Merdeka.com - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengisyaratkan menolak revisi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Dalam revisi itu mengatur tentang normalisasi Pilkada pada 2022 dan 2023.
Sementara apabila mengacu pada UU No.10 Tahun 2016 tentang Pilkada, gelaran pemilihan kepala daerah bakal dilakukan 2024, berbarengan dengan Pemilu nasional.
Dalam rapat dengan para parpol pendukungnya, Jokowi memberikan sinyal menolak adanya normalisasi Pilkada. Artinya, Jokowi tetap ingin pilkada digelar serentak dengan pemilu nasional pada 2024.
"Beliau mengatakan, UU Pemilu itu lebih baik jangan setiap periode itu diganti-ganti lah. Ya dia kan berdiskusi, menyampaikan kenapa kok setiap pemilu itu UUnya selalu berubah. Belum kita bisa menyesuaikan, udah diganti lagi diganti lagi," kata Politikus PPP Ade Irfan Pulungan yang hadir saat pertemuan dengan mantan juru bicara tim kampanye nasional, Kamis (28/1) lalu. Sebanyak 15 orang anggota TKN diundang Jokowi ke Istana Negara.
Pro dan kontra terjadi dalam upaya Komisi II DPR melakukan revisi UU Pemilu di parlemen. Demokrat, PKS, NasDem setuju dengan normalisasi Pilkada. Sementara PDIP, PPP, PAN, Gerindra, PKB menolak revisi UU Pemilu.
Sementara Anggota KPU Pramono Ubaid Tanthowi mendukung Pemilu Nasional tak digelar serentak dengan Pilkada. Dia bicara tentang beban kerja yang luar biasa bagi penyelenggara.
Pramono menyinggung beban kerja pada Pemilu 2019. Dia ingin Pilpres, Pileg DPR RI, dan DPD RI dipisah dengan Pilkada, Pileg DPRD tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Hal ini akan mengurangi beban penyelenggaraan seperti Pemilu dengan lima surat suara pada 2019.
"Jadi membagi tiga dan empat surat suara tidak akan seberat beban penyelenggaraan Pemilu Nasional 2019," ujar Pramono dalam webinar Fraksi PAN DPR RI secara daring, Senin (25/1).
©2020 Merdeka.com/Dwi Narwoko
Pramono mengingatkan, pada Pemilu serentak tahun 2019. Ketika itu, Pilpres diselenggarakan bersamaan dengan Pileg DPR RI, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, dan DPD RI.
Ada sejumlah masalah dari segi penyelenggaraan teknis yang memberatkan penyelenggara Pemilu. Salah satu isu yang mencolok adalah kematian para petugas Pemilu usai pencoblosan saat itu.
"Pemilu serentak 5 kotak suara yang kita laksanakan kemarin betul-betul sangat berat beban penyelenggaraan teknis, sangat berat sampai ke soal psikologis," kata Pramono.
Selain dari perspektif penyelenggara, jika Pemilu nasional dan Pemilu daerah dipisahkan akan memudahkan juga para pemilih. Terutama isu yang dibawa ketika proses pemilihan. Saat 2019 lalu, isu kedaerahan tertutup akibat hingar bingar Pilpres.
"Begitu juga kemudahan pemilih memilah isu karena 2019, pemilih sulit membedakan isu nasional Pilpres dengan anggota legislatif di kabupaten kota, caleg provinsi. Yang isunya bisa jadi berbeda dengan isu di nasional," kata Pramono.
©2020 Merdeka.com/Arie Basuki
Menengok ke belakang, menurut Ketua KPU Arief Budiman, total ada 894 petugas yang meninggal dunia dan 5.175 petugas mengalami sakit dalam gelaran Pemilu 2019.
Dikutip dari kompas.com, menurut Arief, beban kerja di Pemilu 2019 cukup besar sehingga menjadi salah satu faktor banyak petugas yang sakit atau meninggal dunia.
Karena itu, Arief mengusulkan penggunaan e-rekapitulasi untuk membuat proses penghitungan lebih cepat dan tidak membuat petugas kelelahan.
"Beban kerja yang kemarin berat di Pemilu 2019, kita usulkan dan sedang on going proses penggunaan e-rekapitulasi," ujarnya.
Selain itu, Arief juga ingin ada salinan untuk peserta dalam bentuk digital. Hal itu dilakukan untuk membuat proses pemilu menjadi ramah lingkungan.
"Untuk jangka panjang 2024 kita juga menyusulkan salinan dalam bentuk digital. Jadi kita enggak membutuhkan kertas yang banyak itu," ucap Arief.
Data Kemenkes mencatat, petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang sakit sudah mencapai 11.239 orang. Petugas yang dinyatakan meninggal mencapai 527 jiwa. Jumlah tersebut dari hasil investigasi Kemenkes di 28 provinsi per tanggal 15 Mei 2019.
Berdasarkan laporan dinas kesehatan di setiap provinsi menunjukkan jumlah petugas Pemilu yang meninggal terbanyak ada di Provinsi Jawa Barat dengan jumlah 177 jiwa, diikuti Jawa Timur 82 jiwa, dan Jawa Tengah 44 jiwa.
©2020 Merdeka.com/Dwi Narwoko
Sisanya, di Sumatera Barat satu jiwa, Bengkulu 7 jiwa, Kepulauan Riau empat jiwa, Lampung 23 jiwa, Sumatera Selatan 25 jiwa, Jambi enam jiwa, Riau tujuh jiwa, Banten 29 jiwa, DKI Jakarta 18 jiwa, Jawa Barat 177 jiwa, Jawa Tengah 44 jiwa, Jawa Timur 82 jiwa, Yogyakarta 10 jiwa, Kalimantan Tengah enam jiwa, Kalimantan Timur enam jiwa, Kalimantan Selatan delapan jiwa, Kalimantan Barat 26 jiwa, Gorontalo tidak ada, Bali dua jiwa, NTB tujuh jiwa, Sulawesi Utara dua jiwa, Sulawesi Tenggara enam jiwa, Maluku Utara tidak ada, dan Maluku dua jiwa.
