Search

Mampukah Meniru Korsel Gelar Pemilu Saat Wabah? - detikNews

Jakarta -
Setelah sempat mengalami penundaan jadwal, pemerintah, DPR, dan penyelenggara pemilu menyepakati Pilkada Serentak 2020 digelar pada 9 Desember 2020. Keputusan itu diambil dalam Rapat Kerja Komisi II DPR dengan Menteri Dalam Negeri, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) pada 27 Mei 2020.
Memang, wabah Covid-19 benar-benar telah mengubah seluruh tatanan dunia. Seluruh aktivitas manusia terdampak dengan adanya pandemi virus ini, tak terkecuali dalam urusan politik. Agenda nasional pemilihan serentak 2020 juga terkena imbasnya dan harus ditunda pelaksanaannya. Sebagian masyarakat khawatir jika pemilihan tetap dilaksanakan di masa pandemi akan membuat penyebaran virus Covid-19 semakin masif.

Di sisi lain, sebagian masyarakat berpendapat pemilihan harus tetap berjalan meski di masa pandemi. Karena tidak ada satu pun yang tahu dan bisa memastikan kapan pandemi virus ini berakhir. Maka pilihannya adalah the show must go on.

Pelaksanaan tahapan pemilihan mau tidak mau mengundang orang untuk berkerumun. Padahal kerumunan inilah yang disukai oleh virus Covid-19. Kerumuman manusia merupakan target sasaran yang empuk bagi virus corona untuk menyebarkan kroninya. Tentu, hal ini sudah disadari oleh para pengambil kebijakan. Sehingga mereka berpesan agar pelaksanaan tahapan pemilihan lanjutan dilakukan dengan protokol kesehatan yang ketat.

Beberapa anggota DPR berpendapat apabila Korea Selatan (Korsel) bisa melaksanakan pemilu di tengah pandemi, maka Indonesia juga pasti bisa melaksanakannya. Pertanyaan mendasarnya, mampukah Indonesia meniru Korsel dalam menyelenggarakan pemilu di masa pandemi tanpa membuat persebaran virus corona meluas?


Rekor Fantastis


Mata dunia tersorot ke Korsel karena negeri ini nekat melaksanakan pemilu di masa pandemi Covid-19. Pemilu yang dilaksanakan untuk memilih sejumlah 300 anggota legislatif nasional ini dikhawatirkan semakin memperparah penyebaran virus corona di negeri ginseng. Namun, Korsel berhasil menepis kekhawatiran tersebut. Mereka kini malah menjadi role model dan success stories bagi negara penganut demokrasi dalam menyelenggarakan pemilu.


Awalnya, Republic of Korea National Election Commission (KPU Korsel) dan pemerintah Korsel gamang untuk melanjutkan tahapan pemilu karena angka kasus positif corona yang tinggi melanda negara mereka. Pertarungan wacana hak berpolitik dan hak berkesehatan pun mengemuka di antara warga negara. Pada akhirnya mereka tetap memutuskan melanjutkan pemilu dengan seperangkat perubahan pada mekanisme pemilunya.


Sebelum membedah mekanisme pelaksanaan pemilu di Korsel di masa pandemi, ada beberapa fakta dan kondisi eksisting yang harus kita ketahui di negeri pencipta film drakor yang menguras air mata tersebut. Pertama, Korsel dalam sejarahnya tidak pernah menunda pelaksanaan pemilunya dalam kondisi force majeure apapun. Bahkan, pada masa Perang Korea pada 1952, pemilu presiden tetap dilakukan. Sehingga, mereka memiliki referensi pengalaman masa lalu untuk membuat scenario planning pelaksanaan pemilu di kondisi tertentu.


Kedua, pada saat hari pemungutan suara 15 April, Korsel memiliki kasus positif corona sejumlah 10.600 orang dan mencatat lebih dari 220 kasus kematian. Hanya saja, pada saat bulan April, bulan di mana pemungutan suara dilakukan, kasus baru positif corona tercatat berkisar di angka 30 orang di setiap harinya. Angka kasus positif corona tertinggi terjadi pada 29 Februari, di mana tercatat 900 kasus positif baru. Itu artinya, kurva positif corona di negeri tersebut sudah bergerak melandai pada saat pemungutan suara dilaksanakan.


