12 April 2023 22:29
Guru Besar Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Hafid Abbas mengatakan bahwa sistem pemilu dengan proporsional terbuka telah mengamputasi kelembagaan partai politik (parpol). Hal itu disampaikan dalam sidang uji materiil UU Pemilu sebagai saksi ahli di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (12/4/2023).
“Dengan pemilu secara proporsional terbuka, kelembagaan partai politik teramputasi karena meski Ia peserta pemilu legislatif tetapi yang muncul dominan adalah figur orang per orang," ujarnya dalam sidang MK, Rabu (12/4/2023).
"Akibatnya, partai politik tidak lagi dipandu oleh visi idealisme, kebangsaan, ideologi, kaderisasi, dedikasi dan kompetensi untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh rakyat tetapi sudah tergantikan dengan demokrasi elektoral, pragmatis, short cut dan ketika terpilih akan menggunakan kekuasaannya untuk mengembalikan modal,” sambung Hafid.
Hafid mengatakan sistem pelaksanaan Pemilu 2024 secara proporsional terbuka seperti yang sudah berlangsung sebanyak empat kali sejak era reformasi menimbulkan sikap pro dan kontra di masyarakat. Dengan sistem itu, banyak pihak yang mengagumi bahwa Indonesia telah berhasil melaksanakan pemilunya dengan baik dan telah menjadi negara demokrasi ketiga terbesar di dunia, setelah India dan AS.
“Sebaliknya, banyak pula pihak yang menolak sistem terbuka, dan berpandangan bahwa sistem proporsional tertutup adalah pilihan yang lebih sesuai dengan cita-cita proklamasi dan amanat reformasi yang telah digulirkan sejak 1998,” kata dia.
Dijelaskannya, pihak yang menolak sistem terbuka berpandangan bahwa dengan berlakunya Pasal 168 UU Pemilu secara langsung telah mereduksi kedudukan parpol dari posisinya selaku kontestan pemilu. Bahkan dinilai pergeseran hak untuk menempatkan kandidat dari parpol kepada kuantitas suara terbanyak ini jelas bertentangan dengan konsep kedaulatan rakyat yang diatur oleh Pasal 1 ayat (2), (3), Pasal 6A ayat (2), Pasal 22E ayat (2), (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 telah menegaskan kedaulatan yang berada di tangan rakyat itu tidaklah dilaksanakan oleh seluruh rakyat Indonesia. Hal itu dilakukan menurut cara yang ditentukan oleh UUD yakni oleh ketentuan Pasal 6A ayat (2), Pasal 22E ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 dilakukan oleh partai politik melalui kepersertaannya di pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD dan Presiden serta Wakil Presiden.
Lebih lanjut, Hafid mengatakan bahwa belajar dari pelaksanaan empat kali pemilu dengan sistem proporsional terbuka, banyak pelajaran berharga yang patut kita petik. Sebagai ilustrasi, dari berbagai penelitian biaya calon anggota DPR RI dapat mencapai Rp6 miliar. KPK telah mengungkapkan pula bahwa biaya yang harus dikeluarkan seseorang agar terpilih menjadi kepala daerah bervariasi antara Rp20-100 miliar atau rata-rata Rp60 miliar.
Dengan biaya politik sebesar itu tentu hanya akan menjaring orang-orang yang berduit untuk mendominasi perolehan kursi di legislatif atau pun di eksekutif di pusat dan daerah. Di sisi lain gaji pejabat Indonesia 2019-2024, mulai dari bupati hingga presiden, terlihat amat rendah. Jika seorang bupati berpendapatan hanya dari gaji pokok dan tunjangan resminya sebesar Rp5,88 juta sebulan, maka untuk mengembalikan modalnya, Ia harus bekerja sebagai Bupati selama 170-171 tahun.
Rentetan sisi gelap dari pemilu berbiaya mahal itu, dampaknya antara lain, para wakil rakyat dan para pejabat pusat dan daerah yang dipilih dengan sistem terbuka itu (elite politik), tentu tidak akan mengabdi untuk memajukan dan menyejahterakan rakyat. Sebab, mereka sudah tersandera oleh beban untuk mengembalikan biaya politiknya. Cara mudah untuk mengembalikan biaya politik itu, adalah dengan merangkul korporasi dengan memberinya hak penguasaan lahan, tambang, dan sumber-sumber daya alam (SDA) setempat, dsb.
Sehingga Hafid berharap pelaksanaan pemilu 2024 secara proporsional terbuka tidak akan diberlakukan lagi. Sebab, telah secara nyata menghasilkan wakil rakyat di pusat dan daerah yang telah membawa negeri ini semakin menjauh dari cita-cita proklamasi dan amanat reformasi 1998.
Sementara itu, saksi ahli lainnya Ketua Program Studi Sarjana Politik dan Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Mada Sukmajati menerangkan bahwa pilihan pada sebuah sistem pemilu sebenarnya tidak berada pada ruang hampa. Pilihan pada sebuah sistem pemilu juga sangat bergantung pada perkembangan konteks yang melingkupi sebuah negara.
Lebih dari itu, pilihan sistem pemilu juga didasarkan pada sebuah tujuan tertentu. Ada beberapa negara yang karena konteks konflik sosialnya tinggi kemudian memilih sistem pemilu tertentu agar pemilu tidak justru memperparah konflik sosial yang ada.
"Beberapa negara lain telah mengganti sistem pemilunya dalam rangka mencapai tujuan yang berbeda dari sebelumnya," imbuhnya.
Mada menjelaskan dalam desain sistem pemilu proporsional daftar tertutup adalah sistem yang lebih sesuai untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Untuk memperkaya pengetahuan kita, perlu juga dinformasikan bahwa jenis sistem proporsional daftar tertutup merupakan jenis sistem pemilu representasi proporsional (proportional representation) yang paling banyak digunakan oleh negara-negara di dunia sejauh ini.
Sistem proporsional daftar tertutup lebih mendorong penyederhanaan sistem kepartaian karena fokus pemilih bukan lagi kepada kandidat, namun kepada partai politik. Apalagi jika hal ini dibarengi dengan angka ambang batas parlemen yang tinggi.
"Jika bangunan koalisi ideal yang dibayangkan adalah bangunan koalisi antar partai politik yang bersifat ideologis atau programatik, maka sistem tersebut juga lebih tepat dipilih," ucapnya.
Penjelasan dari banyak ahli sebelumnya telah menunjukkan bahwa sistem pemilu proporsional daftar terbuka sampai sejauh ini terlihat tidak berhasil dalam mengembangkan politik programatik. Apalagi dalam konteks pemilu serentak sebagaimana terjadi di Pemilu 2019 lalu, dimana dinamika dari pileg ternyata telah tenggelam oleh dinamika dari pilpres.
Sistem proporsional daftar terbuka telah mendorong fenomena pilihan personal (personal vote) dari para pemilih yang bisa jadi menyisakan potensi konflik horizontal pasca pemilu. Lantaran fokus pemilih adalah pada individu calon dan bukan pada lembaga partai politik.
Baca Lagi Aje https://news.google.com/rss/articles/CBMiZ2h0dHBzOi8vd3d3Lm1ldHJvdHZuZXdzLmNvbS9wbGF5L042R0M4UE9tLWFobGktbmlsYWktc2lzdGVtLXBlbWlsdS1wcm9wb3JzaW9uYWwtdGVyYnVrYS1hbXB1dGFzaS1wYXJwb2zSAQA?oc=5Bagikan Berita Ini
0 Response to "Ahli Nilai Sistem Pemilu Proporsional Terbuka Amputasi Parpol - Metro TV News"
Posting Komentar