Penyebab terbanyak kematian di Jawa Barat adalah gagal jantung dengan jumlah 24 jiwa, begitupun di Jawa Timur yang jumlahnya 11 jiwa.
Berbeda dengan Jawa Tengah, penyebab kematian terbanyak di sana adalah infarct myocard sebanyak tiga jiwa. Penyakit lainnya berupa koma hepatikum, stroke, respiratory failure, hipertensi emergency, meningitis, sepsis, asma, diabetes melitus, gagal ginjal, TBC, kegagalan multi organ, dan satu lagi disebabkan oleh kecelakaan.
Sementara untuk petugas Pemilu sakit yang mencapai 11.239 disebabkan sembilan jenis penyakit, yakni Hipertensi Emergency, Diabetes, Asma, Dispepsia, Gastritis, infeksi saluran kemih, typoid, syncope, dan stroke. Secara kumulatif, usia petugas yang sakit paling banyak berkisar antara 30-39 tahun.
Baik petugas yang meninggal maupun yang sakit, keduanya disebabkan oleh penyakit tidak menular yang memiliki kasus tinggi di Indonesia. Dalam 30 tahun terakhir ini, terjadi perubahan pola penyakit yang disebabkan berubahnya perilaku manusia. Pada tahun 1990-an, penyebab kematian dan kesakitan terbesar adalah penyakit menular.
Sejak tahun 2010 penyebab terbesar kesakitan dan kematian adalah penyakit tidak menular seperti stroke, jantung, dan kencing manis. Penyakit Tidak Menular memiliki proporsi utama yaitu 57 persen dari total kasus.
Menumpuk Konflik
Pendiri Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Saiful Mujani menilai, Pemilu nasional dan Pilkada digelar secara serentak merupakan penumpukan konflik dan berisiko. Ia mengatakan, seharusnya konflik itu didistribusikan agar bisa dikelola.
"Konflik politik karena perbedaan kepentingan adalah normal. Yang harus dilakukan adalah mengelolanya supaya tidak menjadi kekerasan. Demokrasi adalah satu cara untuk tujuan itu. Pemilu/pilkada dilakukan serempak adalah bentuk penumpukan konflik dan beresiko," katanya.
"Sebaiknya konflik dikelola dengan mendistribusikannya menurut tempat dan waktu sehingga risiko bahaya dapat ditekan dan lebih managable sesuai dengan kemampuan kita," jelasnya.
Dia menilai, Pilkada dan Pemilu jika dipisahkan akan mudah dikelola. Contohnya adalah penyelenggaraan Pilkada 2020 yang dianggap sukses meski digelar saat pandemi.
"Pilkada dan pemilu yang tersebar menurut waktu dan tempat, resiko tak terkelolanya lebih rendah seperti pengalaman kita selama ini. Contoh mutakhir adalah pilkada 2020 yang sukses besar: damai, voter turn out tinggi meski di tengah pandemi," ujarnya.
©2020 Liputan6.com/Angga Yuniar
Namun, berkaca pada 2019, saat Pemilu diserentakan lima surat suara, dari Pilpres, legislatif DPR, DPD RI hingga DPRD provinsi dan kabupaten/kota, penyelenggaraannya kurang terkelola. Hasilnya, banyak korban berjatuhan.
"Pemilu dan pilpres 2019 adalah pelajaran mahal bagi kita. Kurang terkelola dengan baik. Banyak korban berjatuhan. Ini pelajaran penting. Jangan diulang," jelasnya.
Lebih lanjut, Saiful mengungkapkan, uji materi di Mahkamah Konstitusi menyatukan Pemilu dan Pilpres dikabulkan karena alasan politik praktis daripada pengelolaan demokrasi. Menurutnya, hal itu tidak didasarkan pada naskah akademik yang memadai.
Kepentingan politik praktisnya adalah agar Pemilu legislatif tidak menentukan Pilpres. Partai kecil bisa mengajukan calon tanpa syarat ambang batas kursi di parlemen.
"Kepentingan politik praktisnya adalah agar hasil pemilu legislatif tidak menentukan pilpres. Partai kecil bisa mengajukan calon tanpa syarat perolehan suara partai karena kedua pemilunya dilakukan serempak," terangnya.
Namun tujuan tersebut tidak tercapai lantaran DPR tetap membuat UU Pemilu dengan ambang batas pencalonan presiden berdasarkan hasil Pemilu sebelumnya.
"Tujuan ini tak tercapai. DPR tetap membuat UU agar capres didasarkan pada perolehan suara partai dari pemilu sebelumnya. Tresholdnya juga tetap tinggi sehingga hanya koalisi partai yang secara umum bisa mencalonkan," ungkapnya.
"Argumen bahwa presidensialisme tak bergantung terhadap partai dan DPR tak sepenuhnya benar. Terbukti omong kosong," tutup Saiful. [rnd]
Baca Lagi Aje https://www.merdeka.com/politik/ruu-pemilu-isyarat-jokowi-dan-bayang-bayang-894-petugas-pemilu-meninggal.htmlBagikan Berita Ini
0 Response to "RUU Pemilu: Isyarat Jokowi dan Bayang-bayang 894 Petugas Pemilu Meninggal | merdeka.com - merdeka.com"
Posting Komentar