Liputan6.com, Washington, D.C. - Presiden Amerika Serikat Donald Trump segera menyelesaikan masa jabatannya. Kini, Trump kembali maju sebagai calon presiden dalam Pemilu AS 2020 lewat Partai Republik. Ia bersaing melawan mantan Wakil Presiden Joe Biden dari Partai Demokrat.
Sesuai tradisi, pemilu presiden (pilpres) di AS dimulai pada Selasa pertama di bulan November. Tahun ini jatuh pada 3 November 2020.
Bagi rakyat Indonesia, pemenang pilpres adalah calon dengan suara terbanyak. Namun, berbeda dengan sistem pemilu AS.
Pilpres AS memiliki sistem pemilihan tidak langsung (indirect election). Artinya, ketika masyarakat AS datang ke tempat pemungutan suara, mereka sebenarnya memilih orang-orang yang bakal duduk dalam electoral college.
Tugas utama anggota electoral college atau elektor adalah memilih presiden dan wakil presiden. Elektor dicalonkan partai politik di tingkat negara bagian. Mereka biasanya petinggi partai atau sosok yang berafiliasi dengan kandidat presiden dari partainya.
Di tempat pemungutan suara, pemilih tidak hanya memberikan suara untuk calon presiden, tapi juga calon elektor. Di surat suara, nama mereka biasanya muncul di bawah nama kandidat presiden. Namun ada juga negara bagian yang tidak mencetak nama calon elektor.
Total anggota electoral college berjumlah 538 orang. Setiap negara memiliki jumlah elektor yang berbeda berdasarkan jumlah perwakilan mereka di Kongres (anggota DPR dan senator). Perhitungan itu berdasarkan sensus setiap 10 tahun.
Sebagai contoh, situs pemilu 270ToWin menyebut bahwa California memiliki 55 elektor. Angka itu berasal dari 53 anggota DPR plus dua senator California di Kongres.
Contoh lain, Texas memiliki 38 elektor, sebab ada 36 anggota DPR di Texas plus dua senator.
Apabila Donald Trump menang di Texas, maka ia mendapat 36 dukungan dari elektor. Bila Trump kalah di California, maka ia kehilangan 53 suara.
Capres perlu mendapatkan total 270 suara elektor di pilpres AS agar bisa menang.
Suara Elektor Kalahkan Suara Populer
Empat negara dengan populasi tertinggi memiliki elektor terbanyak, seperti California (55 elektor), Texas (38 elektor), serta Florida dan New York (29 elektor).
48 negara bagian mengantu sistem winner-take-all. Contoh, bila capres A menang di California, maka semua elektor di sana berkomitmen memilih orang tersebut.
Dua negara bagian seperti Maine dan Nebraska tidak menganut sistem itu, tetapi membagikan suara elektor ke level distrik. Alhasil, bisa saja elektor dari Maine tak memilih satu capres.
Kadang ada elektor yang berkhianat (faithless elector) tetapi itu tak sering terjadi.
Perlu diketahui, presiden AS yang mendapat suara total tertinggi tetap akan kalah ketimbang capres yang mendapat suara elektor terbanyak.
Hal itu jarang terjadi karena biasanya capres yang mendapat suara terbanyak juga mendapat elektor terbanyak.
Tetapi, hal langka itu terjadi pada pilpres 2016. Hillary Clinton sebetulnya unggul 3 juta suara tapi tetap kalah di pilpres AS.
Hillary Clinton menang besar di California yang punya populasi tinggi dan jumlah elektor terbanyak, namun Donald Trump berhasil menyapu bersih elektor di negara-negara dengan populasi sedikit seperti North Dakota, South Dakota, Oklahoma, Arkansas, dan Iowa.
Donald Trump juga menang di Texas dan Florida, sehingga kemenangannya seimbang di negara bagian dengan populasi tinggi dan rendah.
Akhirnya, Trump mendapat 304 suara elektor dan terpilih menjadi presiden. Contoh lainnya adalah Presiden George W. Bush yang kalah di suara populer, tetapi unggul di suara elektor.
Itulah alasan calon presiden AS fokus memenangkan negara bagian yang tidak menyerahkan seluruh suara untuk kandidat yang paling banyak dipilih. Negara bagian seperti ini dikenal dengan istilah 'swing state'. Memenangkan sebanyak mungkin suara dari setiap negara bagian bukan strategi yang biasa dilakukan.
Bisa Memilih Lewat Surat
Saat ini sebetulnya pemilu di AS sudah berlangsung via surat atau menyoblos lebih awal. Hal itu disebut absentee voting atau mail-in voting.
Situs Vote.org menjelaskan bahwa absentee voting dapat dilakukan jika seseorang tak bisa mencoblos pada Hari-H baik itu karena sakit, tinggal di luar negeri, atau faktor pekerjaan.
Mereka bisa datang langsung untuk mencoblos atau meminta mendapat surat suara agar dikirim lewat pos. Perlu diketahui bahwa tiap negara bagian punya aturan berbeda mengenai ini.
Absentee voting dan mail-in voting ini menjadi polemik di tengah pandemi COVID-19.
Donald Trump menyebut pencoblosan lewat surat berpotensi mengakibatkan kecurangan. Ia juga membedakan antara absentee dan mail-in voting sebagai hal yang berbeda, meski sebetulnya sama.
Lalu apa yang terjadi jika tidak ada kandidat yang mendapatkan suara mayoritas? Dewan Perwakilan Rakyat, majelis rendah anggota parlemen AS, akan memberikan suara untuk memilih presiden.
Ini hanya terjadi sekali, yaitu pada tahun 1824. Saat itu suara electoral college terpecah ke empat calon presiden.
Karena sekarang hanya ada dua partai yang mendominasi sistem pemilihan AS, kejadian tahun 1824 itu tidak mungkin terjadi lagi.
Infografis Covid-19 Isu Panas Debat Capres Joe Biden Vs Donald Trump
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Tentang Pilpres AS 2020: Dari Sistem Pemilu hingga Potensi Kecurangan - Liputan6.com"
Posting Komentar