Oleh: Kholilur Rahman SH MH, Dosen Hukum Pidana FH UNTAG Semarang
BANJARMASINPOST.CO.ID - DUA tahun lagi Indonesia akan merayakan Pemilihan Umum (Pemilu) secara serentak. Pemilu ini akan diselenggarakan pada tahun 2024 mendatang, tentunya tidak lain merupakan sarana kedaulatan rakyat untuk memilih Presiden, Wakil Presiden, anggota DPR/DPRD dan selanjutnya Kepala Daerah. Pelaksanaan Pemilu ini layaknya sebuah perayaan pesta akbar atau hajatan akbar bagi rakyat Indonesia yang mungkin dalam pelaksanaannya nanti menjadi sebuah proses yang begitu rumit dan penuh dinamika.
Menjelang perayaan hajatan akbar (Pemilu 2024) tersebut, sebagai upaya menjamin serangkaian pelaksanaan Pemilu yang regular, free, and fair election tentu membutuhkan perlindungan bagi seluruh subjek yang terlibat dalam pemilihan umum, baik dari segala serangkaian kekuatan, penyelundupan, penipuan, maupun praktek-praktek curang lainnya yang dikhawatirkan akan mempengaruhi kemurnian hasil pemilihan umum (Santoso, 2013). Dalam konteks inilah secara yuridis dibutuhkan ketentuan atau aturan yang jelas, tegas, dan rigid demi terwujudnya kepastian hukum terhadap segala jenis pelanggaran dalam pelaksanaan Pemilu nantinya.
Pelaksanaan Pemilu 2024 mendatang mungkin akan mirip dengan Pemilu 2019, hal ini disebabkan karena hingga saat ini UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) sebagai payung hukum dalam pelaksanaan Pemilu tidak kunjung direvisi. Dalam konteks ini, tentunya perlu merefleksi kembali apa yang telah terjadi di Pemilu 2019 lalu, salah satu pelajaran terpentingnya adalah tentang meningkatnya jumlah kasus tindak pidana pemilu. Dilansir dari Artikel pada hukumonline.com, (08/10/2019), bahwa Pemilu serentak 2019 meningkat tajam yakni 58,3 persen jika dibandingkan dengan Pemilu 2014, data ini disampaikan oleh Direktur Eksekutif ILR, Firmansyah Arifin dalam diskusi di Jakarta (07/10/2019) yakni “Tercatat bahwa pada pelaksanaan Pemilu 2019, terdapat 348 kasus Pidana Pemilu yang telah divonis di 150 Pengadilan Negeri dan 28 di Pengadilan Tinggi.”
Ternyata, upaya penanganan masalah pidana Pemilu sudah menjadi isu sejak lama di berbagai negara seperti Inggris sejak tahun 1993 dan di India sejak tahun 1919 (Santoso, 2009: 2). Sedangkan di Indonesia masalah pidana Pemilu dan penegakannya telah dimulai sejak tahun 1955, hingga saat ini masih menjadi isu menarik untuk dibahas.
Secara substantif, UU Pemilu secara keseluruhan berisi 317 Pasal, yang didalamnya tidak hanya mengatur ketentuan yang bersifat administratif tetapi juga terdapat ketentuan yang memberikan ancaman sanksi pidana. Terdapat 77 tindak pidana Pemilu yang diatur di 66 Pasal ketentuan pidana di dalam UU Pemilu, jumlah ini meningkat dibandingkan undang-undang terdahulu yang telah dicabut yaitu UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Menilik ketentuan pidana dalam UU Pemilu secara mendalam, akan tampak terlihat berbagai problematika hukum dalam pengaturannya. Pertama, perihal karakteristik pidana Pemilu dan kedua munculnya kompleksitas atau kerumitan dalam menentukan klasifikasi delik, antara Pelanggaran dan Kejahatan dalam UU Pemilu.
