Search

Melawan Hoaks Pemilu - kompas.id

Memuat data...

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Gerakan Pemuda Islam Indonesia saat menggelar aksi deklarasi Pilkada 2018 dan Pemilu 2019 Damai di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, (25/3/2019). Aksi tersebut mengajak masyarakat untuk mendukung Pilkada 2018 dan Pemilu 2019 yang damai dengan menolak segala kampanye hitam, ujaran kebencian, dan berita bohong atau hoaks.

Penyelenggaraan pemilihan umum tidak saja menjadi ajang persaingan politik antar peserta, baik partai politik, calon legislatif maupun calon di jabatan eksekutif. Pemilu juga menjadi ajang pertarungan informasi dan data.

Maraknya berita bohong atau hoaks menjadi tantangan, khususnya bagi penyelenggara pemilu untuk mengawal agar marwah pemilu sebagai sebuah instrumen demokrasi tetap terjaga.

Pengalaman penyelenggaraan pemilihan umum 2019 bisa menjadi pelajaran bagaimana kontestasi politik tak pernah sepi dari pertarungan informasi. Apalagi di era sosial media yang makin gencar, kampanye dan banjir informasi terkait pemilu menjadi konsumsi sehari-hari bagi publik maupun netizen. Tak jarang dalam luapan informasi tersebut, berita-berita bohong pun berseliweran.

Data Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) mencatat, sepanjang 2018 telah terjadi 997 berita hoaks. Dari jumlah tersebut, sebanyak 448 atau 49,9 persen diantaranya adalah berita hoaks bertemakan  politik.

Memuat data...

Tema hoaks terkait politik, apalagi menjelang pelaksanaan pemilu semakin meningkat. Data di Februari 2019 atau dua bulan sebelum pemungutan suara mencapai 104 berita hoaks dan 71 diantaranya (68,3%) bertemakan politik.

Berita bohong yang cukup menghebohkan di Pemilu 2019 adalah kasus yang menjerat Ratna Sarumpaet. Berita ini diawali oleh pengakuan Ratna Sarumpaet yang menjadi korban kekerasan dan penganiayaan.

Dia mengunggah foto wajahnya dalam kondisi lebam bekas mengalami kekerasan dan disebarluaskan melalui media sosial, seperti Facebook, WhatsApp, dan Twitter. Ratna sendiri sepanjang kontestasi 2019 dikenal sebagai pendukung, bahkan masuk dalam tim sukses Prabowo Subianto dalam pencalonan presiden.

Maraknya berita bohong atau hoaks menjadi tantangan, khususnya bagi penyelenggara pemilu untuk mengawal agar marwah pemilu sebagai sebuah instrumen demokrasi tetap terjaga.

Postingan Ratna kemudian viral dan menjadi perbincangan netizen dan pemberitaan media mainstream . Sejumlah tokoh pun turut mencuitkan melalui akun media sosialnya. Sebut saja politisi Partai Gerindra Fadli Zon dalam akunnya @fadlizon berkomentar "Jahat dan biadab sekali."

Hal yang sama juga dilakukan oleh Ketua Umum Partai Gerindra yang menjadi calon presiden saat itu, Prabowo Subianto, yang turut memberikan penyataan pers bahwa Ratna adalah korban penganiayaan, bahkan Prabowo sempat mengatakan kasus tersebut merupakan tindakan represif dan melanggar hak asasi manusia.

Kasus ini semakin menunjukkan kebohongan setelah polisi melakukan penyelidikan. Puncaknya, Ratna Sarumpaet pun mengelar konferensi pers "Itu cerita khayalan, entah diberikan oleh setan mana kepada saya," katanya dalam jumpa pers dan mengakui apa yang dia nyatakan sebelumnya soal kekerasan adalah bohong.

Memuat data...

KOMPAS/NIKOLAUS HARBOWO

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo memimpin pembacaan ikrar komitmen lawan ujaran kebencian dan hoaks dalam apel "Persiapan Pemilu 2019", di Jakarta, Jumat (15/2/2019).

Tak pelak, Prabowo Subianto pun menyusul menggelar jumpa pers dan meminta maaf pada publik karena turut menyuarakan informasi bohong tersebut. Prabowo juga menjelaskan Ratna sudah mengundurkan diri dari tim pemenangan Prabowo-Sandi.

Narasi yang dikembangkan dalam kasus Ratna ini memang cenderung ingin membangun opini soal represifnya negara terhadap warga negaranya, Tentu, jika bicara negara, personifikasi yang sedang dituju adalah kepala negara, dalam hal ini Presiden Jokowi yang saat itu juga tengah menjadi calon presiden yang berhadapan dengan calon presiden Prabowo Subianto.

Tujuannya tentu untuk melahirkan sisi emosional publik terhadap Jokowi dan berharap akan mengalihkan simpati pada Prabowo.

Baca juga : Penyebaran Hoaks Jadi Pelajaran Penting

Proses pemilu

Selain hoaks yang lahir untuk kepentingan elektoral dengan mendegradasi lawan politik, hoaks juga muncul untuk mendelegitimasi penyelenggara pemilu, terutama terhadap Komisi Pemilihan Umum. Sepanjang 2019 sejumlah hoaks disebar dan muncul di sosial media yang semuanya memang untuk menyerang KPU sebagai penyelenggara pemilu.

