilaksanakan pada cakupan wilayah yang terbatas, maka angka 2015, 2017, dan 2018 dapat dirata-rata sebesar 72,91%.
Angka ini hanya terpaut sedikit dengan pemilu 2014, yang mana angka partisipasinya mencapai 75,11%. Sebuah catatan positif yang sekaligus menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk mengupayakan internalisasi alam politik demokrasi pada seluruh rakyat Indonesia.
Bahkan kita juga patut berbangga karena sebagai negara demokrasi terbesar ketiga, kita mampu melampaui angka partisipasi pemilu India yang hanya sebesar 66,38% pada tahun 2014. Sekaligus melampaui angka partisipasi pemilu Amerika Serikat yang lebih kecil lagi, hanya sebesar 58%.
Ketiga, terkait preferensi masyarakat terhadap tokoh-tokoh yang akan menjadi pemimpinnya. Sejauh ini memang belum ada survei yang kredibel untuk memetakan preferensi secara detail.
Belum lagi perbedaan preferensi di masing-masing daerah juga membuat nilai ini menjadi subjektif. Maka, satu-satunya yang dapat dipotret adalah gambaran umum dari pilihan masyarakat untuk menentukan kriteria individunya dalam memilih.
Berkaca pada Pilkada 2017, fenomena penggunaan isu sara dan primordial sebagai pemantik masyarakat dalam menentukan pemimpinnya ke depan cukup mengkhawatirkan sebagian besar masyarakat Indonesia. Corak ini masih dijalankan di Sumatera Utara, yang mana digunakannya ‘sedikit’ isu primordial dan putra daerah mampu melonjakkan nama dari salah satu calon pasangan. Terlepas dari terlambatnya sosok lain untuk meramaikan konstelasi Pilkada di daerah tersebut.
Namun sisi positifnya, berkaca pada penggunaan isu keluarga atau kerap disebut media sebagai ‘politik dinasti’, setidaknya berhasil ditepis dengan kekalahan paslon 1 pada pilwalkot Makassar.
Kekalahannya yang dramatis terhadap balot/kotak kosong mencerminkan bahwa latar belakangnya sebagai salah satu keponakan dari petinggi negeri ini tidak terbukti mendongkrak perolehan suaranya. Kekalahan yang lebih signifikan adalah pada Pilkada Jawa Timur. Sosok cawagub yang berupaya membawa nama besar kakeknya dalam sejumlah baliho Pilkadanya pun, tidak terbukti mendongkrak elektabilitas pasangannya di dalam pemilihan gubernur di provinsi berpenduduk hampir 39 juta tersebut.
Hal ini dapat ditafsirkan dalam beberapa poin. Pertama, masyarakat sudah dapat menilai tokoh dari rekam jejak dan tindakan nyatanya pada masyarakat luas, dan hal ini dapat menjadi faktor penting dalam mewujudkan pemilihan umum langsung yang ideal.
Kedua, ke depannya pemerintah pusat dan daerah dapat secara bersama-sama meramu suatu strategi untuk menetapkan suatu standar pemilih cerdas. Sehingga masyarakat tidak lagi berpikir mengenai berapa uang di amplop ‘serangan fajar’ yang akan ia dapatkan, atau terjebak dalam paradigma politik dinasti yang masih kerap dijumpai di sejumlah daerah di Indonesia. Sehingga secara holistis, Indonesia siap untuk menatap pemilu 2019.
Baca Lagi Aje http://www.tribunnews.com/tribunners/2018/07/16/mari-berkaca-pada-pilkada-2018-dan-menatap-pemilu-2019Bagikan Berita Ini
0 Response to "Mari Berkaca Pada Pilkada 2018 dan Menatap Pemilu 2019"
Posting Komentar