Ketiga, proses pendaftaran pemilih pemilu (voter registration) di Korsel sudah sangat mapan. Warga negara tidak perlu melakukan pendaftaran secara formal sebagai pemilih karena mereka yang memenuhi syarat sebagai pemilih sudah terdata dalam sistem kependudukan pemerintah Korsel. KPU Korsel tinggal men-comot database dari pemerintah Korsel dan melakukan verifikasi bagi pemilih yang memenuhi syarat untuk menggunakan hak suaranya di tempat pemungutan suara.


Keempat, pemilu di Korsel tidak se-njlimet pemilu di Indonesia. Tahapan pemilu mereka cukup sederhana dibandingkan dengan Indonesia. Pada saat pandemi corona berlangsung, Korsel sudah melaksanakan sebagian besar tahapan pemilu mereka. Tahapan krusial yang tersisa hanyalah kampanye dan pemungutan serta penghitungan suara.


Lantas seperti apa Korsel menjalankan pemilunya di tengah pandemi corona? Sebagai informasi, pemilu legislatif Korsel yang telah dijalankan di masa pandemi ini menorehkan beberapa rekor yang fantastis. Rekor pertama adalah tingginya angka partisipasi pemilih menggunakan hak suaranya (voting turn out). Angka voting turn out mencapai 66,2% atau lebih dari 28 juta pemilih menggunakan hak suaranya. Angka ini menjadi yang tertinggi selama 20 tahun terakhir pemilu dilaksanakan. Meskipun dengan catatan bahwa Korsel menurunkan usia pemilih yang memenuhi syarat dari usia 19 tahun ke 18 tahun.


Rekor kedua dan menjadi rekor yang paling menakjubkan yakni otoritas kesehatan Korsel melaporkan tidak ada kasus baru positif virus corona terhitung masa inkubasi virus selama 14 hari pasca hari pemungutan suara. Hal ini diyakini bahwa tidak ada kasus penyebaran virus corona sebagai akibat dilaksanakannya pemilu legislatif pada 15 April.

Bagi saya, ada tiga mekanisme yang memberikan dampak signifikan bagi Korsel dalam menjalankan pemilunya di masa pandemi sehingga dikatakan berhasil. Tiga mekanisme itu dijalankan pada tahapan voter registration, kampanye, dan pemungutan dan penghitungan suara. Di tahapan pendaftaran pemilih (voter registration) seperti yang sudah dijelaskan di atas, warga negara dan penyelenggara pemilu di Korsel tidak perlu bersusah payah untuk mendata warga yang memenuhi syarat sebagai pemilih.


Pemerintah Korsel telah memiliki sistem database kependudukan yang mapan. Setiap warga negara telah tercatat dengan baik dalam sistem kependudukan ini. Sehingga KPU Korsel tidak perlu melakukan pemutakhiran data pemilih seperti yang dilakukan oleh KPU di Indonesia. Pemilih tinggal hadir ke TPS (polling station) yang ada dengan membawa dokumen identitas kependudukan (baca: KTP). Kemudian, penyelenggara pemilu di tingkat TPS akan melakukan verifikasi dengan mesin identifikasi kependudukan untuk melihat apakah usia pemilih telah memenuhi syarat sebagai pemilih (usia 18 tahun).


Tentu, mekanisme demikian menghindari pertemuan tatap muka antara penyelenggara pemilu dan pemilih. Sehingga potensi penyebaran virus corona bisa dihindarkan. Di Indonesia, mengacu pada ketentuan undang-undang pemilihan, verifikasi pemilih dilakukan dengan cara pencocokan dan penelitian secara langsung. Penyelenggara pemilu memiliki kewajiban untuk mendatangi rumah pemilih secara door to door untuk memastikan kebenaran data pemilih tersebut. Ketentuan physical distancing dengan mekanisme demikian pasti tidak bisa terpenuhi. Dan, potensi penyelenggara pemilu ataupun pemilih tertular virus corona menjadi semakin tinggi. Mekanisme voter registration semacam ini yang harus dirubah dalam konteks pemilu di Indonesia di era pandemi.


