Oleh: Ikhsan Tualeka
Ada satu pelajaran penting yang bisa kita petik dari Pemilu 2019 kemarin, khususnya pada Pemilihan Presiden. Yakni daerah-daerah dengan populasi penduduk yang relatif sedikit, tidak begitu menjadi perhatian para kandindat, baik dalam bentuk janji kampanye maupun intensitas kunjungan, termasuk Maluku.
Iya, sebagai daerah yang tak begitu seksi secara electoral, tentu para pemburu kekuasaan di level nasional tidak menganggap Maluku dan sejumlah daerah yang berpenduduk sedikit itu penting. Dianggap ‘tidak penting’ itu juga dapat dilihat dari belum dijadikan prioritas dalam proses pembangunan, seperti yang dapat disaksikan di Maluku Raya, Nusa Tenggara Raya dan Papua Raya, yang memang relatif sedikit jumlah penduduknya.
Faktanya daerah-daerah ini terus tertinggal dan nyaris terabaikan. Pembangunuan selalu menunjukan kesan Jawa sentris yang kuat. Lihat saja, urusan pembangunan infrastrukur transportasi di Pulau Jawa misalnya, ujung timur dan barat yang telah terhubung oleh jalan, kereta dan jalur penerbangan yang lengkap dan memadai, kini bahkan ditambah lagi dengan jalan tol, tumpang tindih.
Bandingkan dengan daerah pulau-pulau di Indoensia bagian timur, sangat timpang dan tidak adil. Pernyataan Presiden Jokowi dalam kampanye dalam Pilpres yang mengatakan telah membangun 191.000 KM jalan tentu layak membuat orang-orang di daerah kepulauan kecewa dan tersinggung, karena jalan menjadi kebutuhan utama di wilayah daratan, lantas yang wilayah lautnya lebih besar bagaimana nasibnya? Berapa buah kapal yang sudah disiapkan pemerintah untuk menghubungkan pulau-pulau, yang terpencil dan dipelosok itu?
Saya dalam berbagai kesempatan sering mengatakan, andai kita ini negara yang seluruhnya daratan, melihat realitas kekinian sebenarnya sudah dapat memicu terjadinya pergolakan sosial yang besar, atau mungkin revolusi. Untungnya Indonesia ini negara archipelago atau kepulauan, sehingga disparitas pembangunan tidak bisa langsung disaksikan atau dirasakan oleh orang-orang dari daerah yang tertinggal.
Misalnya warga negara di Pulau Wetar dan Leti di Maluku Barat Daya, atau Kelmury di Seram Bagian Timur, karena terpisah oleh laut dan jarak, tak langsung bisa menyaksikan, di bagian lain di negara mereka, orang-orang hidup dimanjakan dengan infrastruktur dan perhatian yang penuh dari pemerintah. Sementara mereka ada dalam keterbatasan dan keterisolasian.
Saya sendiri misalnya, sekarang lebih sering tinggal di Jakarta, namun bila balik ke Maluku atau bepergian ke wilayah Indonesia timur, saat kembali lagi ke Jakarta selalu saja merasa jomplang, ada perasaan tidak puas menjadi bagian dari anak bangsa, melihat realitas pembangunan yang tidak adil.
Di Pulau Jawa dan sebagian Sumatera, Infrastruktur dibanguan di mana-mana, jembatan dan jalan-jalan bertingkat, sedangkan di Indonesia timur tidak banyak berubah dari tahun ke tahun. Belum terhitung berbagai regulasi dan kebijakan yang selama ini tidak berpihak atau bahkan diskriminatif.
Problem ketidakadilan secara struktural ini akan terus ada, antara lain karena sistem demokrasi, khususnya dalam pemilihan presiden di negara ini masih menganut sistem popular vote atau suara terbanyak. Sistem yang hanya akan menguntungkan daerah yang memiliki populasi penduduk banyak.
Daerah dengan jumlah pemilih yang signifikan akan selalu menjadi prioritas pembangunan dari political office di level nasional, karena jauh lebih menjanjikan dan menguntungkan secara electoral. Memang sistem pemilihan presiden yang bersandar pada popular vote dinilai lebih demokratis, tapi sistem ini agaknya jauh lebih relevan untuk diterapkan di negara-negara continental atau daratan, yang tidak begitu beragam etnis dan budayanya, serta disparitas pembangunannya tidak begitu menonjol.
Tapi untuk Indonesia, negara kepulauan dengan beragam etnik, serta realitas kemajuan daerah yang tidak merata, sepertinya tidak begitu cocok atau kurang sesuai menganut sistem ini. Kedepan mungkin perlu dipikirkan satu formulasi baru, bisa saja dengan sedikit mengadopsi sistem Electoral College yang digunakan dalam pemilihan presiden di Amerika Serikat.
Dalam sistem ini yang diperebutkan adalah jatah electoral votes yang tersebar di 51 negera bagian. Dengan sistem electoral vote, suara yang kalah di negara bagian otomatis tidak akan dihitung, sebab berlaku sistem winner-takes-all. Itu artinya capres harus menang di lebih banyak negara bagian, jika mau tampil sebagai pemenang pilpres.
