Search

Rekam Jejak Surat Suara Pemilu - kompas.id

Memuat data...

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Baliho sosialisasi surat suara yang akan digunakan dalam Pemilu 2019 terpasang di Jalan KH Hasyim Ashari, Kota Tangerang, Jumat (22/2/2019).

Dari enam model desain penyederhanaan surat suara pada pemilihan umum yang dilansir Komisi Pemilihan Umum, salah satunya menyebutkan pemilih bisa memberikan suara dengan cara menulis.

Jika merujuk perjalanan sejarah pemilu, cara menulis sebenarnya bukan sesuatu yang baru, meski harus diakui pemilih di negeri ini belum terbiasa menuliskan pilihannya pada surat suara.

Dalam bayangan pemilih di Indonesia, mencoblos adalah satu-satunya cara yang melekat dalam memori mereka tentang metode pemberian suara pada pemilihan umum.

Ketika berada di dalam bilik suara, pemilih tinggal memakai alat tusuk dan kemudian menusuk, atau sekarang lebih populer dengan mencoblos, nomor urut, nama calon, atau gambar partai politik pada pemilihan umum legislatif.

Hal ini diperkuat dengan hasil jajak pendapat Kompas, yang memperlihatkan metode mencoblos lebih banyak dipilih responden (85,2 persen) dibandingkan dengan cara mencontreng.

Pilihan mencoblos juga lebih banyak dipilih (86, 7 persen) jika dibandingkan dengan cara menulis. Tidak heran jika kemudian metode mencoblos memang masih menjadi cara yang mudah dan sederhana bagi seluruh kalangan pemilih dari berbagai latar belakang (Kompas, 12/7/2021).

Memuat data...

Pilihan metode mencoblos juga jangan dibayangkan sebagai pilihan rasional dari mereka yang mungkin secara latar belakang pendidikan menengah bawah.

Mencoblos tidak sekadar terkait isu tingkat pendidikan karena metode ini lebih banyak dipilih dari semua kelompok responden berdasarkan latar belakang tingkat pendidikan.

Hasil jajak pendapat Kompas juga merekam, baik kelompok responden berpendidikan rendah, menengah, maupun tinggi, mayoritas dari ketiga kelompok ini lebih memilih mencoblos. Hal ini semakin menegaskan, mencoblos lebih mudah diterima dan dijalankan.

Lalu, apakah upaya Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengenalkan enam desain surat suara yang beberapa di antaranya menggunakan metode menulis sebagai sesuatu yang baru dan sulit dilakukan oleh pemilih?

Baca juga : Dua Jalan Mendesain Surat Suara Pemilu

Tentu saja jawabannya berpulang pada uji coba surat suara tersebut, yang pada akhirnya harus dilakukan kepada semua kalangan pemilih dari sejumlah latar belakang.

Namun, jika kita tengok rekam jejak surat suara pemilu di Indonesia, metode pemberian suara dengan cara menulis sebenarnya bukan sesuatu yang baru.

Pemilu 1955, yang dikenal sebagai pemilu pertama yang demokratis, sebenarnya sudah memberikan peluang bagi pemilih untuk menggunakan metode menulis dalam memberikan pilihan politiknya.

Memuat data...

Hal ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan DPR yang menjadi dasar hukum pelaksanaan Pemilu 1955.

Dalam Pasal 67 Ayat 2 UU tersebut disebutkan, pemilih memberikan suara dengan menusuk tanda atau gambar. Hal lainnya juga disebutkan, pemilih memberikan suara kepada seorang calon dengan menulis nomor serta nama dari calon dalam ruangan (space) yang disediakan dalam surat suara.

Untuk memudahkan pemilih menulis nama calon yang dipilihnya, di setiap bilik suara dipasang daftar calon tetap.

Pemilu 1955 dilakukan dalam dua tahap, yakni memilih anggota DPR yang digelar pada 29 September 1955 dan memilih anggota Konstituante yang digelar pada 15 Desember 1955.

Dalam buku Naskah Sumber Arsip Jejak Demokrasi Pemilu 1955 (2019) disebutkan bahwa pemilihan anggota DPR tahun 1955 diikuti oleh 36 partai politik, 34 organisasi massa, dan 48 calon perseorangan.

Memuat data...

