- Blaire Toedte
- BBC Monitoring, Miami
Daniel Ortega dipastikan kembali memenangi pemilihan presiden di Nikaragua, yang dikecam Presiden Amerika Serikat Joe Biden sebagai "pemilihan palsu" setelah para lawan politiknya dipenjara ataupun mengasingkan diri ke luar negeri.
Dari sekitar 76% suara yang sudah diraih, Ortega memastikan masa kepresidenannya untuk periode keempat, kata kantor berita Reuters.
Dengan demikian mantan komandan gerilyawan Marxist yang kini berusia 75 tahun itu menancapkan statusnya sebagai pemimpin terlama saat ini di Benua Amerika.
Dalam pemilu yang digelar Minggu waktu setempat (07/11), dia sudah hampir dipastikan memperpanjang jabatannya selama lima tahun ke depan.
Namun para seterunya dan juga beberapa negara tetangga Nikaragua menyebut pemilu itu sebagai "lelucon" karena sudah bisa ditebak hasilnya.
Baca juga:
Dia telah memerintah negara Amerika Tengah itu selama lebih dari setengah dari empat dekade lebih sejak Revolusi 1979 yang menggulingkan diktator Anastasio Somoza.
Setelah meredam protes anti-pemerintah yang menentang pemerintahan Front Pembebasan Nasional Sandinista (FSLN) pada tahun 2018, Presiden Ortega membuat marah AS, sekutunya di Amerika Latin dan Uni Eropa dengan semena-mena menyingkirkan para penantangnya dari kubu oposisi.
Mereka ditahan dan didiskualifikasi dari pencalonan atau dipaksa ke pengasingan. Puluhan anggota oposisi lainnya juga ditangkap.
Tindakan keras yang dia lakukan selama beberapa bulan menjelang pemungutan suara hari Minggu kemarin menegaskan bahwa terpilihnya kembali Presiden Ortega dan istrinya, Wakil Presiden Rosario Murillo, dipandang oleh para kritikus dan pendukung sama-sama sebagai kesimpulan yang sudah pasti.
Sejumlah kandidat presiden lainnya yang kurang dikenal juga ikut dalam pemungutan suara, tetapi kemungkinan besar tidak akan menarik banyak pemilih.
AS dan UE telah mengisyaratkan kemungkinan menerapkan isolasi dan sanksi diplomatik lebih lanjut jika Daniel Ortega dan Rosario Murillo kembali dinyatakan menang pilpres.
Pasangan itu selama ini dikenal selalu mencela ancaman "imperialis" AS terhadap Nikaragua.
Dalam kondisi apa pemilu itu diadakan?
Militer Nikaragua, yang dipandang setia kepada Presiden Ortega bersama dengan polisi, telah mengumumkan pengerahan 15.000 tentara di seluruh negeri untuk "mengamankan" jalannya pemungutan suara.
Sejak protes tahun 2018 dipadamkan oleh aparat keamanan, demonstrasi besar anti-pemerintah jarang terjadi dan banyak tokoh oposisi melarikan diri ke pengasingan.
Beberapa warga pemilih kemungkinan juga mengindahkan seruan oposisi untuk memboikot pemilu.
Oposisi organisasi masyarakat sipil dan kelompok mahasiswa telah menyerukan "boikot pemilihan".
Para kandidat presiden utama dari kubu oposisi -- Cristiana Chamorro, Arturo Cruz, Félix Maradiaga, Juan Sebastián Chamorro, Miguel Mora, Medardo Mairena dan Noel Vidaurre -- tersingkir dari kontestasi dengan berbagai cara.
Ada yang ditahan, pergerakan dibatasi, dilarang maupun dipaksa ke pengasingan pada pertengahan 2021 di bawah dalih "antiteroris" dan "pertahanan kedaulatan nasional".
Selain itu, kelompok oposisi utama, Citizens for Liberty, status hukumnya dibatalkan.
Sedangkan para kandidat lain yang telah diizinkan untuk mencalonkan diri dicibir oleh para komentator oposisi dan media sebagai "kolaborator" dalam "pemilu lelucon".
Menurut survei baru-baru ini oleh lembaga survei Kosta Rika CID Gallup, setidaknya 76% orang Nikaragua menganggap bahwa pemilihan kembali Ortega akan "tidak sah" atau "tipis legitimasi".
Namun demikian, jajak pendapat yang sama menunjukkan 55% responden mengaku memiliki "minat besar" atau "sebagian minat" dalam memilih, sedangkan 44% memiliki "sedikit minat atau tidak ada niat".
Bagaimana pemerintah dan oposisi menyikapi pemilu?
Jaringan media yang dikendalikan oleh pemerintah Ortega dan keluarganya selama ini menyajikan rentetan liputan bernada optimistis terkait pemilihan 7 November, dengan menyebutnya "demokratis" dan "transparan".
Sedangkan para pesaingnya dari kubu oposisi yang sudah dilarang maupun yang ditahan terus-menerus digambarkan oleh narasi pemerintah sebagai "teroris" yang didukung AS yang berusaha menabur "kebencian" dan kekacauan.
Pihak oposisi, terdiri dari para politikus dan komentator yang beberapa dari mereka tinggal di pengasingan, terus menerus mengecam, mengkritik dan menolak pemilu itu.
Media pro-oposisi telah melaporkan bahwa pekerja di berbagai sektor, termasuk pegawai pemerintah dan guru sekolah negeri, dipaksa dengan ancaman untuk memilih partai yang memerintah.
Muncul pula kritik dari kalangan Gereja Katolik, yang mempertahankan pengaruhnya di Nikaragua dan telah menegur pemerintah Ortega di masa lalu karena pelanggaran antidemokrasi.
Harian pro-oposisi La Prensa mengutip seorang pastor paroki, Uriel Vallejos, yang mengatakan dalam homilinya bahwa dia tidak akan memilih dan bahwa "rakyat akan meninggalkan kediktatoran".
Bagaimana pandangan dari luar negeri?
Pemerintah AS, Organisasi Negara-negara Amerika dan Uni Eropa semuanya bersikukuh dalam pandangan mereka bahwa pemilihan 7 November itu tidak dapat dianggap sah.
Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa, Josep Borrell, mengatakan kepada wartawan minggu ini bahwa dia memandang pemungutan suara Nikaragua sebagai "palsu", sehingga tidak ada "hasil yang sah".
Sedangkan Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken, menuduh Ortega dan Murillo "menyiapkan pemilihan palsu yang kurang kredibel".
Para menteri luar negeri Uni Eropa pun telah meminta Borrell untuk menyiapkan sanksi tambahan terhadap pemerintah Nikaragua dan para pejabatnya.
Baik Wakil Presiden Murillo maupun anak-anaknya dengan Ortega serta pejabat tinggi Sandinista lainnya telah menjadi sasaran sanksi AS dan Uni Eropa.
Namun demikian, Presiden Ortega dan partai FSLN-nya masih dapat mengandalkan dukungan dari sejumlah pemerintah anti-AS yang sepemikiran, seperti Kuba, Venezuela dan Rusia.
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Bagaimana Presiden Ortega dan istrinya kembali berkuasa setelah menang pemilu Nikaragua yang digambarkan 'palsu' dan 'lelucon' - BBC News Indonesia"
Posting Komentar