Search

Alasan Muhammadiyah Usulkan Pemilu Legislatif Kembali ke Sistem Proporsional Tertutup - muhammadiyah

MUHAMMADIYAH.OR.ID, JAKARTA – Keberhasilan Persyarikatan Muhammadiyah menjaga tradisi Muktamar yang demokratis dan penuh keteladanan pada 18-20 November 2022 di Solo diikuti dengan keluarnya Tanfidz Keputusan Muktamar Ke-48 Muhammadiyah Tahun 2022.

Sebagai ketetapan yang harus dilaksanakan dan dipedomani Muhammadiyah dalam mengambil kebijakan di tingkat Pusat, Wilayah, Daerah, Cabang, dan Ranting, Tanfidz juga memuat isu-Isu Strategis Keumatan, Kebangsaan, dan Kemanusiaan Universal.

19 isu strategis yang ada muncul dari berbagai seminar pra Muktamar yang digelar secara akademik oleh berbagai ahli di bidangnya di berbagai Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah.

Pada isu strategis kebangsaan, Muhammadiyah menyinggung dua hal terkait pesta politik yang sesuai jadwal akan dilaksanakan pada 14 Februari 2024. Dua isu itu adalah Reformasi Sistem Pemilu dan Suksesi Kepemimpinan 2024.

Dua Macam Sistem Pemilu di Indonesia

Sepanjang sejarah Republik Indonesia, sistem pemilu yang digunakan hanya ada dua sistem, yakni Proporsional Tertutup dan Proporsional Terbuka.

Proporsional Tertutup diterapkan dalam Pemilu 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, dan 1999. Sedangkan Proporsional terbuka diterapkan pasca Reformasi 1998, yakni pada pemilu 2004, 2009, 2014, dan 2019.

Terkait teknis, sistem Proporsional Tertutup membuat pemilih hanya bisa memilih partai politik. Pemilih tidak bisa mengetahui dan tidak bisa memilih secara langsung calon anggota legislatif (Caleg) terpilih yang bakal menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Caleg terpilih adalah yang diajukan partai politik dan disusun berdasarkan nomor urut. Nomor urut itulah yang akan terpilih menjadi wakil rakyat. Banyak pihak mengkritik sistem ini dengan istilah ‘membeli kucing dalam karung’.

Berbeda dengan sistem Proporsional Tertutup, sistem Proporsional Terbuka berlaku sebaliknya. Pemilih bisa memilih langsung Caleg yang akan mewakili mereka di DPR dan DPRD.

Kritik Muhammadiyah Terhadap Sistem Pemilu Terbuka

Meskipun Proporsional Terbuka secara teori nampak lebih menjanjikan bagi alam demokrasi karena meningkatkan partisipasi pemilih, Muhammadiyah memberi catatan penting dari praktek yang sudah berjalan sekian tahun. Secara khusus, kritikan ini diberikan pada Pemilu Legislatif.

Menurut Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti, pada prakteknya sistem Proporsional Terbuka justru melahirkan iklim demokrasi yang pragmatis dan tidak sehat karena meningkatnya politik uang, jegal menjegal antar calon, hingga penggunaan politik identitas dengan sentimen primordial berbau SARA dari masing-masing kontestan yang berakibat polarisasi masyarakat seperti terjadi pada satu dekade terakhir.

Selain itu, caleg terpilih dari sistem ini kata dia seringkali berdasarkan popularitas semata, dan bukan karena asas meritokrasi, kapabilitas dan profesionalisme sehingga pada akhirnya, kepentingan rakyat banyak yang dikorbankan.

Dalam dua isu strategis Muktamar Muhammadiyah ke-48 di atas, Muhammadiyah menganjurkan agar sistem Proporsional Terbuka dalam pemilu legislatif perlu diubah. Pemilihan presiden, gubernur, bupati, dan wali kota secara langsung tidak perlu diubah.

Usulan terkait sistem Proporsional Tertutup untuk pemilihan legislatif ini menurutnya juga telah disampaikan Muhammadiyah sejak Tanwir Muhammadiyah 2014 di Samarinda.

Meski mengusulkan hanya pemilu legislatif saja yang diubah, namun Muhammadiyah menganjurkan adanya pembenahan mekanisme pemilihan presiden, gubernur, bupati, dan wali kota yang lebih efisien dan efektif.

Misalnya melalui sistem pemilu tertutup atau terbuka terbatas serta pemilihan eksekutif terintegrasi untuk meniadakan politik uang, ekses politik identitas, dan pembelahan masyarakat atau polarisasi politik.

Muhammadiyah juga mengkritik pemilihan presiden dan wakil presiden kerap memicu polarisasi apabila kompetitornya hanya dua pasangan kandidat sehingga kompetisi pemilu didorong lebih meminimalisasi dampak polarisasi dan politisasi identitas yang tidak produktif bagi penguatan bangunan kebangsaan. Dukungan pada partisipasi aktif partai politik untuk memproyeksikan kader terbaik bangsa berlaga secara sportif dan bermartabat.

Mengubah Pemilihan Legislatif ke Sistem Proporsional Tertutup Bukan Kemunduran Demokrasi

Dalam wawancara di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Selasa (3/1) lalu, Abdul Mu’ti yang juga Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah ini mеnjеlаѕkаn bаhwа mengubah sistem pemilihan legislatif ke Proporsional Tertutup аtаu Tеrbukа Tеrbаtаѕ bukanlah kemunduran demokrasi.

