Jakarta, Beritasatu.com – Peneliti JPPR Nurlia Dina Paramitha mengungkapkan, sejumlah dampak negatif jika pemilu dan pilkada tetap serentak atau bersamaan digelar pada Tahun 2024. Menurut Nurlia, setidaknya terdapat empat dampak negatifnya.
“Pertama, pemilih berpotensi tidak cermat dalam melakukan pemetaan calon yang akan dipilih karena pemilihan (7 kotak suara) dilakukan dalam satu waktu. Pemilih pemula dan pemilih perempuan cenderung mengalami kesulitan dalam menentukan kualifikasi calon,” ujar Nurlia dalam diskusi virtual oleh Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Minggu (7/2/2021).
Kedua, kata Nurlia, bakal terdapat ratusan daerah baik itu provinsi, kabupaten/kota yang tidak memiliki kepala daerah pada tahun 2022 dan 2023. Setidaknya, terdapat 101 daerah di tahun 2020 dan 170 daerah di tahun 2023, yang akan dipimpin oleh Plt penjabat.
“Dalam hal ini, perlu dipastikan bagaimana plt penjabat ini bisa menjalankan kebijakan-kebijakan yang benar-benar tetap berorientasi kepada masyarakat,” kata dia.
Ketiga, lanjut dia, aparat penyelenggara berpotensi mengalami degradasi mental dan kegagalan kinerja. Pasalnya, mekanisme kerja borongan yang rumit dan rentan kecurangan karena harus mengerjakan 7 pemilu sekaligus dalam satu tahun. Padahal, dengan 5 jenis pemilu seperti tahun 2019 saja, sudah banyak penyelenggaraan yang meninggal dan sakit karena beban kerja yang banyak.
“Dengan beban kerja yang banyak maka berisiko kepada kematian, apalagi masih dalam situasi pandemi Covid-19 yang belum dipastikan kapan berakhirnya,” tutur dia.
Keempat, kata Nurlia, partai pemenang menuai hasil kemenangan yang ditengarai hanya menguntungkan kepentingan kelompoknya saja bukan kebutuhan pemilih secara umum.
Namun, tambah Nurlia, jika tetap dipaksakan Pemilu 2024 tetap digelar, maka para pengambil kebijakan harus memastikan adanya keadilan pemilih. Hal ini bisa diwujudkan dengan beberapa cara, pertama, menciptakan peraturan yang mempermudah pemilih dalam menunaikan hak pilihnya secara efektif efisien dan nirkonflik
“Kedua, perlu desain khusus sistem pelaksanaan elektoral di masa pandemi, ini guna mengurangi potensi penyelenggara dan pemilih yang tertular. Misal TPS dianggarkan lebih banyak dengan metode jaga jarak, swab antigen dan termasuk peralatan APD,” ujar dia.
Ketiga, kata Nurlia, harus ada skema pembedaan antara pemilu nasional dan lokal tidak dalam 1 tahun pelaksanaan. Sehingga pemilih mampu menentukan aspirasi kedaerahan dengan lebih rasional dan kritis. Keempat, pemilih harus mendapatkan asupan informasi terkait sosialiasi pelaksanaan pemilu serentak 2024 dari parpol termasuk tawaran informasi calon anggota legislatif dan calon kepala daerah beserta jaring aspirasi bottom up sehingga mampu mewujudkan kebaikan pemerintahan.
“Terakhir kami mendorong kebijakan caleg dan cakada berasal dari usulan masyarakat dalam hal ini didorong melalui gerbong LHKP PP Muhammadiyah yang dititipkan kepada Partai strategis di parlemen, tiap daerah pemilihan dari 13 dapil, 5 dari unsur masyarakat,” kata Nurlia.
Sumber: BeritaSatu.com
Baca Lagi Aje https://www.beritasatu.com/politik/729831/ini-dampak-negatif-jika-pemilu-dan-pilkada-tetap-digelar-pada-2024Bagikan Berita Ini
0 Response to "Ini Dampak Negatif Jika Pemilu dan Pilkada Tetap Digelar pada 2024 - BeritaSatu"
Posting Komentar