Akan tetapi, peluang untuk merevisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum masih ada seiring dengan dinamika politik menjelang pelaksanaan Pemilu Presiden/Wakil Presiden, Pemilu Anggota DPR RI, Pemilu Anggota DPD RI, dan pemilu anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota serta pemilihan kepala daerah di 34 provinsi dan di 514 kabupaten/kota.
Semula pembentuk undang-undang, DPR RI dan pemerintah, bermaksud menyatukan regulasi pemilihan tersebut. Namun, belakangan Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum ditarik dari Daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) RUU Prioritas 2021.
Dengan demikian, UU No. 7/2017 tentang Pemilu tetap berlaku. Begitu pula UU No. 1/2015 yang telah mengalami tiga kali perubahan (UU No. 8/2015, UU No. 10/2016, dan terakhir UU No. 6/2020) bakal menjadi landasan hukum pelaksanaan Pilkada 2024.
Baca juga: Titi Anggraini: "Candidacy buying" berpotensi terjadi pada Pemilu 2024
Nama undang-undang ini relatif panjang, atau sering disingkat UU Pilkada. Undang-undang ini berlabel: Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang-Undang.
Namun, kedua undang-undang itu urung direvisi. Padahal, berdasarkan draf RUU Pemilu (pemutakhiran November 2020), rancangan undang-undang ini menyatukan sekaligus merevisi UU No. 7/2017 tentang Pemilu dan UU No. 1/2015 beserta tiga perubahannya.
Tidak hanya UU Pemilu dan UU Pilkada, pembuat undang-undang juga tidak melakukan revisi kembali UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Undang-Undang Parpol ini baru sekali mengalami revisi melalui UU No. 2/2011.
Dinamika Politik
Dinamika politik sepanjang tahun 2021 diwarnai pelbagai wacana, antara lain amendemen UUD NRI Tahun 1945 yang timbulkan polemik, mulai periodisasi masa jabatan presiden, pemunduran pemilu, penghapusan ambang batas pencalonan presiden, hingga calon presiden perseorangan.
Pada hari Selasa, 4 Mei 2021, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan uji materi verifikasi parpol peserta pemilu melalui Putusan Nomor 55/PUU-XVIII/2020. Putusan ini mewarnai perdebatan meski tidak seseru ambang batas pencalonan presiden maupun ambang batas parlemen.
Dalam putusan MK itu, KPU tetap melakukan verifikasi secara administrasi terhadap sembilan partai politik (parpol) yang lolos "parliamentary threshold" (ambang batas parlemen). Namun, parpol yang memiliki kursi di DPR ini tidak diverifikasi secara faktual.
Sementara itu, tujuh parpol yang tidak lolos ambang batas parlemen pada pemilu lalu dan partai baru yang sudah kantongi surat keputusan (SK) pengesahan badan hukum Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) diverifikasi secara administrasi dan faktual.
Sejumlah partai baru itu, antara lain Partai Gelombang Rakyat (Gelora), Partai Ummat, Partai Nusantara, Partai Era Masyarakat Sejahtera (Partai Emas), Partai Indonesia Terang (PIT), dan Partai Negeri Daulat Indonesia (Pandai).
Berikutnya, Partai Indonesia Damai (PID), Partai Masyumi, Partai Usaha Kecil Menengah (Partai UKM), Partai Usaha Kecil Menengah Indonesia (Partai UKM Indonesia), dan Partai Rakyat Adil Makmur (Partai Prima).
Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini melihat ada pertimbangan kekinian, yakni memberikan kesamaan kesempatan dalam mengambil bagian atau berperan serta dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya kesamaan kesempatan dalam berkontribusi di bidang politik.
Baca juga: Perludem dorong parpol pastikan peningkatan keterwakilan perempuan
Dengan adanya fakta-fakta di lapangan, kata Titi Anggraini, bahwa biaya negara untuk melakukan verifikasi partai politik tidak murah, apalagi dalam situasi dan kondisi ekonomi negara saat ini yang harus membiayai penanggulangan pandemi COVID-19.
Alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini melihat dari perspektif keadilan, yaitu memperlakukan sama terhadap sesuatu yang seharusnya diperlakukan sama dan memperlakukan berbeda terhadap sesuatu yang seharusnya diperlakukan berbeda.
Pada tahun 2021, uji materi keserentakan pemilu terbaru ditolak MK melalui Putusan No. 16/PUU-XIX/2021. Ditegaskan oleh MK harus dilakukan perbaikan manajemen pemilu melalui tindak lanjut Putusan MK No. 55/PUU-XVII/2019 (enam model keserentakan pemilu).
Berkenaan dengan hal tersebut, dengan telah makin dekatnya pelaksanaan tahapan pemilihan umum serentak 2024 maka melalui putusan ini Mahkamah menegaskan agar pembentuk UU dan penyelenggara pemilihan umum segera menindaklanjuti putusan MK a quo (tersebut).
Bagi Mahkamah, hal penting dalam penyelenggaraan pemilihan umum serentak adalah tetap terjaminnya penerapan asas dan prinsip penyelenggaraan pemilihan umum sebagaimana ketentuan Pasal 22E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.
Terlebih lagi, dalam Putusan MK No. 55/PUU-XVII/2019, Mahkamah telah mempertimbangkan penyelenggaraan pemilihan umum serentak harus memperhitungkan dengan cermat semua implikasi teknis atas pilihan model yang tersedia sehingga pelaksanaannya tetap berada dalam batas penalaran yang wajar, terutama untuk mewujudkan pemilihan umum yang berkualitas.
