Merdeka.com - Untuk kesekian kalinya, Undang-Undang Pemilu akan diubah. Setelah dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021, Komisi II DPR kini tengah membahas draf RUU Pemilu. Isu utamanya adalah mengembalikan pilkada sesuai jadwal.
Seperti diketahui, dalam Undang-Undang Nomor 10/2016 tentang Pilkada, pelaksanaan pilkada tahun 2022 dan 2023 dilakukan serentak pada 2024. Saat UU itu dibuat, pertimbangan utamanya adalah, pelaksanaan yang serentak akan menghemat anggaran serta meningkatkan partisipasi pemilih.
Namun, dampaknya, mengundur pelaksanaan pilkada hingga 2024 akan membuat lebih dari 200 daerah tidak memiliki kepala daerah definitif dan akan dijabat oleh pelaksana tugas (Plt) yang ditetapkan Kemendagri. Untuk Jakarta misalnya, jika pilkada tidak digelar pada 2022, Gubernur DKI akan dijabat oleh Plt selama dua tahun.
Wakil Ketua Komisi II DPR Saan Mustopa mengungkapkan, hampir seluruh fraksi sepakat bahwa pelaksanaan pilkada dikembalikan sesuai siklus lima tahunan dan digelar pada tahun 2022 dan 2023. Hanya Fraksi PDIP yang menolak perubahan itu, sedangkan Fraksi Gerindra belum menyatakan sikap.
Anggota Komisi II dari Fraksi PAN Guspardi Gaus menyebut ada opsi lain yang muncul yakni pemilu serentak tetap digelar namun diundur pada tahun 2027. Sedangkan Pilkada tahun 2022 dan 2023 tetap dilaksanakan sesuai jadwal.
Guspardi menjelaskan, draf revisi UU Pemilu belum memutuskan secara tegas soal konsep keserentakan Pemilu. Yang pasti, pilihan tetap mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi nomor 55/PUU-XVII/2019. Putusan itu memiliki beberapa variabel keserentakan Pemilu.
"MK memberikan variable bermacam-macam, kita ambil salah satu opsi yang kemungkinannya lebih dipahami. Kita bicarakan dampak positif dan dampak negatif," ujarnya.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Heroik M Pratama menilai, wajar jika pembahasan revisi UU Pemilu berkaitan kepentingan partai politik. Namun, DPR dan pemerintah juga harus memikirkan perbaikan persoalan dalam undang-undang Pemilu.
"Bagaimana partai politik bertarung gagasan, preferensi, kepentingan sangat kuat dengan tujuan UU Pemilu bisa mereka pahami dan beri insentif keterpilihan dan juga perolehan suara signifikan bagi partai politik," kata Heroik dalam diskusi daring Minggu (24/1).
Sayangnya, porsi kepentingan parpol lebih besar saat pembahasan daripada perbaikan masalah dalam desain kepemiluan. Kepentingan politik salah satunya pembahasan ambang batas justru bisa membuat penyelesaian revisi UU Pemilu menjadi molor. Seperti ketika perdebatan ambang batas pencalonan presiden dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 lalu.
Perludem mendorong DPR dan pemerintah dalam membahas revisi UU Pemilu yang baru membuat skala prioritas isu yang harus direspons. Catatan Perludem, yang harus diperhatikan adalah keserentakan dan waktu penyelenggaraan Pemilu.
"Bagaimana kemudian pembahasan revisi UU ini, pemangku kebijakan kita anggota DPR harus membuat skala prioritas isu mana yang krusial itu harus segera diperbaiki. Sedangkan desain elektoral parpol bagaimana dapat suara itu di akhir," ucap Heroik.
Baca Lagi Aje https://www.merdeka.com/politik/uu-pemilu-diubah-lagi-siapa-berkepentingan-hot-issue.htmlBagikan Berita Ini
0 Response to "UU Pemilu Diubah Lagi, Siapa Berkepentingan? | merdeka.com - Merdeka.com"
Posting Komentar