SOLO,suaramerdekasolo.com – Pesta demokrasi pemilihan kepala daerah (pilkada) di tengah situasi pandemi Covid-19, menghadirkan banyak tantangan bagi pemerintah, aparat keamanan dan penyelenggara pemilu, agar bisa terlaksana tanpa risiko.
Penerapan protokol kesehatan yang mutlak harus diterapkan agar pilkada tidak menjadi klaster baru dalam kasus Covid-19, hingga kemungkinan turunnya tingkat partisipasi, maupun potensi pelanggaran aturan kepemiluan.
Hal tersebut mengemuka dalam diskusi bertajuk “Pilkada Serentak Jateng 2020 Aman dan Bergembira Tanpa Provokasi”, yang digelar secara online melalui aplikasi Zoom, Rabu (22/7). Di Jateng, pilkada serentak akan digelar di empat kota dan 17 kabupaten.
Diskusi yang digelar PWI Surakarta bersama Polda Jateng, KPU Provinsi Jateng dan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) tersebut menghadirkan empat pembicara. Yakni Kapolda Jateng Irjen Pol Ahmad Luthfi, Presidium Mafindo Anita Wahid, Ketua KPU Provinsi Jateng Yulianto Sudrajat dan Pengamat Politik dan Hukum UNS Agus Riwanto.
Acara juga disiarkan secara live streaming di kanal Youtube PWI Surakarta. Sejumlah wartawan dari berbagai media, memantau jalannya diskusi dari area Gedung Monumen Pers.
Kapolda Jateng Irjen Pol Ahmad Luthfi menegaskan, pihak terkait akan diajak berkoordinasi untuk memastikan, bahwa penerapan protokol kesehatan harus diterapkan dalam setiap tahapan pilkada.
“Polisi yang bertugas juga sudah dibekali 13 langkah penerapan protokol kesehatan. Seperti memakai masker, cuci tangan, baju lengan panjang, dan sebagainya. Sebelum menertibkan masyarakat, polisi harus tertib menerapkan protokol,” tandasnya.
Untuk pengamanan pilkada, Kapolda mengatakan, ada 14.575 personel yang diterjunkan Polda Jateng, plus backup 720 anggota Brimob. Mereka akan mem-back up pengamanan di 44.385 TPS di seluruh wilayah yang menyelenggarakan pilkada.
Presidium Mafindo Anita Wahid menyoroti fenomena hoax yang selalu marak di setiap helatan pilkada.
Dari penelusuran Mafindo, menjelang Pilkada 2018, produksi hoax tiap bulan selalu lebih dari 60 berita. Bahkan di bulan April mencapai 101 informasi palsu, sementara di Oktober sebanyak 111 informasi palsu. Lainnya di kisaran angka 70 hingga 80 berita palsu.
“Hoax sebenarnya sudah ada sejak zaman dulu. Namun saat ini, dengan perkembangan teknologi digital, hoax jadi lebih mudah disebar, jangkauannya luas dan cepat, biayanya murah. Kerap berisi tentang black campaign, atau informasi yang menyerang pihak tertentu. Di Indonesia, isu agama, ras, ideologi paling banyak untuk materi hoax,” jelasnya.
Di dunia politik, hoax kerap digunakan sebagai senjata untuk menyerang kubu lawan. Namun target utama dari penyebaran hoax adalah masyarakat umum, yang akan menerima informasi-informasi palsu tersebut, hingga akhirnya mempercayai berita palsu yang disebarkan menjadi kebenaran.
“Dan pada akhirnya, karena informasi palsu yang terus menerus diterima, akan berubah menjadi kebencian. Dan itu berlangsung tidak hanya sehari-dua hari, tapi bisa berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Kita tahu, efek Pilpres 2014 masih berlangsung hingga sekarang,” tuturnya.
Menurutnya, hoax terus disebarkan dengan tujuan memelihara kebencian, hingga orang tidak bisa berpikir netral dan rasional. “Dampaknya, karena termakan hoax, kita kehilangan makna hidup bersama, persaudaraan terkikis,” tuturnya.
