Upaya Komisi Pemilihan Umum melakukan redesain surat suara pemilihan umum bisa dilakukan dengan dua jalan. Jalan pertama adalah menyesuaikan desain surat suara dengan tetap memperhatikan batasan yang ditentukan oleh undang-undang pemilu. Sementara jalan kedua adalah mendesain surat suara dengan berbagai banyak alternatif tanpa dibatasi dengan ketentuan regulasi yang ada.
Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sudah disebutkan secara detail bagaimana gambaran desain surat suara pemilu dan bagaimana metode pemberian suara.
Pasal 342 Ayat 2 menyebutkan, surat suara untuk calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota harus memuat tanda gambar partai politik, nomor urut partai politik, nomor urut dan nama calon anggota DPR, DPRD provinsi, serta DPRD kabupaten/kota untuk setiap daerah pemilihan.
Sementara itu, khusus untuk calon anggota Dewan Perwakilan Daerah, surat suara harus memuat pas foto diri terbaru dan nama calon anggota DPD untuk setiap daerah pemilihan.
Berbeda dengan surat suara anggota DPR/DPRD yang tanpa ada foto, untuk surat suara pemilihan anggota DPD wajib ada foto. Tentu dengan kewajiban adanya foto tetap membutuhkan ruang di surat suara yang lebih besar dibandingkan tanpa foto.
Selain isi dari surat suara, undang-undang pemilu juga mengatur soal metode pemberian suara.
Pasal 353 menyebutkan, untuk pemilu DPR/DPRD, metode pemberian suara adalah dengan cara mencoblos satu kali pada nomor atau tanda gambar partai politik, dan atau nama calon anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota.
Hal yang sama juga berlaku untuk pemilihan anggota DPD, pemilih harus mencoblos satu kali pada nomor, nama, atau foto calon untuk anggota DPD.
Dua hal, yakni keharusan isi dalam surat suara dan metode mencoblos ini menjadi amanah dari undang-undang terkait desain surat suara. KPU hanya diberi kewenangan untuk menentukan jenis, bentuk, ukuran warna, dan spesifikasi teknis lain surat suara yang ditetapkan melalui peraturan KPU.
Jika merujuk pada keputusan pemerintah dan DPR yang tidak akan mengubah atau merevisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, jalan pertama bagi KPU untuk melakukan redesain surat suara pada akhirnya harus tetap mengacu pada ketentuan undang-undang tersebut.
Baca juga: Mendukung Surat Suara Jadi Lebih Sederhana
Enam model
Merujuk ketentuan undang-undang, dari enam model desain surat suara yang sudah dipublikasikan KPU dalam sebuah diskusi pemilu dan demokrasi oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi pada 1 Agustus lalu, model 4 dan model 5 masuk kategori yang memenuhi persyaratan undang-undang terkait desain surat suara.
Kedua model ini masih memenuhi persyaratan materi yang harus ada dalam surat suara, seperti tanda dan nomor urut partai, nomor urut dan nama calon, serta khusus calon DPD ada fotonya.
Selain memenuhi syarat materi yang harus ada di dalam surat suara, model 4 dan 5 juga memenuhi syarat metode pemberian suara. Kedua model ini masih memberlakukan metode mencoblos dalam pemberian suara.
Namun, khusus untuk anggota DPD, pada model 4 ada keterbatasan jumlah calon anggota DPD yang hanya mampu menampung 20 calon. Padahal, jika berpijak pada pengalaman Pemilu 2019, hanya ada 11 provinsi yang jumlah calon anggota DPD mencapai 20 orang atau di bawahnya. Selebihnya, sebanyak 23 provinsi memiliki calon DPD lebih dari 20 orang, bahkan terbanyak tercatat di Jawa Barat mencapai 49 orang. Hal yang sama juga pernah terjadi di Sulawesi Tenggara di Pemilu 2014 dengan 63 calon anggota DPD.
Artinya, model 4 dengan keterbatasan hanya mampu menampung 20 calon anggota DPD kecil kemungkinan bisa terpakai. Hal ini karenan desain surat suara yang menggabungkan 5 pemilihan dalam satu surat suara (pilpres, DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota) yang berakibat pada terbatasnya space dari surat suara tersebut.
Sementara model 5 cenderung lebih berpeluang terpakai dibandingkan model 4 karena ada pemisahan menjadi dua lembar surat suara karena surat suara calon anggota DPD menjadi satu lembar tersendiri.