DOK KOMPAS

Pemilu 1955

Sementara itu, pemilihan anggota Konstituante diikuti oleh 39 partai politik, 23 organisasi massa, dan 29 calon perseorangan. Dari setiap surat suara untuk pemilihan DPR dan Konstituante tersebut, surat suaranya hanya berisi nomor urut gambar partai dan nama calon perseorangan.

Pemilih bisa menggunakan cara mencoblos ataupun menulis untuk memilih anggota DPR dan Konstituante seperti yang tertuang dalam Pasal 67 Ayat 2 UU No 7/1955 di atas.

Jika mengacu pengalaman regulasi pada Pemilu 1955 tersebut, model 1, 2, dan 3 (lihat Infografis) dari desain yang diperkenalkan KPU sebagai upaya penyederhanaan surat suara, tidak jauh berbeda dengan pengalaman pada Pemilu 1955 ini.

Dalam diskusi virtual KPU terkait penyederhanaan surat suara, Rabu (21/7/2021), anggota KPU Viryan Azis menunjukkan gambar surat suara yang dipakai pada Pemilu 1955.

Memuat data...

KOMPAS/PRADIPTA PANDU

Komisioner KPU Viryan Azis

Di bagian bawah kanan surat suara ada kotak kecil yang ditujukan bagi pemilih untuk menuliskan pilihannya. ”Hal ini menegaskan memilih dengan menulis bukan sesuatu yang baru di Indonesia,” ujar Viryan.

Dalam salah satu artikel di blog pribadinya, Viryan, yang kini juga mendalami sejarah pemilu, menambahkan keterangan bahwa setelah Pemilu 1955, pada pemilu lokal memilih anggota DPRD pada kurun 1957-1958 yang dilaksanakan berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 1957, surat suara yang digunakan pada semua daerah yang mengadakan pemilu lokal sama dengan desain surat suara Pemilu 1955.

Jika mengacu pada hal itu, pemilih di Indonesia tidak sekali menggunakan metode menulis dalam menentukan pilihan politiknya.

Baca juga : Mendukung Surat Suara Jadi Lebih Sederhana

Era mencoblos

Setelah Pemilu 1955, metode mencoblos semakin dikukuhkan sebagai satu-satunya cara pemberian suara pada pemilu, terutama ketika memasuki pemilu era Orde Baru.

Pemilu 1971 yang mulai memperkenalkan konsep pemilu serentak, yakni memilih anggota DPR nasional dengan DPRD berbarengan, juga diikuti dengan desain surat suara yang terpisah.

Jika pada Pemilu 1955 hanya satu kertas suara, baik untuk memilih anggota DPR maupun anggota Konstituante, pada Pemilu 1971 mulai digunakan tiga surat suara, yakni surat suara untuk DPR, DPRD Tingkat I, dan DPRD Tingkat II. Surat suara berisi nomor urut dan gambar 10 partai politik yang menjadi peserta Pemilu 1971.

Memuat data...

Setelah kebijakan fusi partai politik tahun 1973, pemilu-pemilu berikutnya malah lebih sederhana lagi karena jumlah kontestannya jauh lebih sedikit. Kebijakan fusi ini menggabungkan sejumlah partai ke dalam tiga kelompok, yakni satu golongan karya dan dua lainnya sebagai partai politik.

Praktis, pada pemilu berikutnya, yakni Pemilu 1977 sampai Pemilu 1997, peserta pemilu hanya tiga, yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya, dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Desain surat suara pemilu era Orde Baru pun makin sederhana. Jika sebelumnya berisi 10 gambar partai politik beserta nomor urutnya, mulai Pemilu 1977 hanya berisi tiga gambar peserta pemilu.

Kondisi ini bertahan hingga pemilu berikutnya pada era Orde Baru, yakni sampai Pemilu 1997. Tak heran jika kemudian metode mencoblos begitu kuat tertanam pada memori masyarakat Indonesia karena selama tiga dekade lebih pemilihan umum yang digelar identik dengan pencoblosan, bahkan tak jarang jenis metode sudah menggeser kata memilih itu sendiri.

”Sudah mencoblos?” begitu kata-kata yang kerap kita dengar untuk ”menggantikan” pertanyaan ”sudah memilih?”.

Memuat data...

KOMPAS/DUDY SUDIBYO

Ajakan menggunakan hak pilih dalam pesta demokrasi Pemilu 1982 terpampang di setiap sudut kota Jakarta seperti di kawasan Monumen Nasional (Monas).

