Search

Ambang Batas Presiden dan Kesetaraan dalam Pemilu - kompas.id

Memuat data...

Kompas/Hendra A Setyawan

Mural tujuh presiden Republik Indonesia tergambar secara kartunal di sebuah dinding di kawasan Pisangan, Tangerang Selatan, Banten, Minggu (14/11/2021). Kompas/Hendra A Setyawan

Di penghujung akhir tahun 2021, ambang batas pemilihan presiden kembali dipertanyakan. Aturan syarat minimal perolehan kursi Dewan Perwakilan Rakyat dinilai melahirkan perlakuan yang berbeda terhadap partai politik sebagai peserta pemilu. Padahal, kesetaraan adalah aspek yang harus diwujudkan dalam pemilihan umum.

Munculnya pertanyaan terhadap ambang batas pemilihan presiden ini seiring dengan kembali diajukannya permohonan uji materi, terutama terhadap Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum.

Pasal tersebut mengacu soal pencalonan presiden dan wakil presiden, terutama terkait syarat kepemilikan minimal 20 persen kursi Dewan Perwakilan Rakyat atau perolehan paling sedikit 25 persen suara sah nasional pada pemilu sebelumnya bagi partai politik atau gabungan partai politik yang berhak mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Sejumlah pihak yang mengajukan uji materi berpandangan, Pasal 222 tersebut bertentangan dengan Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945. Pasal ini dinilai mengakibatkan pemilih kehilangan hak konstitusional untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya calon pemimpin.

https://assetd.kompas.id/4X3vIL35jYTHQryA9oLLX_JougQ=/1024x3781/https://kompas.id/wp-content/uploads/2021/12/20211226-HKT-Putusan-MK-mumed-01_1640531957.jpg

Selain itu, ketentuan syarat ambang batas pemilihan presiden ini juga berpotensi mendegradasi salah satu fungsi partai politik, yaitu menyediakan dan menyeleksi calon pemimpin masa depan.

Isu penolakan ambang batas pemilihan presiden ini memang bukan hal baru. Sebelumnya tercatat sudah ada 13 putusan Mahkamah Konstitusi yang berkaitan dengan isu ambang batas pemilihan presiden ini dan semuanya gagal menghasilkan putusan yang diharapkan pemohon uji materi, yakni penghapusan syarat minimal perolehan kursi maupun suara pemilu.

Dari 13 permohonan yang diputuskan, 8 diantaranya diputuskan tidak dapat diterima, 4 ditolak, dan 1 permohonan dikabulkan sebagian, itu pun bukan terkait langsung dengan ambang batas pemilihan presiden, namun terkait ketentuan soal verifikasi partai politik.

Rekam jejak 13 permohonan uji materi di atas ternyata belum menyurutkan niat untuk menghapus ambang batas pemilihan presiden. Di penghujung tahun 2021 ini sudah ada tiga permohonan uji materi masuk ke Mahkamah Konstitusi.

Memuat data...

Kompas/Hendra A Setyawan

Baliho bergambar para politisi yang berniat maju dalam suksesi kepemimpinan di Tanah Air mulai banyak dipasang di sudut-sudut Ibu Kota, Rabu (11/8/2021). Selain media sosial, media luar ruang masih menjadi favorit politisi untuk mempromosikan dirinya pada masyarakat untuk kepentingan politik pada pemilihan presiden dan wakil presiden tahun 2024. Kompas/HEndra A Setyawan

Permohonan pertama diajukan oleh Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Ferry Joko Juliantono pada 7 Desember, disusul kemudian permohonan dari anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Bustami Zainudin dan Fachrul Razi, yang didaftarkan pada 10 Desember. Terakhir, mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo juga mengajukan hal yang sama pada 13 Desember lalu.

Baca juga : Ambang Batas Pencalonan Presiden yang Moderat Dibutuhkan

Kesetaraan

Selain mengancam eksistensi partai politik dalam mengajukan dan melahirkan calon-calon pemimpin masa depan, pembatasan pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden juga cenderung mengabaikan prinsip keadilan dalam pemilihan umum (election fairness).

Salah satu aspek keadilan tersebut adalah memperlakukan sama kepada semua peserta pemilihan umum, dalam hal ini adalah partai politik.

Peneliti lembaga riset Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif, Muhammad Ihsan Maulana, menyebutkan, adanya aturan ambang batas pemilihan presiden membuat aspek keadilan dalam pemilu terabaikan.

https://assetd.kompas.id/87kqkOVPb0B6dHzhjaJh2WGDIjk=/1024x575/https://kompas.id/wp-content/uploads/2021/11/20211128-OPINI-Pemilu-2024-dan-Hak-Hak-Politik-Perempuan-Cover_1638102289.jpg

Salah satunya terbukti dengan munculnya tiga kategori partai politik sebagai peserta pemilu. Ketiganya adalah, pertama, partai politik peserta pemilu 2019 yang meraih suara dan kursi DPR.

Kedua, partai politik peserta pemilu 2019 yang meraih suara tapi gagal mendapatkan kursi DPR, dan ketiga, partai politik baru. “ambang batas pemilihan presiden melahirkan tiga penyebutan partai politik dan ini mengabaikan aspek keadilan.”ujar Ihsan.

Dengan lahirnya tiga penyebutan di atas, penyelenggara pemilu, dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum, pada akhirnya akan memperlakukan berbeda terhadap ketiga kategori partai politik di atas pada Pemilu 2024 nanti, seperti halnya yang sudah dilakukan di Pemilu 2019 lalu.

