Search

News | Mau Dibawa Kemana Pemilu Kita? - Sosok Akurat

AKURAT.CO, Pemilu serentak 2019 cukup menjadi Pemilu borongan yang pertama dan terakhir. Masih segar dalam ingatan, 894 penyelenggara Pemilu meninggal dunia dan 5.175 mengalami sakit. Penulis masih ingat ditengah penyelenggaraan Pemilu 2019 harus ikut mengusung keranda salah satu dari 7 (tujuh) petugas KPPS yang meninggal di Jakarta Selatan.

Revisi undang-undang Pemilu adalah keniscayaan, problem sistem Pemilu dan tata kelola Pemilu serentak 2019 yang unmanageable perlu menjadi perhatian serius pegiat dan stakeholder Pemilu. Kemana arah Pemilu kita ke depan? Akan secara serius memperkuat sistem presidensialisme multipartai yang problematik itu atau masih akan syarat tarik-menarik kepentingan politik partai politik sebagai peserta Pemilu yang ingin mendapatkan kursi sebanyak-banyaknya ?

Badan Keahlian DPR RI telah merampungkan RUU Pemilu pada 9 April 2020. RUU ini di-draft atas arahan pimpinan komisi II pada tanggal 26 Februari 2020 sebagai tindak lanjut putusan MK No 55/PUU-XVII/2019. RUU ini menyelaraskan dan menggabungkan 2 (dua) UU, yakni UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilu dan UU No 10 Tahun 2016 tentang Pemillihan Gubernur, Bupati dan Walikota. RUU ini juga menyelaraskan 13 (tiga belas) putusan MK yang dikabulkan terkait UU Pemilu dan Pilkada.

baca juga:

RUU Pemilu mengadopsi desain keserentakan Pemilu yang memisahkan Pemilu nasional dan Pemilu lokal. Merujuk pada pertimbangan Putusan MK No. 55/PUU-XVII/2019, alternatif ke 4 model keserentakan Pemilu. Pemilu nasional terdiri dari Pemilu presiden, DPR, dan DPD yang diselenggarakan secara bersamaan. Pemilu lokal terdiri dari Pemilu Gubernur, DPRD Provinsi, Bupati/ Walikota, dan DPRD Kabupaten/ Kota yang diselenggarakan secara bersamaan. Pemilu nasional dan Pemilu lokal diselenggarakan setiap 5 (lima) tahun sekali, dimana Pemilu lokal diselenggarakan 2 (dua) tahun pasca Pemilu nasional.

Pemisahan Pemilu nasional dan Pemilu lokal memiliki prospek diantaranya: (1) menjanjikan terbentuknya pemerintahan yang lebih efektif karena Presiden terpilih dan kekuatan mayoritas di DPR berasal dari parpol atau koalisi yang sama, (2) apabila pemerintahan hasil Pemilu serentak nasional berkinerja buruk, maka terbuka peluang bagi pemilih untuk menghukum parpol atau kolaisi parpol yang berkuasa melalui momentum Pemilu serentak lokal, Vice versa, (3) mengurangi potensi politik transaksional karena parpol “dipaksa” berkoalisi sebelum Pileg, (4) isu lokal akan lebih fokus, (5) akuntabilitas kinerja wakil rakyat dan pejabat eksekutif terpilih lebih ketat karena kinerjanya di evaluasi kembali dalam Pemilu lokal (Haris, 2015).

Skema Transisi Penyelenggaraan Pemilu Nasional – Pemilu Lokal

Desain Pemilu dan pilkada serentak yang sedang berjalan saat ini adalah Pemilu serentak 2019 dan pilkada serentak 3 gelombang (2017, 2018, dan 2020). Dan serentak semua jenis Pemilu pada 2024. Diperlukan skema transisi penyelenggaraan Pemilu nasional dan Pemilu lokal. Nah, bagaimana skema transisinya agar berjalan mulus ?