Pemilu reformasi

Memasuki era Reformasi, mencoblos dipertahankan sebagai metode pemberian suara pada pemilu. Pada Pemilu 1999, jumlah kontestan makin bertambah karena euforia reformasi, yakni mencapai 48 partai politik.

Surat suara pun kembali lebih besar dengan menampung nomor urut beserta gambar logo dari semua partai politik peserta pemilu tersebut. Total jumlah surat suara tetap tiga, yakni untuk DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.

Kondisi ini kembali dipertahankan pada Pemilu 2004 yang diikuti 24 partai politik dengan penambahan satu surat suara untuk Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang desainnya sedikit berbeda dibandingkan tiga surat suara lainnya (DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota).

Khusus surat suara DPD, selain nomor urut dan nama calon, juga harus ditampilkan foto dari calon anggota DPD. Semua metode pemilihan tetap dilakukan denga cara mencoblos.

Memuat data...

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Komisi Pemilihan Umum (KPU) menggelar validasi dan persetujuan surat suara DPR serta presiden dan wakil presiden pada Pemilu 2019 di Gedung KPU, Jalan Imam Bonjol, Jakarta, Jumat (4/1/2019). Acara dipimpin langsung oleh Ketua KPU Arief Budiman dan dihadiri tim kampanye pasangan calon presiden dan wapres serta pengurus parpol peserta pemilu. Acara dilakukan untuk memastikan penulisan nama dan foto peserta pemilu benar.

Selain empat suara pemilu legislatif, pada Pemilu 2004 mulai diberlakukan juga pemilihan langsung presiden yang digelar terpisah setelah pemilu legislatif. Desain surat suara pilpres hanya mencantumkan nomor urut, nama, dan foto pasangan calon.

Hal berbeda ditemui pada Pemilu 2009. Pemilu yang diikuti 38 parpol ini menggunakan jumlah surat suara yang sama dengan Pemilu 2004, yakni empat surat suara (DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota).

Pada pemilu ketiga era Reformasi ini metode memilih berubah menjadi memberi tanda atau kemudian dikenal dengan sebutan mencontreng. Hal yang sama juga diberlakukan pada pemilihan presiden.

Namun, hasil evaluasi kemudian menyebutkan metode mencontreng justru lebih susah diikuti, khususnya oleh pemilih yang masih terkendala dengan buta huruf dan kemampuan menggunakan alat tulis untuk memberi tanda (mencontreng).

Tidak heran jumlah surat suara tidak sah pada Pemilu 2009 mencapai 17,7 juta suara atau 14,43 persen dari jumlah pemilih yang menggunakan hak suaranya pada pemilu.

Memuat data...

Akhirnya, pada Pemilu 2014, yang diikuti 12 partai politik, metode mencoblos kembali dipergunakan dengan empat surat suara yang sama seperti Pemilu 2009 plus satu surat suara untuk pemilihan presiden yang juga dilakukan secara terpisah.

Terakhir, dalam Pemilu 2019 yang diikuti 16 partai politik juga diberlakukan empat surat suara legislatif yang sama dengan pemilu sebelumnya. Hanya saja, perhelatan pemilu legislatif mulai dilakukan secara serentak dengan pemilihan presiden.

Sejarah membuktikan desain surat suara sudah beberapa kali berubah dan berkembang, termasuk metode pemberian suara itu sendiri.

Pada Pemilu 2019 ini surat suara pemilu presiden, selain berisi nomor urut, nama, dan foto pasangan calon, juga mulai dicantumkan gambar parpol pengusung pasangan calon tersebut.

Pada akhirnya rekam jejak surat suara ini makin menegaskan bahwa sejarah membuktikan desain surat suara sudah beberapa kali berubah dan berkembang, termasuk metode pemberian suara itu sendiri.

Upaya KPU meredesain surat suara perlu diberi ruang selama desain surat suara tersebut tetap mengedepankan kemudahan bagi penyelenggara dan pemilih, serta tetap memberikan akses yang sama kepada semua latar belakang pemilih. (LITBANG KOMPAS)

Baca juga : Problematika Pemilu Serentak 2024

Adblock test (Why?)

Baca Lagi Aje https://www.kompas.id/baca/riset/2021/08/14/rekam-jejak-surat-suara-pemlu/

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Rekam Jejak Surat Suara Pemilu - kompas.id"

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.