Search

Mana yang Terbaik Untuk Pemilu Indonesia - Rancah.com

Pada tahun 2019, dilaksanakannya pemilihan umum secara serentak untuk pertama kalinya di Indonesia. Dengan menggabungkan pemilihan secara eksekutif-legislatif secara serentak atau bersamaan. Dalam pelaksanaannya pemilihan dilaksanakan dengan memilih DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kota/Kabupaten, dan Presiden secara bersamaan.  Hal ini merupakan salah satu dari lima alternative model yang ditawarkan Mahkamah Konstitusi sebagai model yang yang dapat diterapkan di Indonesia.

Berkaca dari model yang telah diterapkan pada tahun 2019. Dalam pelaksanaannya dijumpai masih banyak terdapat kekurangan dan kelemahan yang terjadi dari penggunaan model pemilu serentak antara pemilihan legislativ dengan pemilihan eksekutif. Mulai dari masalah distribusi logistik, kekurangan surat suara, kerusakan kotak suara, kerusakan surat suara, hingga surat suara tercoblos lebih dulu. Deretan kasus ini menunjukkan KPU gagal menjamin pemilu berjalan langsung. Nyatanya hal ini memang benar, didapati di beberapa daerah, karena pemilu serentak 2019 ini benar-benar menguras tenaga penyelenggara untuk melaksanakan pemilu.

Butuh waktu yang lama dan tenaga yang tidak sedikit untuk menghitung jumlah suara dari lima kotak sekaligus dan menuliskannya kembali pada form C1. Dari kasus yang ada, akibat dari kelelahan yang hebat dari penyelengaraan pemilu lebih dari 550 orang anggota KPPS meninggal dan 11.000 lebih yang sakit karena kelelahan. Kembali lagi keatas, hal ini memang dikarenakan pemilu tersebut memakan waktu yang lama dan tenaga yang tidak sedikit.

Selain itu, pemilu tahun 2019 terlalu banyak surat suara yang harus dicoblos oleh pemilih, sehingga dikhawatirkan pemilih bingung harus memilih siapa dari calon-calon yang ada dalam pemilu. Terutama para lansia yang mungkin sudah kesusahan dalam memilih, ditambah lagi dengan banyaknya calon yang harus dipilih.

Dari yang ditawarkan Mahkamah Konstitusi telah diterapkan salah satu model yang digunakan pada pemilihan umum tahun 2019. Yaitu dengan menggunakan lima kotak yang mana menggabungkan pemilu eksekutif-legislatif pusat dan pemilu legislatif daerah. Kedua, Mahkamah Konstitusi juga menawarkan dengan menggabungkan pemilu eksekutif-legislatif pusat dan pemilu eksekutif daerah. Yang artinya dalam pemilu legislatif daerah dipisahkan. Selanjutnya ada juga dengan menggabungkan seluruh pemilu eksekutif-legislatif di nasional maupun daerah secara serentak. Keempat, ditawarkan dengan memisahkan antara pemilu dan daerah. Kelima, dengan memisahkan seluruh tingkatan dalam pemilu, sehingga diadakannya tiga kali pemilihan dalam setahun yaitu pemilu nasional untuk memilih DPR, DPR, dan Presiden. Pemilu daerah provinsi untuk memilih DPRD Provinsi dan Gubernur. Serta pemilu daerah kabupaten/kota untuk memilih DPRD kabupaten/kota dan bupati/walikota.

Dalam pemilihan umum ada pasal dalam UUD 1945 untuk mengatur pemilu yang berbeda.

  • Pasal 22E ayat 2 untuk pemilu legislatif, meliputi DPR,DPD, dan DPRD dan pemilu eksekutif, meliputi presiden dan wakit presiden
  • Pasal 18 ayat 4 untuk pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah

Dalam pelaksanaan pemilu 2019 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 ini menjadi dasar hukum penyelenaggaraan Pemilu DPR, DPD, DPRD dan Pilpres tahun 2019 yang diselenggarakan secara serentak. Serta model pemilu yang ditawarkan oleh Mahkamah Konstitusi diatas Melalui Putusan No. 55/PUU-XVI/2019.

Jadi, seharusnya yang manakah harus digunakan dalam model pemilihan umum di Indonesia di masa yang akan datang. Setidaknya Mahkamah Konstitusi telah menawarkan lima model yang telah dijelaskan diatas. Tinggal bagaimana DPR sebagi pembentuk undang-undang untuk memilih model pemilu sepanjang tetap menjaga keserentakan pemilu anggota DPR, DPD dan Presiden. Dalam arti, model apapun adalah konstitusional sepanjang tiga jenis pemilu tersebut tetap diserentakkan yang ditujukan untuk memperkuat sistem presidensial.

Setidaknya ada beberapa faktor pertimbangan yang harus dilihat dalam memilih model dari pemilihan umum, mana yang terbaik untuk Indonesia saat ini.