Ada 3 opsi skema transisi penyelenggaraan Pemilu nasional dan Pemilu lokal dalam RUU tersebut. Opsi A: Pemilu nasional tahun 2024 dan Pemilu lokal tahun 2022, Opsi B: Pemilu nasional tahun 2024 dan Pemilu lokal tahun 2026, serta Opsi C: Pemilu nasional dan lokal serentak pada tahun 2024.

Menurut penulis, pilihan terbaik dan realistis adalah Opsi B dengan Pemilu nasional pada tahun 2024 dan Pemilu lokal pada tahun 2026. Pilihan ini lebih menjamin kesinambungan dan keselarasan pembangunan nasional dan daerah.

Skema transisi penyelenggaraan pemilunya, daerah yang melaksanakan Pilkada serentak tahun 2020, yang akhir masa jabatannya (AMJ) nya selesei pada tahun 2025 (di UU No 10 Tahun 2016 berakhir pada 2024), diperpanjang masa jabatannya selama 1 tahun, sehingga dapat menyelenggarakan Pemilu lokal pada tahun 2026.

Daerah yang melaksanakan Pilkada pada 2022 seharusnya AMJ nya selesei tahun 2027, dikurangi masa jabatan 1 tahun sehingga dapat melaksanakan Pemilu lokal pada 2026. Sedangkan daerah yang melaksanakan Pilkada serentak tahun 2023 yang seharusnya AMJ nya selesei pada tahun 2028, dikurangi masa jabatannya 2 tahun sehingga dapat menyelenggarakan Pemilu lokal pada 2026.

Pemilu DPRD Provinsi dan Kabupaten/ Kota hasil Pemilu serentak 2019 yang seharusnya selesei masa jabatannya pada tahun 2024 dapat diperpanjang masa jabatannya 2 tahun sampai tahun 2026 sehingga dapat diselenggarakan Pemilu Lokal bersama dengan pemilihan kepala daerah serentak pada tahun 2026.

Jika skema keserentakan Pemilu nasional dan Pemilu lokal sudah kita pilih, berikutnya kita analisis dari desain sistem Pemilu dan penyelenggara Pemilu, ini juga hal yang menarik.

Desain Sistem Pemilu

Pilihan distric magnitude untuk DPR menggunakan alokasi 3-10 kursi (Pasal 208). Pilihan ini sedikit merubah dari “besaran dapil besar” (3-12 kursi) menjadi “besaran dapil sedang.” Para pegiat Pemilu mendorong agar district magnitude ini diperkecil menjadi 3-6 kursi per dapil agar sistem kepartaian/ perwakilan di parlemen lebih sederhana. Menurut Didik Supriyanto ahli Pemilu, secara matematika Pemilu: jika di setiap dapil maksimal hanya 6 partai masuk parlemen dan diakumulasi ke semua dapil, maka peluang untuk menciptakan sistem multipartai moderat (3-5 partai relevan di parlemen) sangat besar.

Mengapa besaran daerah pemilihan maksimal 6 kursi? Pemilihan angka ini mempertimbangkan realitas sosial dan politik nasional. Secara historis dan sosiologis pluralitas politik di Indonesia dicerminkan oleh adanya tiga ideologi yang dianut masyarakat dan partai-partai, yaitu: nasionalisme, Islamisme, dan kekaryaan. Jika masing-masing ideologi itu memiliki dua varian, maka besaran daerah pemilihan 6 kursi cukup mengakomodasi pluralitas politik di Indonesia (Didik Supriyanto, 2019).

Dalam studi Jones (1994) juga menyebutkan keserentakan Pemilu presiden dan Pemilu legislatif akan efektif menghasilkan penyederhanaan partai politik di parlemen jika dikombinasikan dengan district magnitude moderat (5-8 kursi).