Di tahapan kedua, yakni tahapan kampanye, Korsel melakukan sejumlah perubahan. Normalnya, kampanye dilakukan dengan cara bertemu langsung antara peserta pemilu dan pemilih. Karena pandemi, segala bentuk kampanye peserta pemilu dilakukan secara daring. Penggunaan media sosial dan produksi konten kampanye lewat multimedia menjadi satu-satunya cara yang ditempuh oleh peserta pemilu. Intinya, kampanye yang mengundang kerumunan massa sangat dibatasi untuk mencegah penyebaran virus corona.


Di tahapan ketiga, yakni tahapan pemungutan dan penghitungan suara, Korsel benar-benar ketat menerapkan protokol kesehatan karena di tahapan ini tidak bisa menghindari terciptanya kerumunan massa. Di mekanisme pemungutan suara, Korsel menggunakan skema advance voting, yakni early vote dan mail vote. Early vote atau melakukan pemilihan lebih dulu dilaksanakan di TPS awal yang didirikan di dekat tempat karantina pasien positif corona selama dua hari (11 dan 12 April).


Sementara mail vote atau memilih dengan cara mengirimkan melalui pos juga diperkenankan. Sekitar 26% dari jumlah pemilih memberikan suara mereka melalui mekanisme advance voting ini. Tujuan advance voting dilakukan untuk mengurangi jumlah pemilih yang mendatangi TPS pada hari pemungutan suara.


Penggunaan advance voting di Indonesia tidak terakomodasi pada undang-undang pemilihan. Ketentuan pemungutan dan penghitungan suara dalam aturan tersebut dilakukan pada hari yang sama. Sehingga pemungutan dan penghitungan harus sudah selesai dilaksanakan pada satu hari yang sama. Sehingga upaya mengurangi kerumunan massa pada hari pemungutan suara di TPS tidak bisa dilakukan. Pilihan rasionalnya kemudian adalah memperbanyak jumlah TPS dengan beragam konsekuensi yang mengikutinya.


Korsel juga merubah mekanisme pengaturan pemungutan suara yang nyaman dan aman (adequate polling arrangement) bagi pemilih di TPS. Beberapa prosedur ditempuh seperti pemilih wajib menggunakan masker, disediakan hand sanitizer, diberikan jarak satu meter pada saat antre, pemilih dicek temperatur suhu badannya menggunakan thermometer gun, jika pemilih memiliki suhu badan di atas 37,5 derajat Celcius dipisahkan ke bilik khusus yang telah disediakan, diberikan sarung tangan plastik sekali pakai untuk melindungi pemilih pada saat menandai pilihannya pada surat suara, dan bilik suara dan area TPS disemprot disinfektan secara berkala.


Tidak hanya itu, penyelenggara pemilu di tingkat TPS menggunakan face protection, masker, dan sarung tangan medis. Proses pemungutan dan penghitungan suara juga disiarkan secara daring sebagai upaya transparansi. Sehingga publik bisa turut memantau dengan mengaksesnya melalui daring.


Apa yang dilakukan Korsel pada pemilunya tentu membutuhkan komitmen yang sangat tinggi dari pemerintah, KPU, peserta pemilu, dan pemilih. Komitmen anggaran, komitmen kedisiplinan, dan komitmen untuk saling menjaga dari penyebaran virus corona sangat diperlukan. Dan yang paling penting adalah mempersiapkan kerangka hukum (rule of law) yang menjamin kepastian hukum pemilu agar dilaksanakan secara bebas dan adil (free and fair).


Dalam konteks Indonesia, undang-undang pemilihan harus diubah untuk mengakomodasi mekanisme protokol kesehatan pencegahan virus corona. Selama tidak diubah, pelaksanaan tahapan pemilihan di era pandemi hanya akan menciptakan kekacauan.
Gandha Widyo Prabowo alumnus Magister Ilmu Politik Peminatan Tata Kelola Pemilu Universitas Airlangga Surabaya
(mmu/mmu)

Let's block ads! (Why?)

Baca Lagi Aje https://news.detik.com/kolom/d-5044901/mampukah-meniru-korsel-gelar-pemilu-saat-wabah

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Mampukah Meniru Korsel Gelar Pemilu Saat Wabah? - detikNews"

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.