Agil Akbar. Foto: ist
Oleh: Agil Akbar - Ketua Bawaslu Kota Surabaya
-Dalam beberapa dekade terakhir, kita menghadapi perubahan pola hidup yang signifikan. Pandemi Covid-19 telah memaksa tatanan dunia untuk memperbaharui segala aspek kehidupan seperti pola konsumsi masyarakat, bursa ketenagakerjaan, pola hidup, bahkan utamanya pola organisasional dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
Hal ini mengharuskan organisasi untuk bersifat adaptif dari perubahan yang ada, baik secara radikal maupun secara perlahan. Pola perubahan yang signifikan pernah terekam melalui karya Beer dan Nohria (2000:133) yang mengatakan bahwa kondisi masyarakat pasti melekat dengan perubahan, seperti yang pernah terjadi dalam abad ke 19, di mana dunia mengalami revolusi industri yang membuat struktur hirarkis ketenagaakerjaan berubah total.
Oleh sebab itu, pemikiran tentang perubahan budaya organisasi terus berkembang. Kajian kontemporer tentang fenomena perubahan budaya organisasi pernah diungkapkan oleh Sturdy dan Grey (2003). Ide pokoknya ialah perubahan budaya organisasi akan mengubah corak kerja organisasi itu sendiri. Corak perubahan organisasi Sturdy dan Grey menekankan bahwa suatu organisasi akan dapat cepat berubah bergantung struktur hierarkis, yang harus dimulai dari struktur paling atas manajer, staf, dan karyawan.
Struktur hirarkis ini memanfaatkan kepatuhan atasan-bawahan sebagai asas patron-klien dalam upaya mengubah budaya organisasi. Kebanyakan kajian tentang perubahan organisasi (organizational change) yang telah ada, mengedepankan ide pokok bahwa keterlibatan budaya organisasi
(organizational culture) memiliki keterikatan yang kuat. Budaya sendiri dimaknai sebagai kunci atau sejenisnya yang memiliki dorongan terhadap perubahan yang kuat.
Senada seperti yang diungkapkan oleh Bologun dan Johnson (2004) yang mengatakan bahwa banyak penulis tentang perubahan biasanya gagal dalam mendefinisikan secaran material tentang rencana atau aspek lain dalam upaya perubahan organisasi yang linier dengan budaya organisasi.
Tulisan ini akan menjawab soal tantangan dan dorongan untuk mengubah budaya organisasi secara radikal di tengah kondisi pandemi Covid-19 yang terjadi di Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU).
Pemilu di Tengah Pandemi
Dalam sejarah kepemiluan yang diadakan di Indonesia, baru kali ini Indonesia mengadakannya secara “special”. Pada Undang – Undang Nomor 6 Tahun 2020 Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang,
Pemilihan Kepala Daerah yang diselenggarakan oleh KPU dan Bawaslu merupakan kepanjangan tangan untuk mengukuhkan kedaulatan negara.
Menurut laman resmi Bawaslu, ada dua misi yang diemban dalam mengawasi pilkada di tengah pandemi penyebaran Covid-19. Misi yang pertama yaitu, keselamatan manusia dalam rangka penyebaran penyakit. Misi yang kedua ialah menegakkan kedaulatan negara 1 .1 https://bawaslu.go.id/id/berita/pilkada-di-tengah...
Memang dalam pelaksanaan misi tersebut terdapat dua kontradiksi yang saling berseberangan. Memilih kedaulatan di atas keselamatan masyarakat memang sebuah hal yang dilematis. Lembaga-lembaga negara berlomba-lomba membangun kerjasama apik dengan pelaksana pemilu untuk mensosialisasikan protokol kesehatan seketat-ketatnya. Tetapi upaya yang dilakukan pemerintah belum cukup
Banyak anggapan masyarakat muncul justru mempertanyakan apa motif diadakannya pemilu di tengah pandemi yang rentan tersebar penyakitnya.
Tetapi anggapan masyarakat mulai dapat diredam dengan solusi bahwa segala sengketa yang berpotensi terjadi selama pilkada akan diselenggarakan secara daring. Hal itu juga merupakan upaya untuk meminimalisir penyebaran virus covid- 19 yang sekarang sedang dihadapi pemerintah.
Menyelenggarakan pemilihan umum untuk melaksanakan tugas kedaulatan negara memang tidak mudah, bahkan ini kali pertama dihadapi oleh Bawaslu Indonesia. Konsekuensi yang harus dihadapi selama persiapan pemilihan umum ialah berkurangnya jumlah pemilih yang datang ke TPS karena kekhawatirannya akan terpapar virus covid-19.
Apapun konsekuensi yang dihadapi Bawaslu untuk menghadapi situasi ini merupakan buah dari upaya memaksimalkan penyelenggaraan pemilu di tengah pandemi. Bawaslu mempunyai itikad baik dalam menyelenggarakan pemilu dengan mengubah budaya organisasi.
Protokol Kesehatan yang menjadi syarat fundamental untuk mencegah tersebarnya virus covid-19 telah ditetapkan menjadi syarat formal dan wajib dilaksanakan dengan ketat. Pelaksanaan protokol Kesehatan membuat Bawaslu lebih ketat dalam mengemban tugasnya. Bukan hanya mencegah penyebaran virus covid-19, tetapi yang menjadi tugas penting yang lain ialah mengutamakan proses pencegahan sebelum kelahiran pelanggaran.
