Jakarta (Lampost.co) -- Seringnya aturan atau Undang-Undang Kepemiluan berubah mengindikasikan Indonesia belum menemukan format dan sistem pemilu yang baku dalam perjalanan demokrasi. Sistem trial and error masih mewarnai politik elektoral di era reformasi.
Pernyataan itu diungkapkan Direktur Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi dalam diskusi virtual bertema Menata kembali pemilu dalam undangundang yang diinisiasi Fraksi Partai NasDem, Senin (11/5). Dalam kesempatan itu, Burhanuddin memaparkan setiap menjelang pemilu, DPR dan pemerintah cenderung mengubah UU Pemilu.
“UU Pemilu berkaitan langsung dengan nasib partai politik atau calon presiden yang diusung partai politik. Dengan kata lain, UU berkorelasi langsung dengan kepentingan partai dalam merebut kekuasaan,” jelas Burhanuddin.
Salah satu polemik yang belum tuntas ialah model sistem keserentakan dalam pemilu. Keserentakan yang diatur dalam UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dinilai belum sempurna. Pasalnya, berdasarkan pengalaman Pemilu Serentak 2019 dengan 5 kotak suara, banyak sekali kendala teknis yang memungkinkan kemurnian suara pemilih menjadi terkontaminasi.
“Argumen lebih dari sisi teknis peyelenggaraan pemilu serentak lima kotak dianggap tidak manusiawi,” jelasnya.
Banyaknya kendala teknis pada Pemilu Serentak 2019 membuat beberapa penggiat kepemiluan yang dipelopori Perludem menggugat UU 7 Tahun 2017 tersebut ke MK. Dengan putusannya Nomor 55/PUI-XVII/2019, MK menyebutkan pemilu harus tetap dilaksanakan serentak.
Kendati menolak permohonan uji materi dari Perludem tersebut, MK tetap mengakomodasi tuntutan Perludem terkait salah satu opsi alternatif keserentakan yang bisa dipertimbangkan untuk pembentukan UU.
Adapun Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia Djayadi Hanan menilai ketentuan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold yang harus dicapai parpol dalam mencalonkan presiden tidak sejalan dengan sistem presidensial yang dianut Indonesia. “Tanpa
threshold, koalisi akan lebih alamiah dan tidak terpaksa sehingga lebih konsisten dengan logika sistem presidensial,” jelasnya.
Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai NasDem Saat Mustopa menjelaskan fraksinya ingin regulasi seputar sistem politik di Indonesia dikodifikasi. UU tentang pemilu, pilkada, dan partai politik (parpol) perlu digabung agar sistem politik mudah dipahami masyarakat.
Media Indonesia
Baca Lagi Aje https://www.lampost.co/berita-belum-ada-sistem-pemilu-baku.htmlBagikan Berita Ini
0 Response to "Belum Ada Sistem Pemilu Baku - Lampost"
Posting Komentar