KOMPAS.com - Wacana penundaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 dan perpanjangan masa jabatan presiden semakin nyaring terdengar.
Setelah tiga pemimpin partai secara terang-terangan mendukung gagasan itu, pernyataan terbaru Presiden Joko Widodo pun dinilai tidak tegas dan semakin melunak.
Meski menyatakan kepatuhannya pada konstitusi dan Undang-Undang Dasar 1945, Jokowi menyebut gagasan penundaan pemilu tidak bisa dilarang karena bagian dari demokrasi.
"Siapa pun boleh-boleh saja mengusulkan wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden, menteri atau partai politik, karena ini kan demokrasi. Bebas aja berpendapat. Tetapi, kalau sudah pada pelaksanaan semuanya harus tunduk dan taat pada konstitusi," kata Jokowi awal bulan ini.
Baca juga: Soal Wacana Penundaan Pemilu 2024, Pengamat: Kepentingan Oligarki
Tak hanya di kalangan elit, gagasan penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan ini juga mulai terdengar di kalangan masyarakat.
Pakar hukum tata negara dari STIH Jentera Bivitri Susanti menilai, gagasan penundaan pemilu harus ditolak karena berbagai alasan.
Merusak demokrasi
Menurut Bivitri, penundaan pemilu akan merusak pelaksanaan proses demokrasi yang sehat di Indonesia.
Sebab menurutnya, salah satu syarat demokrasi yang baik adalah pemilu yang rutin.
"Kenapa pemilu rutin penting bagi demokrasi? Karena kita membutuhkan yang namanya sirkulasi elit. Kita membutuhkan pergantian kekuasaan yang sifatnya rutin, supaya demokrasi kita terus sehat," kata Bivitri kepada Kompas.com, Selasa (15/3/2022).
"Jadi sekali saja ditunda, maka bangunan demokrasi kita akan goyah dan kemudian runtuh," sambungnya.
Hal ini bukan tanpa alasan. Bivitri mengemukakan pengalaman masa lalu di Indonesia yang beberapa kali pernah menunda pelaksanaan pemilu.
Misalnya, pemilu yang seharusnya digelar pada 1959, ditunda oleh Presiden Soekarno dengan alasan keamanan.
Sejarah penundaan pemilu
Kemudian, penundaan pemilu juga dilakukan pada 1968 oleh Presiden Soeharto. Diyakini, penundaan ini dilatarbelakangi oleh basis pendukung Soekarno yang masih kuat.
Pemilu selanjutnya baru digelar pada 1971, dengan peserta pemilu yang semakin sedikit.
"Jadi kalau kita baca sejarah, pemilu pertama itu 1955, pemilu kedua itu baru 1971. Setelah itu 1976 harusnya pemilu, tapi baru terjadi 1977," jelas dia.
"Itu salah satu akibatnya adalah peserta pemilu yang tadinya banyak sekali pada 1955, tahun 1971 oleh Soeharto dibikin jadi 10, kemudian tahun 1977 hanya punya tiga peserta pemilu," lanjutnya.
Bagi Bivitri, sejarah telah menunjukkan bahwa penundaan pemilu mengindikasikan adanya perusakan demokrasi.
Baca juga: Sikap Berbagai Partai terhadap Wacana Penundaan Pemilu 2024
Inkonstitusional
Selanjutnya Bivitri memaparkan, konstitusi sudah menuliskan secara gamblang mengenai rutinitas pemilu dalam UUD Pasal 22E.
Dalam pasal itu, disebutkan bahwa pemilu presiden dan wakil presiden, anggota DPR RI, DPD, serta DPRD provinsi dan kabupaten/kota dilaksanakan lima tahun sekali.
"Artinya, kalau ada penundaan pemilu, harus ada amandemen yang sifatnya politis, misalnya melalui KPU. Tapi, apa pun jalannya, ini sebenarnya inkonstitusional," ujarnya.
Jika penundaan pemilu benar-benar terjadi, jelas dia, ini akan memberikan kepercayaan diri kepada penguasa bahwa mereka bisa melakukan apa pun yang mereka inginkan.
Dengan kepercayaan itu, anggapan mereka adalah rakyat sipil tak mungkin untuk mengatakan tidak.
Karenanya, Bivitri meminta agar masyarakat tidak diam dan menolak dengan tegas wacana penundaan pemilu tersebut.
"Saya kira harus diberi pelajaran juga para elit itu, bahwa namanya demokrasi, kedaulatan itu di tangan rakyat, tidak bisa main-main," kata dia.
"Bahkan ketika suatu rencana yang sesungguhnya inkonstitusional, malah konstitusinya yang mau diubah. Jadi kita harus keras menyuarakannya," tambahnya.
Baca juga: PSHK: Alasan Darurat Tak Serta-merta Bisa Jadi Alasan Tunda Pemilu
Pembodohan publik
Terakhir, Bivitri menyebut semua alasan yang dikemukakan oleh para penguasa terkait penundaan pemilu, semuanya tidak masuk akal.
Beberapa alasan yang muncul adalah pemulihan ekonomi pasca-pandemi, bersamaan dengan pemindahan ibu kota negara, dan adanya konflik Rusia-Ukraina.
"Kita harus menyuarakan, bahwa warga masih punya akal sehat, semua alasan yang dikemukakan oleh penguasa itu sebenarnya tidak masuk akal," tuturnya.
"Kalau kita diam saja, kita dirusak akal sehatnya. Jika tidak ada perlawanan, maka seterusnya cara untuk melakukan pembodohan publik ini akan terus dilakukan. Jadi penolakan kita harus kuat," jelasnya.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel. Baca Lagi Aje https://www.kompas.com/tren/read/2022/03/16/113000965/3-alasan-mengapa-kita-harus-menolak-wacana-penundaan-pemilu-2024?page=allBagikan Berita Ini
0 Response to "3 Alasan Mengapa Kita Harus Menolak Wacana Penundaan Pemilu 2024 - Kompas.com - KOMPAS.com"
Posting Komentar