RAMALLAH, KOMPAS.com - Warga Palestina tidak yakin pemilihan nasional pertama mereka dalam 15 tahun dapat membawa perubahan lebih baik di negaranya.
Presiden Mahmoud Abbas mengatakan pada Jumat (15/1/2021) bahwa pemilihan parlemen dan presiden akan diadakan pada akhir tahun ini dalam upaya memulihkan perpecahan yang berlangsung lama.
Rival utama pemerintah berkuasa, kelompok militan Hamas, menyambut kabar tersebut, seperti yang dilansir Reuters pada Sabtu (16/1/2021).
Pengumuman tersebut secara luas dilihat sebagai isyarat yang bertujuan untuk mengundang kesan positif dari presiden terpilih AS Joe Biden.
Sebab, Palestina ingin mengatur ulang hubungan diplomasi dengan AS setelah berada di titik terendah di bawah pemerintahan Donald Trump.
Baca juga: Ribut soal Generator Listrik, Tentara Israel Tembak Pria Palestina hingga Lumpuh
Namun, jajak pendapat pada Desember lalu yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Kebijakan dan Survei Palestina menemukan 52 persen warga Palestina berpikir pemilu yang diadakan dalam kondisi sekarang tidak akan adil dan bebas.
Jika Hamas menang, 76 persen pihak Fatah tidak akan menerima hasilnya. Sebaliknya jika Fatah menang, 58 persen yakin Hamas akan menolak kemenangan itu.
"Kita telah mengambul langkah tapi, kita masih jalan kami masih panjang," kata analis politik veteran Tepi Barat, Hani al-Masri.
"Hambatan besar tetap ada dan tanpa mengtasi hambatan seluruh operasi pasti gagal," imbuhnya.
Pengamat Palestina itu mengatakan rintangan itu di antaranya berada di ketidaksepakatan Hamas dan Fatah, yang telah menjadi faksi dominan di bawah Organisasi Pembebasan Palestina.
Baca juga: Israel Tolak Secara Tidak Resmi WHO untuk Penuhi Vaksin Covid-19 di Palestina
Saat ini, belum jelas mekanisme apa yang akan digunakan untuk memastikan pemilu yang bebas.
Apakah pihak internasional akan mengambil bagian dan apakah Abbas yang berusia 85 tahun dengan kesehatan yang buruk, akan tetap mencalonkan diri.
Amerika Seriakt, Israel, serta Uni Eropa (UE) kemungkinan akan menolak kesepakatan dengan pemerintah Palestina siapa pun, termasuk Hamas, yang oleh Barat ditetapkan sebagai kelompok teroris.
Sementara, Uni Eropa menyambut baik rencana pemilihan umum itu.
"UE siap untuk terlibat dengan pihak terkait untuk mendukung proses pemilu," kata juru bicara untuk Urusan Luar Negeri dan Kebijakan Keamanan dalam sebuah pernyataan.
"UE juga menyerukan otoritas Israel untuk memfasilitasi penyelenggaraan pemilu di seluruh wilayah Palestina," lanjutnya.
Perserikatan Bangsa-Bangsa ( PBB) juga siap untuk mendukung upaya Palestina melatih hak demokrasi mereka, kata juru bicara Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres.
Ia menambahkan bahwa itu akan "menjadi langkah menuju persatuan Palestina".
Baca juga: Otoritas Palestina Setujui Penggunaan Vaksin Covid-19 Sputnik V Buatan Rusia
Perebutan kekuasaan
Pejabat Israel tidak segera memberikan komentar terkait dengan rencana pemilu Palestina.
Tidak jelas apakah Israel akan mengizinkan kegiatan pemilu berlangsung di Yerusalem Timur, seperti yang telah dilakukan sebelumnya.
Warga Palestina ingin menggelar pemilu di sana, begitu pula di Tepi Barat dan Gaza.
"Kami memiliki alternatif lain, yang penting adalah orang-orang dari Yerusalem dapat ikut serta dalam pemilu," kata Hanna Nasir, ketua Komite Pemilihan Pusat Palestina, pada Sabtu (16/1/2021).
Pemungutan suara parlemen terakhir, pada 2006, berakhir dengan kemenangan mengejutkan oleh Hamas dalam pemilihan nasional pertama mereka.
Namun, berakibat tercipta keretakan hubungan dengan Fatah, yang merosot menjadi perang saudara ketika Hamas menguasai Gaza pada tahun berikutnya.
Gaza sekarang menjadi benteng Hamas, sementara basis kekuatan Abbas dari Fatah berada di Tepi Barat yang diduduki Israel.
Baca juga: 4 Negara Mencoba Hidupkan Kembali Perundingan Damai Israel dan Palestina
Kedua kelompok telah gagal mencapai rekonsiliasi yang langgeng, dan janji sebelumnya untuk menyelenggarakan pemilu tidak terpenuhi.
Kelompok hak asasi menuduh keduanya menekan oposisi politik.
Abbas mengatakan pemilihan parlemen akan diadakan pada 22 Mei dan pemilihan presiden pada 31 Juli.
Dia menang pada 2005, tapi masa jabatannya hanya berlangsung 4 tahun.
Banyak warga Palestina biasa yang skeptis.
“Mereka akan menemukan seribu alasan untuk membatalkannya dengan Israel, perlawanan, pembagian kekuasaan, apa saja. Saya tidak punya harapan,” kata seorang pria Gaza, yang meminta untuk tidak disebutkan namanya karena dia melanggar lockdown virus corona.
Zuheir al-Khatib, seorang dokter berusia 57 tahun dari Bethlehem, lebih optimis.
“Ini adalah keputusan yang 100 persen bagus, pantas selama lebih dari 15 tahun, kita seharusnya memulai sebuah negara dan karenanya harus berdemokrasi,” katanya.
Baca juga: Rakyat Palestina Demo Tolak Permukiman Israel, 15 Orang Luka-luka
Baca Lagi Aje https://www.kompas.com/global/read/2021/01/18/063947070/presiden-palestina-rencanakan-pemilu-pertama-setelah-15-tahun-warga-tak?page=allBagikan Berita Ini
0 Response to "Presiden Palestina Rencanakan Pemilu Pertama Setelah 15 Tahun, Warga Tak Yakin Demokrasi Tercapai - Kompas.com - KOMPAS.com"
Posting Komentar