Sebab, sistem ini kata dia justru bіѕа mеngurаngі kаnіbаlіѕmе роlіtіk аtаu ѕаlіng jеgаl аntаrсаlоn sekaligus mеrеdаm nаfѕu kаmраnуе hіtаm. Termasuk mеnutuр rараt-rараt tіmbulnуа fеnоmеnа реmіlіhаn саlеg bеrdаѕаrkаn рорulаrіtаѕ dan bukаn kараbіlіtаѕ.

Sementara itu, kekhawatiran bahwa sistem Proporsional Tertutup menjadi kemunduran demokrasi karena banyaknya suara yang hilang kata dia juga tidak beralasan.

“Mohon maaf ya, dengan sistem Proporsional Terbuka seperti sekarang juga banyak suara rakyat yang hilang. Misalnya partai yang tidak lolos ke Senayan itu kan semua suaranya hilang karena dia tidak ada wakil di situ. Padahal rakyat itu memilih partai itu, memilih caleg partai itu. Apakah ini juga tidak dianggap sebagai suatu bentuk di mana aspirasi masyarakat tidak tidak tertampung karena partainya tidak lolos dan calonnya juga tidak bisa lolos karena threshold yang ditentukan,” jawabnya.

Maju atau mundurnya demokrasi menurut Mu’ti bukan mutlak berasal dari sistem yang dipakai, melainkan berasal dari kualitas proses penyelenggaraannya.

“Kualitas demokrasi itu menurut saya ditentukan dari bagaimana penyelenggaraan pemilu yang berlangsung dengan baik, nilai-nilai demokrasi terutama meritokrasi, keterbukaan, dan kemudian bagaimana rakyat bisa menyampaikan hak pilihnya secara merdeka dan cerdas dengan melihat program, bukan hanya seperti yang sekarang ini menjadi slogan, “siapa yang berani membayar berapa”, tapi rakyat harus mulai bergerak ke arah bagaimana pemilu ini dapat berkualitas dengan perangkat-perangkat demokrasi, perangkat sistem dengan nilai dan budaya demokrasi yang berlangsung dengan baik. Jadi kami menilai demokrasi dengan ukuran substansif, bukan ukuran prosedural,” tegasnya.

Muhammadiyah Tegaskan Lawan Oligarki dan Ajak Politisi Menjadi Negarawan

Lebih lanjut dalam dua isu strategis yang ada, Muhammadiyah berharap pemilu lima tahunan tidak menjadi ajang melipatgandakan oligarki dan nafsu haus kekuasaan. Muhammadiyah berharap pemilu menjadi ajang persatuan dan melipatgandakan politik yang berorientasi pada kerja, pengkhidmatan, dan politik harapan (politics of hopes).

Di samping itu, Muhammadiyah mendorong pemimpin eksekutif dan legislatif memiliki orientasi pada nilai Pancasila, agama, dan kepribadian bangsa yang mendalam dan autentik untuk memperjuangkan nasib rakyat yang mayoritas masih jauh dari hidup adil, makmur, sejahtera, dan maju. Bukan justru hanya mengejar popularitas dan mengutamakan kepentingan diri, kroni, dinasti, dan kepentingan sesaat lainnya.

Para pemimpin yang dihasilkan oleh Pemilu 2024 juga diharapkan memiliki prinsip politik untuk melepaskan dan tidak untuk melanggengkan kekuasaan. Solusi hilir yang bersifat kesadaran nilai dan moral politik akan membawa perubahan signifikan apabila diperkuat dengan reformasi sistem pemilu sebagai solusi hulu.

Proses dan produk legislasi perundang-undangan maupun peraturan pemerintahan hingga ke kementerian juga diharapkan Muhammadiyah agar tidak bersifat oligarkis, monolitik, dan tertutup pada aspirasi publik sehingga bertentangan dengan asas dan substansi demokrasi.

Kesadaran inilah yang ditegaskan sebagai pesan kebangsaan oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir kala menjamu Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia, Selasa (3/1).

“Berbagai proses administrasi, persiapan dan sebagainya yang indikator ini sudah memastikan tentang pemilu dimulai, maka kami berharap ada kesadaran kolektif, kesadaran politik bersama bahwa pemilu adalah ajang untuk membangun persatuan bangsa, membangun kemajuan dan pemilu harus menjadi titik di mana kita berdemokrasi itu betul-betul bukan hanya memperebutkan kursi. Tetapi ada hikmah kebijaksanaan. Siapapun nanti yang menang dan menduduki posisi di pemerintahan dan legislatif, itu amanat terbesar dan terberat, bukan sesuatu yang harus dirayakan dengan pesta pora, tetapi sebagai tanggung jawab yang luhur tapi berat,” ingat Haedar.

Hits: 197

Adblock test (Why?)

Baca Lagi Aje https://news.google.com/__i/rss/rd/articles/CBMicWh0dHBzOi8vbXVoYW1tYWRpeWFoLm9yLmlkL2FsYXNhbi1tdWhhbW1hZGl5YWgtdXN1bGthbi1wZW1pbHUtbGVnaXNsYXRpZi1rZW1iYWxpLWtlLXNpc3RlbS1wcm9wb3JzaW9uYWwtdGVydHV0dXAv0gEA?oc=5

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Alasan Muhammadiyah Usulkan Pemilu Legislatif Kembali ke Sistem Proporsional Tertutup - muhammadiyah"

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.