  1. Penyelenggara

Dengan melihat beban yang dialami penyelenggara, yang jadi pertanyaan apakah penyelenggara dalam hal ini KPPS yang diangkat oleh KPU sanggup menjalankan atau menyelenggarakan pemilihan secara serentak dengan jumlah pemilihan lebih dari lima kotak. Yang mana telah dicoba menggunakan lima kotak dan kita bisa melihat apa yang terjadi dalam pemilu tahun 2019. Mengisi formulir c1 yang sangat banyak pastinya memberatkan, sehingga menjadi beban tambahan yang sangat luar biasa, karena banyak sekali, formulir untuk saksi, formulir untuk pengawas, bayangkan pesertanya ada 16 berarti kan 16 salinan. Dari kejadian tahun 2019, bahkan penghitungan suara dilakukan higga malam hari, bahkan sampai tangah malam. Di malam hari penglihatan mulai berkurang dan bisa jadi terjadi ketidak akuratan penghitungan suara dalam prosesnya.

Dari situ setidaknya agar tidak menggunakan model yang dilaksanakannya dengan lima kotak atau lima pemilihan sekaligus, untuk mengurangi beban kerja yang sangat berat untuk pihak penyelenggara serta menghemat waktu dalam melakukan pengitungan suara.

  1. Pemilih

Selain penyelenggara, pemilih menjadi faktor yang berpengaruh dalam pemilu serentak. Yang mana, pemilih akan merasa kebingungan apabila menggunakan model yang lima kotak atau lebih, karena banyaknya calon yang akan dipilih diantara DPR, DPD, dan DPRD karena mereka tidak atau kurang mengenalnya calon yang akan mereka pilih dari daerah pilih mereka masing-masing. Dari banyaknya pilihan yang akan dipilih bisa saja pemilih asal mencoblos saja, karena tidak mau ambil pusing dengan siapa yang harus ia coblos. Bahkan mungkin saja berujung golput dengan mencoblos dua suara atau lebih sekaligus. Hal tersebut akan menyianyiakan hak pilih dari pemiilih tersebut.

Menggunakan model dengan membagi waktu pemilihan menjadi hanya 3 atau 4 kotak dalam satu kali pemilihan dan dilanjutkan dengan pemilihan selanjutnya dalam jeda beberapa waktu, bisa membuat para pemilih untuk melihat terlebih dahulu siapakah calon yang akan ia pilih. Dikarenakan juga sedikitnya pilihan yang akan ia pilih. Namun, yang ditakutkan dari model ini turunya intensitas kehadiran pemilih dalam partisipasinya dalam pemilihan selajutnya. Yang jadi pertanyaan apakah mereka mau untuk hadir di pemilihan selanjutnya, yang mana dengan ketidakhadiran pemilih tersebut adalah golput, bahkan lebih parah dari asal coblos.

Itu beberapa faktor dari pemilih dalam mempertimbangkan model mana yang harus digunakan untuk pemilu Indonesia

  1. Anggaran

Mungkin dengan menggunakan model pemilu tahun 2019, bisa menghemat pengeluaran anggaran dalam menyelenggarakan pemilu. Meski anggaran yang digunakan naik 61% dari tahun 2014 sehingga mencapai 25 Triliun. Setidaknya, jika menggunakan model dua atau tiga kali akan lebih mengeluarkan anggaran lebih ketimbang satu kali pemilihan yang dilakukan serentak dalam satu tahun.

  1. Kualitas pemilu

Kualitas pemilu ini ditunjukkan dengan isu-isu serta janji dari para calon yang akan dipilih oleh pemilih. Pada dasarnya partai-partai politik pastinya mengusulkan visi-misi serta janji yang berbeda-beda. Hal ini kembali lagi kepada pemilih yang akan kebingungan. Serta biasanya dengan menggunakan model 2019 mereka akan lebih fokus kepada pemilihan presiden ketimbang pemilihan legislative. Ditakutkannya dengan begitu kurangnya pengawasan dalam suara dari pemilihan legislatif daerah, seperti DPRD provinsi atau kabupaten/kota. Seperti terjadinya money politik, transaksi suara dari calon yang sudah merasa dan pasti dirinya kalah memindahkan suaranya  ke calon lain yang kemungkinan besar menang dalam pemilihan.

Dengan dibaginya pemilu di tingkat nasional dan daerah mungkin akan mengatasi kurangnya pengawasan terhadap pemilihan di daerah.

Dari beberapa faktor dan penjelasan diatas, diambil kesimpulan setidaknya saat ini atau nanti model terbaik untuk digunakan adalah dengan membagi pemilihan pada tingkat nasional dan daerah. Dilaksanakannya pemilihan di nasional terlebih dahulu, seperti memilih presiden,DPD, dan DPR.  Calon pun lebih sedikit dan lebih mudah untuk dikenal oleh pemilih karena hanya tiga kotak yang akan dipilih. Selang beberapa bulan, diadakan kembali pemilihan di tingkat daerah seperti DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, pemilihan gubernur, dan pemilihan bupati/walikota. Setidaknya tidak mencapai lima kotak dan calon pada pemimpin daerah sedikit pilihannya, sehingga tetap mudah untuk mengenali calon yang akan dipilih pada pemilihan DPRD.

Hal ini juga memperingan kerja dari penyelenggara karena tidak banyak yang harus mereka kerjakan serta bisa menghemat waktu dari pemilu meski anggaran yang harus dikeluarkan lebih dari model yang lain.

Oleh: Rayhan Rahmadi

Let's block ads! (Why?)

Baca Lagi Aje https://www.rancah.com/berita-opini/64877/mana-yang-terbaik-untuk-pemilu-indonesia/

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Mana yang Terbaik Untuk Pemilu Indonesia - Rancah.com"

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.