Hoaks yang paling mendapat perhatian publik adalah soal isu surat suara yang sudah tercoblos untuk pasangan capres tertentu dan ini berada dalam tujuh kontainer.

Memuat data...

Hoaks ini muncul pada awal Januari 2019 yang beredar di aplikasi WhatsApp berupa rekaman suara yang isinya menyebutkan ada tujuh kontainer di Tanjung Priok yang sudah tercoblos untuk pasangan Jokowi-Ma'ruf.

Seperti halnya kasus Ratna Sarumpaet, info hoaks ini pun viral dan direspons oleh sejumlah tokoh juga. Sebut saja politisi Partai Demokrat Andi Arief yang mencuit di akun Twitternya, @AndiArief "Mohon dicek, kabarnya ada tujuh kontainer surat suara yang sudah dicoblos di Tanjung Priok. Supaya tidak fitnah harap dicek kebenarannya. Karena ini kabar sudah beredar."

Hasil penyelidikan Bareskrim Mabes Polri menyebutkan,  info soal tujuh kontainer surat suara yang sudah dicoblos ini adalah berita bohong alias hoaks. Polisi pun akhirnya menetapkan empat tersangka dalam kasus ini.

Berita hoaks yang menyerang KPU tidak hanya berhenti di soal hoaks tujuh kontainer. KPU juga diserang dengan isu-isu yang melemahkan kinerja penyelenggara pemilu tersebut.

Memuat data...

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Aktivis dari komunitas jurnalis pesantren dan aktivis media sosial menandatangani deklarasi melawan hoaks di Cikini, Jakarta, Selasa (22/1/2019).

Dalam hal pendataan pemilih, misalnya, KPU juga diserang isu hoaks data pemilih siluman. Waktu itu disebutkan ada 31 juta pemilih siluman yang dimasukkan KPU dalam Daftar Pemilih Tetap.

Narasi yang dibangun lagi-lagi pemilih siluman tersebut akan digunakan untuk mobilisasi demi kemenangan salah satu pasangan calon di pemilihan presiden.

Untuk isu data pemilih ini, KPU menjelaskan bahwa itu selisih DPT yang ditetapkan 5 September 2019 dan Daftar Penduduk Pemilih Potensial Pemilu yang diterbitkan Kemendagri pada Desember 2017.

Angka 31 juta data pemilih itu diduga belum masuk ke DPT karena KPU harus mencocokkan data dengan sistem informasi data pemilih serta melakukan pengecekan langsung ke lapangan.

Memuat data...

Selain itu KPU juga diserang dengan hoaks yang cukup menggelikan, yakni soal adanya orang gila yang ikut memilih di pemilu. Bahan hoaks yang diviralkan adalah foto simulasi dan proses pengurusan admnistrasi yang menunjukkan orang sedang gangguan jiwa masuk sebagai pemilih.

KPU pun menegaskan bahwa tidak pernah mendata warga yang sudah dinyatakan gangguang jiwa masuk dalam daftar pemilih. Sesuai peraturan perundan-undangan, pemilih harus sehat jasmani dan rohani.

Baca juga : Menyoal Kampanye Politik di Media Sosial

Pemilu mundur

Menjelang pemilu 2024, isu hoaks pun kembali muncul dengan narasi yang lagi-lagi mendiskreditkan penyelenggara pemilu. Isu jadwal pemilu yang dimundurkan dari 2024 ke 2027 sempat viral belakangan ini.

Banyak pihak yang tersentak kaget dengan isu ini, apalagi setelah pemerintah dan DPR sepakat tidak melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum. Jika mengacu ke regulasi ini, pemilu harus digelar serentak di 2024.

Untuk berita hoaks jadwal pemilu mundur ini, KPU dalam keterangan resminya menyebutkan, kabar hoaks tersebut muncul setelah ada wacana revisi UU No 7/2017 tentang Pemilu dan UU No 10/2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah.

Memuat data...

KPU menegaskan pemilu tetap terselenggara pada 2024 sesuai UU No 7/2017. Sementara untuk pemilihan kepala daerah direncanakan tetap akan digelar November 2024.

Tak pelak, berita bohong memang sudah menjadi arena pertarungan sekaligus komoditas politik untuk kepentingan-kepentingan politik tertentu. Pada akhirnya, tetap penting untuk melakukan edukasi kepada publik agar tidak mudah termakan oleh berita-berita bohong, khususnya terkait pemilu dengan isu-isu politik yang relatif sensitif.

Berita bohong memang sudah menjadi arena pertarungan sekaligus komoditas politik untuk kepentingan-kepentingan politik tertentu.

Melawan hoaks pemilu memang tidak cukup dengan regulasi di undang-undang, khususnya terkait aturan main soal kampanye, namun juga menjadi pekerjaan rumah jangka panjang untuk menyadarkan pemilih bahwa pemilu tidak sekadar ajang kontestasi antar peserta pemilu, namun juga kontestasi informasi dan data. Maka, mencari dan mendalami informasi yang benar dan akurat menjadi sesuatu yang harus dilakukan. (LITBANG KOMPAS)

Baca juga : Problematika Pemilu Serentak 2024

Adblock test (Why?)

Baca Lagi Aje https://www.kompas.id/baca/riset/2021/08/25/melawan-hoaks-pemilu/

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Melawan Hoaks Pemilu - kompas.id"

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.