Langkah administratif dibuat seketat mungkin terlebih dahulu untuk meminimalisir potensi pelanggaran yang terjadi. Asumsi hasil dari tindakan ini yaitu meminimalisir adanya sengketa maupun persoalan lain dari kegiatan pemilu yang diselenggarakan oleh negara.
Segala upaya perubahan organisasi dengan mengubah syarat fundamental yaitu budaya organisasi telah terteorisasi (theorized) dengan baik melalui karya Cameron dan Quinn (2011). Salah satu teorinya dalam sebuah empat aspek utama budaya organisasi (four major of culture types) menekankan bahwa kelompok (clan) dapat menggunakan orientasinya melalui nilai kolaboratif dan bersifat kesatuan sekelompok orang.
Aktor utama dalam budaya organisasi ini memiliki kecenderungan ikatan bersama seperti keluarga besar yang memiliki kepentingan, komitmen dan menjunjung tinggi nilai kebiasaan kerja yang maksimal.
Ketergantungan budaya organisasi dengan clan bergantung dengan karakteristik tersebut apakah pantas atau justru menjadi benalu dalam organisasi itu sendiri. Clan dapat dijadikan sebuah stimulus untuk mendegradasi nilai-nilai yang tidak terkoordinir oleh aktor yang tak siap dengan perubahan dalam suatu organisasi.
Keterkaitan keberhasilan clan dalam melaksanakan perubahan budaya organisasi bergantung pada ikatan kerjasama yang kuat antar individu yang memiliki jabatan penting dalam sebuah organisasi. Dalam hal ini misalnya organisasi pemerintahan yang harus turut memberi dukungan untuk meyakinkan masyarakat bahwa pemilu yang diadakan di tengah pandemi tidak akan menimbulkan efek yang signifikan dalam peningkatan paparan virus covid-19.
Upaya ini telah dilakukan dengan menggalang opini pemerintah bahwa pemilu ini hanya dijadikan sebuah ajang untuk menyelamatkan demokrasi sebagai amanat reformasi. Misal hal yang diperlukan adalah sinergisitas antara pemerintah pusat dengan organisasi independen penyelenggara pemilu seperti KPU.
Statement yang dikeluarkan oleh Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Mahfud MD yang menyuarakan bahwa selama protokol Kesehatan dilaksanakan secara ketat, maka penyebaran covid-19 akan dapat diminimalisir, merupakan sebuah supporting system terhadap keberhasilan pemilu yang diadakan oleh negara 2 .
Tetapi dalam sebuah rezim demokrasi, pasti terdapat tantangan dalam melaksanakan sebuah kebijakan. Tantangan tersebut berangkat dari kaum oposisi yang selalu menggunakan dalih virus covid-19 sebagai tameng. Kaum oposan dalam pemerintahan demokrasi memang berfungsi sebagai kontrol pemerintah.
Tetapi dalam upaya pelaksanaan kedaulatan negara melalui pemilu, jika kritik kaum oposisi keluar dari konteks kepemiluan maka akan menimbulkan hal yang kontra produktif. Untuk selanjutnya maka alangkah baik jika kita meninjau pelaksanaan kepemiluan di tengah pandemi menggunakan perspektif hukum melalui undang-undang yang berlaku sebagai legalisasi tindakan pemerintah terhadap pelaksanaan pilkada 2020.
Penegakan Hukum Pemilu (Pemilihan 2020) di Tengah Pandemi
Secara umum tidak ada perubahan regulasi pada pelaksanaan pilkada 2020, namun masuknya regulasi protokol kesehatan yang semula menjadi debatable menjadi salah satu aturan tata cara, mekanisme dan prosedur yang diatur di peraturan KPU dan peraturan Bawaslu (dalam penegakannya). Aturan tersebut menjadi wajib dan dipatuhi oleh, baik peserta, penyelenggara dan masyarakat pemilih.
Selain itu role model kepatuhan akan peraturan protokol kesehatan yang kemudian menjadi peraturan administrasi pemilihan wajib dilakukan oleh penyelenggara yaitu baik Bawaslu dan KPU 4 .
Bawaslu mentransformasikan diri mulai dari bentuk pengawasan, hingga bentuk penanganan pelanggaran dan penyelesaian sengketa proses yang menjadi tanggung jawab Bawaslu yang diatur dalam ketentuan undang – undang kepala daerah. Terlepas dari beberapa daerah yang mengajukan sengketa hasil ke Mahkamah Konstitusi tentu menjadi catata prestasi bagi penyenggara khususnya untuk Bawaslu, dengan waktu yang cukup singkat mentransformasikan diri dan mengaplikasikan regulasi dengan maksimal.
2 https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-55241402
Daftar Pustaka Jurnal
Cameron. S. Kim and Quinn. E Robert. 2011. 3thedition. Diagnosing and Changing
Organizational Culture based on The Competing Values Framework. USA. Addison-
Wesley Publishing Company Inc.
Beer, M. and Nohria, N. (2000) ‘Cracking the code of change’. Harvard Business
Review, Vol. 3.
Sturdy, A. and Grey, C. (2003) ‘Beneath and beyond organizational change
management: exploring alternatives’. Organization Vol. 10 No. 4.
Balogun, J. and Johnson, G. (2004) ‘Organizational restructuring and middle
manager sensemaking’. Academy of Management Journal, Vol. 47, No. 4.
Website
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-55241402
https://bawaslu.go.id/id/berita/pilkada-di-tengah-...
misi-penting
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Budaya Organisasi Badan Pengawas Pemilu dan Pandemi Covid-19 - BANGSAONLINE.COM"
Posting Komentar