Untuk mengantisipasinya, Anita berharap, agar semua stakeholder bergandeng tangan, mencegah informasi palsu beredar luas di masyarakat.
“Misalnya KPU dan Bawaslu selaku penyelenggara pemilu. Harus lebih cermat mendengar info yang beredar di masyarakat. Jika menemukan indikasi hoax, segera lakukan klarifikasi. Jangan sampai dibiarkan terlalu lama. Sebab, hoax yang dibiarkan lebih dari empat jam tanpa klarifikasi, akan sangat susah untuk meluruskannya,” tegasnya.
Stakeholder terkait juga harus selalu mengingatkan masyarakat, bahwa pilkada hanya event sesaat. “Yang lebih penting adalah pascapilkada, bahwa kita semua bersaudara, tetap sedulur, tetap guyub, meskipun berbeda pilihan saat pesta demokrasi. Ini penting, agar pesta demokrasi tidak merusak hubungan antarmanusia, antar teman, dan sebagainya. KIta harus menjaga sisi kemanusiaan kita,” imbuhnya.
Ketua KPU Jateng Yulianto Sudrajat menegaskan, pihaknya terus menyosialisasikan terselenggaranya pesta demokrasi yang gembira tanpa dinodai hoax.
“Kita punya kultur adiluhing. Jangan sampai pemilu menjadi semakin liberal, makin mengutamakan kelompok, sehingga proses kontestasi menjadi sangat gaduh,” ujarnya.
Terkait pelaksanaan pemilu di tengah pandemi Covid-19, Yulianto menyebutkan, tantangannya sangat berat. Sebab, penyelenggara pemilu dituntut untuk bisa menjalankan seluruh tahapan pilkada dengan nyaman, sehat dan selamat.
“Penerapan protokol kesehatan menjadi mutlak. KPU sudah mengeluarkan Peraturan KPU 6 / 2020 tentang pilkada di masa pandemi. Di situ mengatur seluruh tahapan yang harus mematuhi standar protokol kesehatan,” katanya.
KPU juga membangun rasa optimistis ke masyarakat, bahwa pilkada bisa dilaksanakan dengan aman, tanpa memunculkan kekhawatiran akan menjadi klaster baru kasus Covid1-19.
“Memang banyak penyesuaian. Misalnya nanti, rapat pleno terbuka hanya dihadiri pihak terkait dan disiarkan via medsos, agar masyarakat bisa menyaksikan. Kampanye juga ada penyesuaian, agar tidak menghadirkan kerumunan massa. Lebih memanfaatkan teknologi informasi. Debat paslon digelar dengan menyesuaikan situasi,” tandasnya.
Sedangkan Pengamat Pengamat Politik dan Hukum UNS Agus Riwanto mengatakan, Covid-19 berpotensi memundurkan dan menyebabkan cacat demokrasi. Sebab, Covid-19 dengan beragam aspeknya mengganggu pelaksanaan praktik-praktik demokrasi.
“Ada banyak agenda demokrasi yang tidak bisa dijalankan dengan baik. Anggaran pemilu juga berpotensi membengkak. Ini risiko dari tetap dijalankannya pesta demokrasi di tengah suasana Covid,” ujarnya.
Salah satu tantangan terberat adalah tingkat partisipasi masyarakat yang rendah, karena mereka takut untuk berkerumun, datang ke TPS untuk memberikan hak suara, ataupun terlibat dalam kegiatan lain terkait pemilu.
“Risiko lain dari pilkada di masa pandemi adalah kompetisi yang tidak fair. Ada kemungkinan penyalahgunaan bansos, kampanye yang tidak maksimal dan money politic makin tinggi. Maka di Pilkada 2020 ini, yang paling berpotensi menang itu incumbent,” imbuhnya. (Irfan Salafudin)
Editor : Budi Sarmun
Baca Lagi Aje https://suaramerdekasolo.com/2020/07/22/gelar-pilkada-di-tengah-pandemi-penyelenggara-pemilu-hadapi-tantangan-berat/Bagikan Berita Ini
0 Response to "Gelar Pilkada di Tengah Pandemi, Penyelenggara Pemilu Hadapi Tantangan Berat - Suara Merdeka Solo"
Posting Komentar