Titi Anggraini pada acara Refleksi Akhir Tahun 2021 bertajuk Dinamika Ketatanegaraan dan Kepemiluan Indonesia secara daring, Kamis (30/12), berpendapat bahwa pembentuk UU dan penyelenggara pemilihan umum dapat saja menyepakati adanya jeda waktu antara pemilu anggota DPRD provinsi/kabupaten/Kota dengan pemilihan umum anggota DPR, anggota DPD, serta Pemilu Presiden/Wakil Presiden.
Isu Krusial
Sejumlah isu krusial sepanjang tahun 2021 yang dicatat oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), sebagaimana yang disampaikan Titi Anggraini, antara lain model keserentakan Pemilu 2019 akan berulang setelah RUU tentang Pemilihan Umum ditarik dari Daftar Prolegnas RUU Prioritas 2021.
Berikutnya terkait dengan kompleksitas teknis dan beban penyelenggara, hasil evaluasi Pemilu 2019 dan pilkada serentak tidak difasilitasi oleh perubahan UU, amendemen konstitusi dengan spekulasi masa jabatan presiden tiga periode, dan penundaan Pemilu 2024 hingga 2027.
Fenomena calon tunggal yang makin hegemonik. Tercatat 25 daerah yang menggelar Pilkada 2020 diikuti calon tunggal, bahkan semuanya menang. Selanjutnya, relasi penyelenggara pemilu yang problematik dan panas dingin, bahkan terkesan rivalitas "tiga saudara" (KPU, Bawaslu, dan DKPP).
Baca juga: Titi Anggraini sayangkan pembahasan jadwal pemilu berlarut-larut
Selain itu, Perludem mencatat pemberhentian jabatan Ketua KPU Arief Budiman, tafsir menyimpang pencalonan mantan terpidana oleh Bawaslu, serta uji materi sifat putusan final dan mengikat Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP) ke MK oleh dua anggota KPU, Evi Novida dan Arief Budiman.
Terobosan MK dalam memaknai ambang batas selisih suara sengketa hasil pilkada, perselisihan hasil pemilihan (PHP) yang berlarut-larut, dan dinamika yang melampaui kerangka hukum pemilihan yang ada, seperti PHP Nabire (masalah daftar pemilih tetap/DPT), Boven Digoel (salah tafsir mantan terpidana), dan pemungutan suara ulang (PSU) Pemilihan Bupati/Wakil Bupati Yalimo, Papua.
Menurut Titi yang pernah terpilih sebagai Duta Demokrasi mewakili Indonesia dalam International Institute for Electoral Assistance (International IDEA), ada kecenderungan permasalahan berulang di Papua. Selain itu, terobosan kerangka waktu pada PHP Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur, (kepesertaan warga negara asing pada pilkada).
Hal lain yang sempat mengemuka di tengah publik, yakni kontroversi dan tarik-menarik kepastian tahapan Pemilu 2024, bahkan tersaji polemik antara Pemerintah dan KPU. Berikutnya terkait dengan kebutuhan penjabat kepala daerah dalam jumlah besar memunculkan kontroversi pengisian penjabat dari TNI/Polri aktif.
Isu lainnya, relevansi permanenisasi penyelenggara pemilu di kabupaten/kota di tengah desain keserentakan pemilu dan pilkada pada tahun yang sama. Begitu pula seleksi penyelenggara pemilu yang mendapatkan sorotan terkait dengan transparansi dan akuntabilitas proses. Bantuan keuangan parpol masih menjadi tumpuan reformasi dan demokratisasi internal parpol.
Rekomendasi
Atas isu krusial yang mengemuka sepanjang tahun 2021, Perludem memandang perlu pembentuk UU dan penyelenggara pemilu menyepakati adanya jeda waktu antara pemilu anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota dan Pemilu Anggota DPR, Pemilu Anggota DPD RI, serta Pemilu Presiden/Wakil Presiden. Apalagai Putusan MK No. 16/PUU-XIX/2021 memberi ruang untuk itu.
Rekomendasi lainnya, perlu pula dielaborasi dan dipertimbangkan serius sebagai pilihan untuk mengurai beban dan kompleksitas pemilu.
Perpanjangan masa jabatan penyelenggara pemilu di provinsi dan kabupaten/kota setidaknya sampai dengan akhir tahapan Pilkada 2024. Namun, hal ini memerlukan perubahan UU No. 7/2017. Terkait dengan revisi UU Pemilu dan UU Pilkada ini bisa dilakukan melalui revisi terbatas ataupun penerbitan Perpu Pemilu.
Saran lain dari Perludem ini terkait dengan keserentakan rekrutmen penyelenggara pemilu secara nasional. Selain itu, juga untuk menghindari hambatan penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada 2024, serta mengingat pertimbangan kekinian situasi dan kondisi ekonomi negara saat ini yang harus membiayai penanggulangan pandemi COVID-19.
Rekrutmen penyelenggara pemilu harus keluar dari stigma pragmatis dan banyaknya kelindan kepentingan sektarian. Berikanlah penyelenggara pemilu terbaik untuk Indonesia. Mereka yang independen, imparsial, berintegritas, profesional, dan berorientasi pelayanan.
Oleh D.Dj. Kliwantoro
Editor: Herry Soebanto
COPYRIGHT © ANTARA 2021
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Kerangka hukum Pemilu 2024 tak jauh beda dengan aturan Pemilu 2019 - ANTARA"
Posting Komentar