Bagi partai politik peserta Pemilu 2019 yang meraih kursi DPR, mereka berhak mengusung pasangan calon presiden dan logo partainya berhak ditampilkan dalam surat suara pemilihan presiden sebagai partai politik pengusung.

https://assetd.kompas.id/BUIuG-ADLiU4KEFG4d8ayQmzo2M=/1024x813/https://kompas.id/wp-content/uploads/2021/11/20211115-TCJ-Ambang-Batas-Pemilihan-Presiden-mumed_1636965797.png

Kemudian bagi partai politik peserta Pemilu 2019 yang tidak memiliki kursi DPR (hanya mendapatkan suara) tidak berhak dicantumkan logo partainya di surat suara pemilihan presiden. Mereka hanya boleh menjadi partai politik pendukung dari pasangan calon presiden yang diusung oleh partai politik peraih kursi DPR.

Isu pencantuman logo partai di surat suara pemilihan presiden ini tentu memberikan efek elektoral bagi partai politik yang logo partainya dicantumkan. Efek ekor jas (coattail effect) tentu diharapkan terjadi ketika partai politik disebutkan dalam surat suara tersebut.

Peluang ini tidak didapatkan oleh partai politik yang logonya tidak tercantum dalam surat suara, meskipun partainya satu barisan dengan pasangan calon presiden tertentu.

Senasib dengan partai politik peserta Pemilu 2019 yang hanya menjadi pendukung di pemilihan presiden, partai politik baru pun juga hanya berhak menjadi pendukung.

Pembatasan pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden juga cenderung mengabaikan prinsip keadilan dalam pemilihan umum (election fairness).

Otomatis kerja-kerja elektoral bagi partai politik baru lebih berat lagi karena mereka dihadapkan pada upaya menaikkan popularitas partai hanya bertumpu pada diri mereka sendiri.

Tentu, dengan hanya menjadi pendukung di pemilihan presiden, mereka tidak bisa banyak berharap mendapat limpahan suara dari pemilihan presiden.

Baca juga : Presidential Threshold : Ambang Batas Pencalonan Presiden

Banyak capres

Selain cenderung mengabaikan kesetaraan di pemilu, ambang batas pemilihan presiden juga melahirkan pembatasan jumlah pasangan calon presiden. Saat ambang batas pemilihan presiden pertama kali diterapkan di Pemilu 2004 dengan ketentuan 15 persen kursi DPR atau 20 persen suara nasional, jumlah pasangan calon presiden bisa mencapai 5 pasangan.

Namun setelah dinaikkan menjadi 20 persen kursi DPR dan 25 persen suara nasional, jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden di Pemilu 2009 hanya melahirkan tiga pasangan calon. Bahkan, di dua pemilu berikutnya, yakni 2014 dan 2019 hanya ada dua pasangan calon, itupun sosok calon presidennya sama.

Padahal, ada kecenderungan publik yang berharap lebih banyak muncul pasangan calon presiden dan wakil presiden di pemilu mendatang.

https://assetd.kompas.id/kFEaPXFvMfs47zZcRLhC7gDCz6g=/1024x685/https://kompas.id/wp-content/uploads/2021/11/20211115-TCJ-Isu-Krusial-Pemilihan-Presiden-mumed_1636965794.png

Hasil jajak pendapat Kompas 20-22 Desember pekan lalu merekam bagian terbesar responden (44,9 persen) tetap ingin syarat perolehan kursi 20 persen seperti saat ini, sementara 13,2 persen ingin diturunkan proporsinya.

Namun yang ingin syarat perolehan suara dalam pencalonan Presiden dihapuskan juga cukup berimbang mencapai 36,7 persen.

Bagaimanapun hal ini menjadi potret isu ambang batas parlemen memang sebatas isu elite, belum terlalu dirasakan oleh pemilih di akar rumput.

Hal ini tampak dari kecenderungan responden dengan latar belakang pendidikan tinggi cenderung lebih kritis dan lebih banyak mendorong ambang batas pemilihan presiden ini diturunkan syaratnya atau dihapuskan. Hal ini berbeda dengan aspirasi responden berpendidikan rendah yang lebih memilih tetap saja diberlakukan.

Memuat data...

KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Sejumlah aktivis yang mendaftarkan Pengujian Undang-undang No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan umum, membentangkan spanduk di depan Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) usai melengkapi syarat gugatan di MK, Jakarta, Kamis (21/6/2018). Mereka meminta agar MK menghapus ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden dalam Pilpres.

Pada akhirnya, melihat tren masih adanya pengajuan permohonan uji materi terhadap ambang batas pemilihan presiden memberikan sinyal bahwa regulasi soal pengaturan syarat pengajuan calon presiden ini masih menyimpan masalah.

Apalagi dalam salah satu putusan Mahkamah Konstitusi terkait hal ini, pernah ada dissenting opinion dari Saldi Isra, salah satu hakim konstitusi, terutama pada putusan MK MK Nomor 53/PUU-XV/2017 tanggal 11 Januari 2018.

Ambang batas pencalonan presiden mengakibatkan masyarakat tidak memiliki kesempatan luas mengetahui dan menilai calon-calon pemimpin bangsa yang dihasilkan parpol. (LITBANG KOMPAS)

Baca juga : Menyoal Kembali ”Presidential Threshold”

Adblock test (Why?)

Baca Lagi Aje https://www.kompas.id/baca/riset/2021/12/27/ambang-batas-presiden-dan-kesetaraan-dalam-pemilu

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Ambang Batas Presiden dan Kesetaraan dalam Pemilu - kompas.id"

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.