Namun, persoalan distric magnitude ini diprediksi akan menjadi isu dan perdebatan keras di parlemen. Partai-partai kecil tentu tidak ingin kehilangan kursi dengan pengecilan dapil ini, karena kesempatan mendapatkan kursi menjadi semakin terbatas.

Ambang batas parlemen atau parliementary threshold yang diusulkan dalam RUU ini sama dengan Pemilu 2019 di angka 4% (pasal 217). Sudah barang tentu isu soal PT juga akan menjadi tarik-menarik kepentingan partai politik. Dua partai politik besar sepakat mengusulkan PT di angka 7% (Kompas.com, 9 Maret). Bagaimana konsep threshold yang ideal? secara teoritik semakin besar threshold yang ditetapkan, alih-alih meyederhanakan jumlah partai politik di parlemen, justru meningkatkan jumlah suara yang terbuang dan indeks disporporsionalitas hasil Pemilu.

Hal yang menarik berikutnya, metode pemberian suara (balloting) pada Pilgub dan Pilwali/ Pilbup dapat menggunakan e-voting (Pasal 234 dan pasal 256). Ketentuan mengenai dimungkinkannya penggunaan e-voting dalam pemilihan kepala daerah, merupakan terobosan dan inovasi penggunaan IT dalam Pemilu Indonesia. Namun hal ini perlu pencermatan dan kesiapan infrastruktur yang maksimal. Perludem dalam bukunya “Panduan Penerapan Teknologi Pungut Hitung di Pemilu” memberikan gambaran prinsip penerapan teknologi Pemilu yang perlu diperhatikan diantaranya : (1) penggunaan teknologi berangkat dari kebutuhan, (2) Keputusan untuk menggunakan teknologi Pemilu disepakati bersama seluruh pihak yang berkepentingan, dan mendapatkan dukungan atau kepercayaan dari masyarakat (pemilih), (3) Pemanfaatan teknologi di Pemilu memiliki landasan hukum dalam UU, (4) Keamanan sistem, keamanan siber, dan kerahasiaan pilihan pemilih terjamin, (5) Tersedia mekanisme audit dan dapat dilakukan penghitungan suara ulang, (6) Teknologi dapat digunakan oleh semua orang dengan mudah dan tidak membingungkan (inklusif), (7) Penerapan teknologi Pemilu dimulai dari pemilihan dalam lingkup kecil terlebih dahulu seperti pemilihan kepala daerah, sebelum diterapkan di Pemilu nasional, dan (8) Pendidikan yang memadai bagi pemilih mengenai cara kerja teknologi pungut-hitung yang baru.

Penerapan metode e-voting dalam pemilihan kepala daerah menurut penulis adalah pilihan yang menarik dan tepat diterapkan dalam Pemilu serentak lokal pada 2026 mendatang sesuai prinsip penerapan teknologi Pemilu.

Namun, ditengah usulan teknologi pemungutan suara yang didorong menggunakan e-voting,  mekanisme rekapitulasi suara justru tidak ditemukan pasal yang mendorong penggunaan e-rekap.  Mekanisme rekapitulasi suara kembali menggunakan rekapitulasi manual berjenjang bahkan mengembalikan seperti Pemilu 2014 dengan rekapitulasi dimulai dari tingkat kelurahan oleh PPS (Pasal 497 s/d pasal 520).

Proses rekapitulasi suara pada Pemilu 2019 yang langsung di kecamatan (memotong rekap di tingkat kelurahan/ PPS) memakan waktu hampir 30 hari apalagi jika ditambah rekapitulasi dari tingkat kelurahan. Solusi penggunaan e-rekap untuk efisiensi waktu dan transparansi serta integritas hasil Pemilu perlu didorong pegiat Pemilu pada RUU Pemilu ini.

