JAKARTA, KOMPAS.com - Perdebatan soal pemilu legislatif sistem proporsional daftar calon terbuka dan tertutup kembali menghangat, setelah eks Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana mengaku mendapatkan informasi bahwa majelis hakim konstitusi bakal memutuskan kembalinya sistem proporsional tertutup.
Isu ini semakin relevan diperbincangkan karena sidang pemeriksaan perkara nomor 114/PUU-XX/2022 ini sudah berakhir sejak pekan lalu.
Kemarin, Rabu (31/5/2023), adalah hari terakhir bagi 20 pihak terlibat dalam perkara ini untuk menyerahkan berkas kesimpulan masing-masing kepada Mahkamah Konstitusi (MK).
Selanjutnya tinggal agenda Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) tempat para hakim konstitusi berdebat dan menyampaikan legal opinion masing-masing sebelum menyusun draf putusan.
Baca juga: Ramai-ramai Tolak Pemilu Proporsional Tertutup: SBY Turun Gunung, 8 Fraksi Kekeh Sistem Terbuka
Meski tak ada tenggat waktu untuk itu, namun MK mengeklaim bakal menyusun putusan dengan segera, sebab tahapan Pemilu 2024 khususnya pencalonan anggota legislatif sudah berlangsung.
Nantinya, ini akan jadi kali kedua MK menentukan sistem pemilu legislatif.
Sebelumnya, pada kesempatan pertama 2008 lalu, MK pula yang membuat pemilu legislatif di Indonesia menerapkan sistem proporsional daftar calon terbuka murni, di mana caleg dengan suara terbanyak lah yang berhak melenggang ke parlemen.
Gugatan dari caleg PDI-P dan Demokrat, 2008
Penerapan sistem pileg proporsional terbuka murni ini berangkat dari dua gugatan yang dilayangkan pada rezim Susilo Bambang Yudhoyono, 2008 lalu.
Gugatan itu didaftarkan sebagai perkara nomor 22/PUU-VI/2008 dan 24/PUU-VI/2008, yang pada intinya mempersoalkan peran nomor urut yang terlalu besar dalam menentukan keterpilihan caleg.
Pada perkara nomor 22, penggugat adalah calon legislatif dapil 1 Jawa Timur dari PDI-P, yakni M. Sholeh.
Sementara itu, pada perkara nomor 24, penggugat adalah 2 kader Demokrat yang menjadi caleg dapil VIII Jawa Timur yaitu Sutjipto dan Septi Notariana, serta Jose Dima Satria sebagai pemilih pada Pemilu 2009.
Baca juga: Ada Isu MK Kembalikan Sistem Proporsional Tertutup, SBY: Ingat, Bisa “Chaos” Politik
Salah satu pasal yang jadi fokus gugatan adalah Pasal 214 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu.
Keberadaan pasal ini dinilai tidak menjamin caleg dengan suara terbanyak di dapil itu berhak atas kursi di DPR RI. Saat itu, metode konversi suara menjadi kursi parlemen masih menggunakan bilangan pembagi pemilih (BPP).
Masalahnya, beleid itu mengatur, nomor urut caleg lebih utama dari suara caleg. Adapun caleg harus melampaui 30 persen BPP untuk dapat melenggang.
Ini artinya, terdapat standar ganda dalam sistem proporsional daftar calon terbuka yang diterapkan pada pemilu 2009.
Baca juga: Soal Pernyataan Informasi Putusan MK, Denny Indrayana Bantah Bocorkan Rahasia Negara
Di satu sisi, pemilih dapat mencoblos caleg pilihannya di surat suara. Namun, partai politik tetap berwenang menentukan siapa kadernya di DPR melalui nomor urut. Kewenangan besar partai politik ini merupakan sesuatu yang khas dalam sistem proporsional daftar calon tertutup.
"Upaya pemohon menjadi sia-sia apabila hanya mendapatkan suara 29 persen dari BPP. Sebab jika mengacu pada pasal a quo maka penentuan untuk dapat menjadi anggota legislatif akan dikembalikan pada nomor urut," kata Sholeh dalam permohonannya.
"Begitu juga, jika pemohon mendapatkan suara di atas 30 persen, tetap saja jika di nomor urut lebih kecil yang suaranya 30 persen. Penentuannya dikembalikan pada nomor urut kecil yang mendapatkan suara 30 persen," lanjutnya.
Sholeh cs keberatan karena dengan beleid ini, penentuan caleg bukan lagi murni pilihan rakyat, tetapi besar faktor kesukaan dari petinggi partai politik.
Baca juga: MK Bantah soal Putusan Sistem Pemilu Proporsional Tertutup yang Bocor
Gugatan ini berlangsung di tengah sikap yang berlainan antarpartai politik. Baru partai penguasa saat itu, Demokrat, yang secara resmi mendukung penuh gugatan agar caleg murni terpilih berdasarkan suara terbanyak. Begitu pun Hanura, Golkar, dan PAN.
Pandangan Demokrat juga tercermin dari pandangan SBY selaku presiden, yang disampaikan secara resmi selaku pihak terkait kepada MK.
"Siapapun yang ingin jadi anggota DPR atau DPD, berjuang untuk menyampaikan pandangan-pandangannya, konsep-konsepnya, komitmennya kepada rakyat. Dengan demikian rakyat yakin bahwa yang dipilih berjuang untuk kepentingan mereka dan bukan untuk kepentingan partai semata," kata SBY, dikutip laman setneg.go.id.
