Search

Dilema RUU Pemilu - fin

JAKARTA – Ruang publik masih terus membicarakan tentang revisi UU Pemilu. Pro dan Kontra tentu saja menjadi hal biasa. Para pengamat, pakar politik dan politisi senayan memberikan pandangan yang cukup beragam.

Beberapa pengamat dan pakar politik setuju untuk dilakukan revisi terhadap UU No. 17 Tahun 2017. Namun, beberapa lagi kurang sependapat mengingat revisi UU Pemilu baru di sahkan di tahun 2017.

Anggota Komisi VIII DPR RI Asli Chaidir menilai, revisi UU Pemilu merupakan hal yang dilematis. Anggota DPR yang memiliki fungsi legislasi harus benar-benar mendalami ke arah mana revisi UU Pemilu.

BACA JUGA: Komentari Unggahan Instagram Istri Ayus, Nissa Sabyan: Jangan Terlantarkan Anak

“Karena saya melihat revisi UU Pemilu ini ada dua sisi, apakah ambisi parpol atau untuk kepentingan rakyat. Dan tentunya DPR memerlukan masukan dari masyarakat” jelas Asli lewat keterangan resminya, Jumat (19/2).

Menurutnya, ada sejumlah catatan penting dari Pemilu Pemilihan Presiden 2019 lalu. Misalnya saja, beban kerja KPPS yang sangat tinggi sebelum, selama pelaksanaan pemilu dan sesudah hari pemilihan.

Kemudian, masih terdapat kendala terkait dengan logistik pemilu, bimtek dan kesehatan yang pada akhirnya menyebabkan banyak terjadi kematian pada petugas KPPS.

BACA JUGA: Menkeu Sebut Ketersediaan Air Bersih dan Sanitasi Harus Jadi Prioritas Pemerintah

Tidak hanya itu, Pilpres membuat Pileg tidak mendapat perhatian yang sepadan dari pemilih. Khususnya pemilu legislatif di daerah yaitu pemilihan DPD dan DPRD.

Meningkatnya suara tidak sah dalam pemilu. Terutama pemilu DPD, DPR dan DPRD yang diakibatkan kebingungan dari pemilih dan perhatian pemilih yang terfokus pada pemilihan presiden dan wakil presiden.

“Isu lokal, masalah-masalah lokal tenggelam oleh isu isu nasional. Sosialiasi dan pendidikan kepemiluan kepada masyarakat tidak optimal,” terangnya.

BACA JUGA: Indonesia Tarik Utang Rp7 Triliun dari Bank Dunia, Tengkuzul: Apa Enggak Bikin Bingung Seantero Pluto?

Ia melanjutkan, pertanyaannya adalah, apakah catatan catatan tersebut cukup kuat untuk dapat dilakukan revisi pada UU Pemilu yang baru disahkan oleh DPR. Apakah perlu dilakukan revisi pada UU Pemilu ?

“Pertanyaan ini sangatlah sulit, karena tentunya UU Pemilu yang disusun seharusnya tidak berhenti pada bagaimana menghasilkan pemilu yang demokratis,” ternagnya.

Melainkan juga harus sampai pada pemilu yang dapat menghasilkan atau terbangunnya pemerintahan yang demokratis dan stabil agar dapat melakukan pembangunan dengan baik.

Asli menjelaskan, sejak pemerintahan Orde Baru, bahkan di era reformasi, desain dan penyelenggaraan pemilu tidak lepas dari kritik dan kekurangan-kekurangan baik UU dan proses penyelenggaraannya.

BACA JUGA: Buronan Ini Pasrah Saat Dibekuk Tim Intelijen Kejari Kabupaten Bogor di Rumahnya

Revisi UU Pemilu, seolah-olah menjadi aktivitas lima tahunan bagi DPR. Dengan tujuan untuk memperbaiki sistem kepemiluan dan penyelenggaraannya. Meski kalau dilihat seksama, revisi UU Pemilu yang dilakukan selama ini terkadang hanya besifat tambal sulam semata.

Bahkan perubahan UU Pemilu yang dilakukan setiap lima tahun sekali menyebabkan kebingungan pada banyak pihak, baik pada penyelenggara pemilu, peserta pemilu dan tentunya masyarakat sebagai pemilih dalam pelaksanaan pemilihan umum.

“Dengan Pandemi Covid-19, yang melanda dunia dan Indonesia tentunya. Harus menjadi pertimbangan bagi pemerintah dan DPR dalam melakukan revisi sebuah UU. Masih ada beberapa UU yang memang menjadi prioritas untuk dilakukan revisi,” paparnya.

BACA JUGA: DS Nyinyir Aceh Provinsi Termiskin, Geisz Chalifah: Emas di Puncak Monas Disumbang Warga Aceh

Ia mencontohkan. UU Penanggulangan Bencana, seharusnya di kedepankan untuk dibahas dan dilakukan revisi sebagai bagian dari ikhtiar untuk memperbaiki proses penanggulangan bencana di Indonesia.

Sebelumnya, Anggota Komisi II DPR RI Guspardi Gaus menyatakan pasal-pasal yang ada dalam draf Revisi Undang-Undang (RUU) Pemilu masih bisa berubah dan draf RUU inipun belum tentu akan dilanjutkan pembahasannya.

Politisi PAN yang akrab disapa GG itu juga mengungkapkan isu krusial lainnya yaitu tentang ambang batas parlemen dan juga presiden. Dalam draf RUU Pemilu ini, ambang batas parlemen dipatok sebesar 5 persen dan ambang batas presiden masih pada 20 persen.

BACA JUGA: BPOM: Vaksin Covid-19 Buatan Bio Farma Siap Digunakan untuk Imunisasi

Pandangan Fraksi PAN terhadap masalah ini adalah parliamentary threshold sama dengan periode lalu yaitu 4 persen dan presidential threshold adalah partai yang mempuyai wakil di DPR RI. Jadi artinya setiap partai politik yang ada wakilnya di DPR berhak mengusung calon presiden pada pilpres mendatang.

Menurut Guspardi bila RUU ini nantinya tidak dibahas, dengan sendirinya apa yang ada dalam draf ini tidak bisa dijadikan dasar untuk melaksanakan ‘kepemiluan’ yang akan datang.

“Jadi yang akan menjadi dasar pelaksanaan ‘kepemiluan’ mendatang tentunya kembali kepada Undang-Undang yang sudah ada yaitu uu no 42 tentang pilpres uu no 10 tahun 2016 tentang Pilkada dan uu nomor 7 tahun 2017 tentang Pilleg,” tandasnya. (khf/fin)

Let's block ads! (Why?)

Baca Lagi Aje https://fin.co.id/2021/02/20/dilema-ruu-pemilu/

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Dilema RUU Pemilu - fin"

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.