Formula perolehan kursi dan penetapan calon terpilih (electoral formula) dalam pemilihan legislatif masih sama dengan metode divisor dengan formula St. Lague (Pasal 218). Rumus formula divisor adalah suara partai politik dibagi bilangan pembagi tertentu, lalu bilangan hasil bagi tersebut di-ranking: bilangan paling besar ranking pertama berarti kursi pertama, bilangan paling besar ranking kedua berarti kursi kedua, demikian seterusnya. Formula St Lague atau Webster menggunakan bilangan ganjil sebagai pembagi 1, 3, 5, 7, dan seterusnya.

Sisi lain yang perlu menjadi perhatian adalah perubahan pembiayaan Pemilu. Pada Pasal 11 RUU ini, Penyelenggaraan Pemilu nasional dan Pemilu lokal dibiayai oleh APBN. Maka alokasi budgeting Pemilu lokal akan terbebas dari tarikan kepentingan politik lokal, tetapi disisi lain akan menjadi beban bagi pemerintah pusat melalui APBN dan berpotensi pembiayaan tidak maksimal karena Pusat harus membiayai seluruh KPUD/ Bawaslu daerah dalam menyelenggerakan tidak hanya hajatan Pemilu nasional namun juga Pemilu lokal.

Desain Penyelenggara Pemilu

Desain penyelenggara Pemilu merujuk pada UU Pemilu sebelumnya yakni UU No. 7 Tahun 2017 yang kewenangannya di mix dengan kewenangan  menurut UU Pilkada (UU No. 1 Tahun 2015 sebagaimana diubah beberapa kali terakhir dengan UU No. 10 Tahun 2016).

Pola rekrutmen penyelenggara Pemilu masih sama dengan UU No 7 Tahun 2017 dimana KPU RI dipilih Presiden dengan persetujuan DPR, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten Kota di rekrut dan ditetapkan sentralistik oleh KPU RI. (Pasal 28 s/d Pasal 41).

Karena skema pemilunya serentak (nasional dan lokal) konsekwensinya rekrutmen penyelenggara Pemilu juga perlu di serentakkan. Praktik yang berjalan selama ini rekrutmen berjalan ditengah jalan sesuai AMJ anggota KPU atau Bawaslu di daerah masing-masing.

Ketentuan masa jabatan peralihan anggota KPU diatur dalam Pasal 719: anggota KPU, Bawaslu, dan DKPP (Pusat, Provinsi dan Kabupaten/ Kota) yang menyelenggarakan Pemilu serentak untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, Anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota pada tahun 2019 berakhir masa jabatannya setelah menyelenggarakan Pemilu lokal pada tahun 2022. Asumsinya draft RUU nya masih menggunakan opsi A penyelenggaraan Pemilu lokal pada tahun 2022.

Tentu ini menjadi isu yang menarik bagi penyelenggara Pemilu, bukan soal AMJ yang akan dipercepat bagi yang terpilih pada 2018 tetapi desain rekrutmen yang sentralistik tapi serentak akan menjadi pola baru dalam rekrutmen penyelenggara Pemilu. Rekrutmen yang dilakukan pasca Pemilu lokal 2022 juga akan memicu kinerja dan inovasi penyelenggara Pemilu untuk bekerja lebih optimal khususnya bagi penyelenggara Pemilu yang ingin melanjutkan lagi amanah untuk menjadi penyelenggara Pemilu di periode mendatang.

Jadi, mau dibawa kemana Pemilu kita ke depan? Para aktivis dan pegiat Pemilu memiliki peran yang besar untuk memberikan ide dan gagasannya untuk kualitas Pemilu Indonesia ke depan. Seperti kata Andrew Reynold: “Sistem Pemilu yang baik akan memberikanmu sekilas penampakan surga, namun sistem Pemilu yang buruk dapat memberimu perjalanan yang cepat ke neraka.”[]

Let's block ads! (Why?)

Baca Lagi Aje https://akurat.co/news/id-1119720-read-mau-dibawa-kemana-pemilu-kita

Bagikan Berita Ini

0 Response to "News | Mau Dibawa Kemana Pemilu Kita? - Sosok Akurat"

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.