Namun, tentu saja potensi surat suara tidak sah berpeluang terjadi jika mengacu pada ukuran surat suara model 4 dan model 5 ini. Kedua model ini berukuran 42 cm x 59,4 cm yang tentu dikhawatirkan ruang untuk mencoblos dengan jarak antarnama calon legislatif semakin tipis dan rekat.
Hal ini dikhawatirkan khususnya bagi pemilih berusia lanjut perlu upaya ekstra untuk membedakan ruang yang harus dicoblos antarnama calon legislatif yang dituju.
Namun, setidaknya model 4 dan model 5 ini tidak membutuhkan upaya ekstra bagi KPU karena tidak memerlukan perubahan undang-undang. Keduanya masih memenuhi syarat yang ditetapkan dalam undang-undang terkait materi surat suara pemilu dan metode pemberian suara.
Baca juga: KPU Siapkan Enam Model Rancangan Surat Suara untuk Pemilu 2024
Jalan kedua
Jika desain surat suara yang terpilih di luar model 4 dan model 5, otomatis KPU mau tidak mau harus mengambil jalan kedua, yakni dengan tidak mengikuti panduan dan syarat yang ditetapkan dalam undang-undang terkait desain materi surat suara dan metode pemberian suara. Sebab, jika mengacu desain surat suara model 1, 2, 3, dan 6, semuanya membutuhkan payung hukum jika nantinya disepakati untuk dipilih.
Model 1 dan 2 tidak mencantumkan nomor urut dan nama calon legislatif untuk DPR dan DPRD. Hal yang sama untuk calon DPD, termasuk tidak disertai foto calon anggota DPD dalam surat suara.
Sementara untuk model 3, syarat surat suara DPD sudah terpenuhi, tetapi untuk DPR dan DPRD belum terpenuhi (sesuai UU) karena menghilangkan nomor urut dan nama calon legislatif.
Ketiganya juga mensyarakatkan metode pemberian suara dengan cara menuliskan nomor urut calon yang dipilih pada kolom yang disediakan. Padahal, undang-undang mensyaratkan metode harus dengan cara mencoblos.
Hal yang sama juga terjadi pada model 6. Model terakhir ini hanya menghilangkan nama calon di surat suara, selebihnya lengkap sesuai undang-undang.
Namun, tentu menghilangkan satu saja sudah tidak memenuhi apa yang diperintahkan undang-undang. Apalagi, metode pemberian suara di metode 6 ini satu-satunya yang dilakukan dengan cara mencontreng, cara yang pernah dipraktikkan di Pemilu 2009.
Jika mengacu enam model yang menjadi kajian KPU, pilihan penyederhanaan dari sisi jumlah surat suara hanya ada dua, yakni menjadi satu suara (dari semula lima surat suara) atau menjadi dua surat suara. Namun, dari sisi legalitas, berapa pun jumlah surat suara menjadi kewenangan KPU.
Meskipun demikian, peneliti kepemiluan yang juga anggota Dewan Pembina Perludem, Titi Anggraini, menyebutkan bahwa redesain surat suara tidak perlu tergesa-gesa atau mepet waktu.
Dari sisi jumlah suarat suara, Titi lebih mengusulkan menjadi tiga surat suara, yakni surat suara Presiden dan DPR, surat suara DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota, serta surat suara DPD. ”Redesain surat suara tidak boleh tergesa-gesa atau mepet waktu. Perlu waktu yang cukup untuk kepentingan pendidikan pemilih dan pelatihan para petugas,” ujar Titi.
Pada akhirnya, dua jalan harus menjadi pilihan bagi KPU. Apakah mendesain surat suara dengan tetap mengikuti regulasi yang ada, artinya tanpa harus mengubah undang-undang, atau memilih jalan kedua, yakni dengan mengubah undang-undang di tengah sikap pemerintah dan DPR yang sepakat untuk tidak merevisi undang-undang pemilu guna menghadapi Pemilu 2024. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Memastikan Keberadaan Penyelenggara Pemilu
Baca Lagi Aje https://www.kompas.id/baca/riset/2021/08/06/dua-jalan-mendesain-surat-suara-pemilu/Bagikan Berita Ini
0 Response to "Dua Jalan Mendesain Surat Suara Pemilu - kompas.id"
Posting Komentar