Putusan era Mahfud MD
Dalam putusannya, MK yang saat itu diketuai Mohammad Mahfud MD memutus Pasal 214 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 inkonstitusional dan tak berlaku. Permohonan Soleh, Sutjipto, Septi, dan Jose dikabulkan.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim menilai pasal itu inkonstitusional karena "bertentangan dengan makna substantif kedaulatan rakyat" dalam konstitusi.
"Jika ada dua orang calon yang mendapatkan suara yang jauh berbeda secara ekstrem terpaksa calon yang mendapat suara banyak dikalahkan oleh calon yang mendapat suara kecil, karena yang mendapat suara kecil nomor urutnya lebih kecil," tulis Mahfud dkk dalam pertimbangan putusannya.
Mereka menyinggung, dalam pemilu presiden, kandidat yang menang adalah mereka yang meraup suara terbanyak, dan tak ada peran nomor urut di situ.
"Dengan kata lain, setiap pemilihan tidak lagi menggunakan standar ganda, yaitu menggunakan nomor urut dan perolehan suara masing-masing caleg. Memberlakukan ketentuan yang memberikan hak kepada calon terpilih berdasarkan nomor urut, berarti memasung hak suara rakyat untuk memilih sesuai dengan pilihannya," lanjut mereka.
Putusan ini membuat pemilu legislatif pada tahun 2009 menggunakan sistem proporsional daftar calon terbuka secara murni.
Artinya, caleg yang terpilih sebagai anggota DPR RI, maupun anggota DPRD, memang berdasarkan jumlah suara. Nomor urut tak lagi punya peran sentral.
Bukan ranah MK?
Pada kesempatan pertama, yang dilakukan MK dalam cawe-cawe urusan sistem pemilu legislatif memang tak terlalu besar.
Secara umum, MK tak mengubah sistem proporsional daftar calon terbuka. Namun, MK tetap membuat perubahan berarti dalam sistem tersebut, dengan mengubah mekanisme penentuan caleg yang berhak mendapatkan kursi Dewan.
Pada 2024, kekhawatiran menyeruak seandainya intervensi MK jauh melebihi preseden 2008. Jika apa yang disampaikan Denny benar, bahwa MK akan menyatakan inkonstitusional pasal berkaitan dengan sistem proporsional terbuka, maka akan ada masalah ketatanegaraan yang timbul dan berdampak panjang.
Baca juga: Posisi MK yang Kian Terkunci untuk Tolak Proporsional Tertutup
"Sistem pemilu itu adalah pilihan politik dengan mempertimbangkan misalnya konfigurasi politik di Indonesia, mempertimbangkan sosiokultural yang ada dan lain sebagainya," kata peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Kahfi Adlan Hafiz, Rabu.
Ia menambahkan, UUD 1945 tidak menentukan secara eksplisit sistem pemilu yang harus digunakan Indonesia.
Ia menganggap, hal itu berarti konstitusi memberi keleluasaan kepada pembentuk undang-undang untuk menentukan sistem pemilu yang paling sesuai dengan kondisi aktual bangsa.
Jika MK menentukan bahwa pemilu sistem proporsional terbuka inkonstitusional, dan menetapkan sistem pemilu tertentu yang konstitusional, maka dikhawatirkan sistem-sistem lain tak bisa digunakan di masa depan.
"Mungkin sekarang sistem pemilu yang lebih relevan adalah sistem proporsional. Tetapi, di masa depan nanti bisa jadi yang lebih relevan adalah sistem campuran atau sistem mayoritas," ujar Kahfi memberi contoh.
"Ketika MK memutuskan satu sistem yang konstitusional, maka tidak ada ruang evaluasi sistem di masa depan," ujarnya.
Kahfi berujar, dalam naskah kesimpulan yang diserahkan ke MK, Perludem menyebut bahwa "akan sangat berbahaya ketika sistem pemilu itu diputuskan oleh MK".
Perludem disebut meminta MK menolak gugatan ini. Seandainya memang pemilu sistem proporsional terbuka perlu dievaluasi, maka proses itu dilakukan di DPR RI melalui mekanisme open legal policy alih-alih ditentukan oleh MK.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel. Baca Lagi Aje https://news.google.com/rss/articles/CBMicmh0dHBzOi8vbmFzaW9uYWwua29tcGFzLmNvbS9yZWFkLzIwMjMvMDYvMDEvMDgwMzIwNTEvcG9sZW1pay1zaXN0ZW0tcGVtaWx1LW1rLXlhbmctbWVtdWxhaS1tay1wdWxhLXlhbmctbWVuZ2FraGlyadIBdmh0dHBzOi8vYW1wLmtvbXBhcy5jb20vbmFzaW9uYWwvcmVhZC8yMDIzLzA2LzAxLzA4MDMyMDUxL3BvbGVtaWstc2lzdGVtLXBlbWlsdS1tay15YW5nLW1lbXVsYWktbWstcHVsYS15YW5nLW1lbmdha2hpcmk?oc=5Bagikan Berita Ini
0 Response to "Polemik Sistem Pemilu: MK yang Memulai, MK Pula yang Mengakhiri? - Kompas.com - Nasional Kompas.com"
Posting Komentar