Kerusuhan yang terjadi pada 21-22 Mei 2019 sebatas bentrok antara massa dengan aparat di sejumlah titik sekitar Sarinah, Tanah Abang, dan Sabang. Tidak sampai terjadi penjarahan.
Bermula dari aksi unjuk rasa para pendukung pasangan calon presiden Prabowo Subianto dan calon wakil presiden Sandiaga Uno di depan kantor Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu), Sarinah, Jakarta Pusat. Pasangan tersebut kalah dari Joko Widodo-Ma'ruf Amin.
Kepolisian sendiri memberlakukan status siaga satu mulai dari 21 hingga 25 Mei 2019 untuk pengamanan usai penyampaian hasil final rekapitulasi nasional Pemilu 2019. Langkah itu diambil sebagai antisipasi jika terjadi kekacauan mengingat pendukung Prabowo-Sandi dan Jokowi-Ma'ruf terlibat dalam perseteruan yang kental hingga ke akar rumput.
Sejak pukul 10.00 WIB pada 21 Mei, massa sudah berorasi. Demonstrasi sejatinya berlangsung tertib hingga menjelang malam. Massa melakukan aksi damai, serta meminta tambahan waktu untuk melakukan salat magrib dan tarawih berjamaah.
Pada pukul 21.00 WIB, massa aksi balik kanan. Namun, dua jam kemudian terdapat kelompok di luar massa aksi sebelumnya mencoba merangsek ke depan Gedung Bawaslu. Mereka memprovokasi aparat.
"Pak polisi, pak polisi, jangan ikut kompetisi," pekik massa memprovokasi aparat yang sebagian besar tengah istirahat usai mengawasi demo sejak siang hari.
Unjuk rasa damai yang tercipta sejak siang kandas. Polisi bergerak cepat menangkapi massa yang memprovokasi. Massa berhamburan ke berbagai arah. Sejak itu, bentrok dengan aparat dimulai.
Sepanjang puku 22.00 WIB hingga waktu sahur, bentrokan tak kunjung berhenti. Sudah begitu banyak orang yang ditangkap. Namun, massa tetap terus memprovokasi aparat dengan batu, kayu, kembang api dan benda lainnya.
Sekitar pukul 03.00 WIB, ada kelompok massa yang melakukan perusakan di Asrama Brimob.di Jalan KS Tubun, Slipi, Jakarta Pusat. Polisi mengatakan hal itu sudah dipersiapkan oleh suatu kelompok. Akibatnya, 14 mobil terbakar dan 11 unit rusak.
"Kita dorong, Jalan Sabang dan Wahid Hasyim bukan kooperatif tapi menyerang petugas dan masa brutal. Kami terus mengimbau hampir 5 jam hampir dini hari," jelas kata Muhammad Iqbal yang saat itu menjabat sebagai Kadiv Humas Mabes Polri.
Kerusuhan 21-22 Mei 2019 terjadi buntut dari kekecewaan terhadap hasil Pilpres 2019 (CNN Indonesia/Andry Novelino)
|
Polisi tidak bisa menghentikan bentrokan pada 21 Mei dan berlanjut keesokan harinya. Jalan KH Hasyim Asyari arah Tanah Abang dan Masjid Cut Meutia menjepit aparat yang terpusat di sekitar Sarinah.
Massa terus melempari batu dan benda-benda lainnya ke arah barisan polisi. Gas air mata juga tak kunjung henti ditembakkan lantaran massa tak membubarkan diri.
Sempat terjadi momen menegangkan pada 22 Mei malam. Saat itu, ada berpakaian perempuan serba hitam, membawa tas, berjalan kaki menuju barisan aparat dari arah Monas.
Jarak semakin dekat. Polisi lalu menembakkan gas air mata ke kaki orang misterius itu. Alih-alih menyerahkan diri, dia lalu berjalan lagi ke arah Monas.
Bentrokan masih berlangsung hingga 23 Mei dini hari. Hingga kemudian, polisi melakukan tindakan ofensif. Sudah terlalu lama imbauan kepolisian untuk membubarkan diri diabaikan. Aparat lalu menyerbu barisan massa. Ratusan orang diciduk.
Bentrokan lantas mereda. Kondisi di perempatan Sarinah berantakan. Batu kayu dan benda-benda lainnya serta sejumlah sepeda motor berserakan. Beberapa bangunan juga mengalami kerusakan.
Bentrokan pada 21-22 Mei 2019 sempat meluas dari Sarinah hingga Slipi, Jakarta Pusat 9 CNN Indonesia/Adhi Wicaksono0
|
"Jadi, pada aksi massa 21-22 Mei itu ada dua segmen. Pertama, massa peserta aksi damai yang spontanitas. Kedua, massa perusuh yang sengaja menyusup untuk membuat rusuh," kata Iqbal.
Buntut Rivalitas Pilpres 2019
Kerusuan 21-22 Mei di Jakarta mencoreng penyelenggaraan pemilu yang sejak reformasi tidak pernah berbuntut bentrokan. Baru Pemilu 2019 terjadi hingga ratusan orang ditangkap hanya dalam hitungan 2 hari.
Pemilu 2019 terdiri dari pemilihan legislatif dan pemilihan presiden yang digelar serentak. Meski demikian, publik lebih menyoroti pilpres yang mempertemukan pasangan Jokowi-Ma'ruf versus Prabowo-Sandi.
Rivalitas pendukung kedua paslon sangat tinggi. Dari level elit hingga menular ke akar rumput. Media sosial selalu ramai oleh isu politik. Ujaran kebencian pun kerap dilontarkan kedua pendukung.
Situasi sekitar kantor Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) di Jalan MH Thamrin berantakan usai bentrokan massa vs aparat pada 21-22 Mei 2019 (CNN Indonesia/Bimo Wiwoho)
|
Temuan dugaan kecurangan itu 'digoreng' sedemikian rupa dengan narasi politik guna meraih emosi publik.
Jokowi - Ma'ruf yang didukung oleh sembilan partai politik kemudian dinyatakan menang di 21 provinsi dengan perolehan suara 85.607.362 atau setara dengan 55,50 persen. Sedangkan Prabowo - Sandi yang diusung empat partai politik menang di 13 provinsi dengan mendapat 68.650.239 suara atau 44,50 persen.
Pemilu 2019 juga tercoreng lantaran mengakibatkan 894 petugas kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) meninggal dunia dan 5.175 petugas mengalami sakit.
Pemilihan presiden, DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota serta DPD membuat petugas kelelahan. Keserentakkan Pemilu 2019 memang tidak sama seperti pemilu sebelumnya, yang mana pileg dihelat beberapa bulan terlebih dahulu.
Bagikan Berita Ini
0 Response to "22 Mei Setahun yang Lalu, Jakarta Membara di Masa Pemilu - CNN Indonesia"
Posting Komentar