Karakter Pidana Pemilu
UU Pemilu sebagai ketentuan lex specialis dari KUHP yang pada substansinya juga mengatur ketentuan mengenai tindak pidana Pemilu (delik Pemilu), tidak menyebutkan sama sekali dan/atau tidak memberikan definisi yang rigid terhadap apa yang dimaksud dengan tindak pidana Pemilu. Beberapa ahli mengartikan tindak pidana Pemilu sebagai Pelanggaran atau tindak pidana yang berkaitan dengan penyelenggaraan Pemilu.
Sebagaimana ditulis oleh Penulis pada jurnal tentang “Karakteristik Tindak Pidana Pemilu dan Opsi Pembagiannya”, menyebutkan bahwa pada hakikatnya tindak pidana Pemilu merupakan tindak pidana yang berkarakter administratif (administrative penal law) karena di dalamnya memberikan ancaman nestapa atau sanksi pidana melalui aturan-aturan (regeling) yang bersifat administratif. Salah satu karakteristik pidana administrasi adalah berpedoman pada asas ultimum remedium (dikenal juga dengan asas subsidiaritas atau ultima ratio principle) yakni mengatur ketentuan dengan menggunakan ancaman sanksi pidana sebagai alternatif terakhir setelah mengutamakan sanksi administrasi.
Sedangkan dalam UU Pemilu, tidak terdapat satupun ketentuan yang mencerminkan asas ultimum remedium, sekalipun di dalamnya juga terdapat ancaman sanksi administrasi dan sanksi pidana. Sebab dalam ketentuan UU Pemilu tersebut hanya sebatas membedakan antara Pelanggaran administrasi Pemilu dengan tindak pidana Pemilu, sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Pasal 460 ayat (1) UU Pemilu. Sehingga sanksi administrasi tersebut bukanlah sanksi utama sebelum menjatuhkan sanksi pidana.
Oleh karena UU Pemilu membagi secara tegas antara pelanggaran administrasi dengan tindak pidana Pemilu. Maka dapat dikatakan bahwa ketentuan Pidana Pemilu dalam Pasal 488 sampai dengan Pasal 554 UU Pemilu, yang terbagi dari 77 delik Pemilu di dalam 66 Pasal ketentuan pidana, secara konsep mencerminkan asas primum remedium, karena didalamnya tidak ada satupun ketentuan yang yang bersifat subsidiaritas atau tidak ada alternatif sanksi lain sebelum menjatuhkan sanksi pidana.
Klasterisasi Delik
Sebagai ketentuan yang bersifat administrative penal law, bagian yang terpenting yakni adalah perihal bagaimana UU Pemilu mengatur ketentuan-ketentuan delik yang tergolong sebagai tindak pidana Pemilu. Selain problem karakteristik tindak pidana Pemilu sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa problem berikutnya yaitu klasterisasi delik yang tidak dibagi dan/atau dibedakan secara tegas. Sehingga timbul adanya kompleksitas atau kerumitan dalam menentukan mana yang dikategorikan sebagai delik Kejahatan (recht delicten) dan mana delik Pelanggaran (wets delicten).
Menurut hemat penulis, klasterisasi atau pembagian delik dalam tindak pidana Pemilu sangatlah diperlukan guna mengetahui sifat-sifat delik dalam UU Pemilu. Sebagai langkah logis dalam menghadapi Pemilu 2024 yang efisien dalam penegakan hukumnya, maka revisi UU Pemilu dibutuhkan. Pertama, mengatur ketentuan delik bersifat ultimum remedium yaitu dengan menggunakan ancaman sanksi pidana sebagai alternatif terakhir setelah mengutamakan sanksi administrasi. Kedua, perlu juga diaturnya klasterisasi tindak pidana Pemilu berdasarkan ukuran-ukuran tertentu, agar dalam penegakannya tidak disamaratakan antar delik-delik pidana yang pada prinsipnya berbeda, sehingga nantinya dapat diketahui dengan jelas mana yang harus menganut prinsip ultimum remedium dan mana yang sebenarnya menganut prinsip primum remedium. (*)
Baca Lagi Aje https://banjarmasin.tribunnews.com/2022/10/18/menilik-ketentuan-pidana-dalam-uu-pemiluBagikan Berita Ini
0 Response to "Menilik Ketentuan Pidana dalam UU Pemilu - Banjarmasin Post"
Posting Komentar