Mataram (Suara NTB) – Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) RI pada Sabtu, 3 Oktober 2020 di Mataram telah menyidangkan perkara dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh Ketua dan anggota KPU Kabupaten Sumbawa pada proses Pilkada serentak tahun 2020. Dugaan pelanggaran etik tersebut dilaporkan oleh Bawaslu.
Sidang tersebut dipimpin langsung oleh anggota DKPP RI, Dr. Alfitra Salamm. Dia mengungkapkan bahwa pokok perkara yang diadukan tersebut ternyata terkait dengan perbedaan penafsiran antara KPU dengan Bawaslu terkait norma regulasi didalam pencalonan Pilkada Sumbawa.
“Pokok perkaranya adalah masih ada perbedaan penafsiran regulasi antara KPU dengan Bawaslu yang berkaitan dengan istilah hukum. Tadi saya memimpin sidang, mendengarkan laporannya bahwa terkait dengan digagalkannya salah seorang calon perseorangan di Sumbawa,” ujar Alfitra.
Lebih jauh disampaikan Alfitra bahwa salah satu tujuan dari sidang DKPP tersebut yakni dalam rangka menjaga kehormatan penyelenggara pemilu atas tuduhan atau dugaan pelanggaran etik. Sebab penyelenggara pemilu rentan diseret ke pelanggaran etik. Jika terbukti, maka DKPP akan memberikan sanksi, jika tidak terbukti, DKPP akan merehabilitasi nama baik pihak terlapor.
“DKPP menjaga kehormatan, membuktikan fitnah dan laporan itu benar atau tidak. Dari semua laporan yang masuk ke DKPP kami punya data ternyata 52 persen laporan itu tidak terbukti. Maka penyelenggara akan direhab. Nah kalau ndak ada DKPP, muncul fitnah kepada penyelenggara, siapa yang akan mengembalikan nama baik penyelenggara,” katanya.
Ketika ditanya terkait dengan Keputusan DKPP sendiri terhadap kasus tersebut. Alfitra mengatakan, pihaknya belum bisa mengungkapkan ke publik. “Belum, nanti kami akan kaji lebih lanjut atas fakta-fakta persidangan tadi, untuk kami rumuskan putusannya,” jelasnya.
Ditempat yang sama, pengamat politik dari UIN Mataram, Agus, M. Si menyampaikan bahwa tindakan pelanggaran etik penyelenggara pemilu dalam hal ini KPU dan Bawaslu di Provinsi NTB terbilang cukup rendah terjadi. Hal itu bisa dilihat dari data pengaduan atau penyidangan DKPP terhadap dugaan pelanggaran etik penyelenggara Pemilu di NTB selama ini.
“Sejak pemilu langsung tahun 2004, tidak ada komisioner KPU yang diberhentikan oleh DKPP. Dan selama ini baru ada empat kali DKPP melakukan sidang di NTB. Pertama KPU Provinsi, KPU Lombok Timur, KPU Lombok Tengah, dan terakhir KPU Kabupaten Sumbawa,” ungkapnya.
Lebih lanjut disampaikan mantan anggota KPU Provinsi NTB itu, dari empat kasus dugaan pelanggaran etik penyelenggara pemilu yang pernah terjadi di NTB tersebut. Ia mengindentifikasi beberapa persoalannya. Pertama terkait dengan SDM pemilu dalam menerjemahkan elektoral government. “Ini belum terimplementasi dengan baik di NTB,” katanya.
Selanjutnya sikap kerja penyelenggara pemilu yang kerap mengabaikan permintaan masyarakat. Seperti kasus yang terjadi di KLU Lombok Timur yang terkait dengan permintaan informasi publik, tapi tidak direspon dengan baik oleh KPU, yang kemudian berujung menjadi laporan etik.
“Terjadi penyelahgunaan kewenangan, seperti merubah suara dan sebagainya. Tapi itu banyak terjadi di tataran penyelenggara adhoc, yang kemudian ujungnya jadi korban adalah komisioner. Kemudian belum berjalannya struktur organisasi yang bersifat hirarki, monitor tidak berjalan, dan sinergi internal belum berjalan dengan baik, antara Bawaslu dan KPU, masih kuat ego kedua lembaga tersebut,” pungkasnya. (ndi)
Baca Lagi Aje https://www.suarantb.com/sikap-abai-penyelenggara-pemilu-di-ntb-rentan-memicu-pelanggaran-etik/Bagikan Berita Ini
0 Response to "Sikap Abai Penyelenggara Pemilu di NTB Rentan Memicu Pelanggaran Etik - SUARA NTB"
Posting Komentar