Dalam sejarahnya pun, sistem pemilihan ala Amerika itu dipilih setelah melewati debat panjang dengan memperhatikan berbagai pendapat yang berkembang. Kala itu, untuk mencari solusi, Kongres lalu membuat Konvensi Konstitusi untuk memilah metode pemilihan presiden.
Pendapat pertama, presiden akan dipilih secara langsung oleh Kongres dan Badan Legislatif setiap negara bagian. Sistem ini mungkin mirip dengan pemilu di era Orde Baru.
Pendapat ini kemudian ditolak karena dikhawatirkan mengundang tawaran politik ilegal yang merusak keseimbangan kekuasaan antara legislatif dan eksekutif di pemerintahan federal. Pendapat lain muncul, yang mengusulkan pemilihan presiden secara langsung.
Namun hanya sedikit delegasi yang setuju, karena ada keraguan terhadap kapasitas pemilih, sekaligus ketakutan bahwa tanpa informasi yang memadai terkait para kandidat dari luar negara bagian, masyarakat suatu negara bagian akan cenderung memilih ‘anak daerah’ yang berasal dari negara bagian mereka sendiri.
Terdapat pula kekhawatiran pilpres langsung hanya akan membuat negara besar dan berpenduduk banyak mendominasi pemerintahan dan kemudian mengesampingkan negara-negara bagian yang kecil. Kekhawatiran yang sepertinya terjadi dan mulai dirasakan di Indonesia.
Dalam bukunya The Electoral College: Preserve It or Abolish It? Politisi David Barton menjelaskan mengapa sistem ini yang akhirnya dipilih. Menurutnya, sistem ini memiliki dua filosofi, yakni memelihara bentuk pemerintahan republik dan menyeimbangkan kekuasaan antarnegara bagian dan antardaerah dengan luas wilayah dan latar belakang yang berbeda. Walau tentu terdapat kekurangan, dan dalam praktiknya juga rumit, tapi faktanya sistem ini sudah berlaku 200 tahun di Amerika, lebih teruji.
Sekali lagi, mungkin tidak harus mengadopsi mentah-mentah sistem Electoral College punya Amerika, tapi setidaknya perlu dipirkan adanya perubahan sistem pemilu yang lebih adil, untuk menjaga kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegera di Indonesia, belajar dari pengalaman yang telah dilalui Amerika. Pembenahan dan perbaikan sistem pemilihan presiden di Indonesia menjadi agenda penting agar semua daerah dilihat penting dan strategis secera politik electoral.
Dengan begitu semua daerah akan ada dalam prioritas pembangunan yang sama. Pemerintah atau political office di tingkat nasional akan memastikan perlakuan dan persentuhan yang sama dan adil dengan tiap-tiap warga negara di masing-masing daerah. Jika tak mau terjadi discontent social dan discontent politic, karena bila ini yang terjadi dan dirasakan masyarakat daerah, bersiaplah untuk ditinggal dalam election atau pemilu.
Tidak seperti saat ini, betapa pun dikecewakan, karena negara atau pemerintah kerap tak hadir dalam berbagai persoalan sosial yang dihadapi, daerah tak bisa protes secara prosedural dengan menjadi ‘hakim’ dalam pilpres. Sehingga, ambil contoh bila ada presiden atau petahana yang tidak menunjukan komitmen pembangunan terhadap daerah dengan jumlah penduduk relatif sedikit, dan lantas mayoritas pemilih di daerah-daerah itu tidak memilih petahana pun tak akan berpengaruh signifikan, bila ternyata petahana mendapat insentif electoral dari daerah yang jumlah penduduknya banyak.
Dengan ada perbaikan sistem pemilihan, semua daerah akan lebih egaliter, sejajar dalam konteks relasi politik nasional. Dengan begitu para capres juga akan mengatur porsi dan intensitas kunjungan yang sama ke semua daerah, tidak seperti sekarang. Sistem popular vote membuat kampanye politik dialogis, serta dana kampanye dan bantuan sosial jelang pilpres lebih banyak menyasar daerah-daerah dengan populasi pemilih yang banyak, sementara yang daerah berpenduduk sedikit hanya bisa gigit jari.
Saatnya pemerintah dan para politisi, khususnya di parlemen nasional, memikirkan dan merumuskan solusi sistem yang lebih baik dan relevan. Antara lain dengan segara kembali melakukan amandemen UU Pemilu, dan menjadikan sistem pilpres di Indonesia tidak lagi bersandar pada popular vote semata.
Ini perjuangan yang tidak mudah, tapi penting dan strategis agar semua daerah ada dalam posisi tawar dan perlakuan politik yang sama, sehingga disparitas dan ketidakadilan pembangunan tak lagi terjadi. Adil dulu, baru damai dan bersatu.
Penulis adalah Founder IndoEast Network
Comments
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Diskriminasi Politik, Dampak Ketidakadilan Sistem Pemilu di Indonesia - mediaharapan.com"
Posting Komentar