Ibarat Tom and Jeirry. Dua karakter yang selalu ngajak ribut. Analogi ini disematkan kepada KPU dan Bawaslu ketika keduanya mengalami perseteruan tajam. Kadang disebabkan oleh perbedaan pandangan hukum, tidak jarang karena Bawaslu mengkoreksi kinerja KPU. Ketika menemukan jalan buntu, keduanya bertemu di meja sidang etik DKPP.
Pengalaman ini menjadi catatan penting bagi proses seleksi KPU Bawaslu periode 2022-2027 yang sedang berlangsung. Tim seleksi sangat diharapkan menghasilkan calon penyelenggara pemilu yang tidak hanya mahir dalam melaksanakan dan mengawasi tahapan, tetapi juga mampu menjaga soliditas untuk menjamin integritas.
Mengapa? Karena pelaksanaan tahapan Pemilu 2024 serentak sangat kompleks. Wajib diemban oleh penyelenggara yang solid. Dengan tetap menjalankan fungsi kelembagaannya masing-masing, konsolidasi penyelenggara pemilu wajib dimulai sedini mungkin.
Konsolidasi bukan berarti selalu satu suara, tetapi mewujudkan satu kesatuan penyelenggaraan. Kesatuan penyelenggaraan itu bahkan tercermin dalam Pasal 22E Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: pemilihan umum diselenggarakann oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Kata "komisi pemilihan umum" yang disebutkan dengan huruf kecil itu menandakan satu kesatuan penyelenggara(an) pemilu antara KPU, Bawaslu, dan DKPP.
Antar penyelenggara pemilu tidak hanya sering berkomunikasi, tetapi membangun kesatuan fungsi. Konsolidasi adalah kerja sama, bukan sama-sama kerja. Dalam satu tahapan, tanggung jawab antar penyelenggara pemilu bisa berbeda jalur, tetapi tetap menuju satu terminal, yaitu pelaksanaan pemilu yang berkualitas.
Wujud konsolidasi antar penyelenggara pemilu setidaknya ditunjukkan dari tiga titik temu, yaitu pencegahan, penyelenggaraan, dan penegakan hukum. Titik temu yang pertama adalah pencegahan. Yaitu, padunya program penyelenggara pemilu untuk menghindari adanya potensi yang dapat menggangu pemilu berjalan demokratis.
Dalam melaksanakan sosialisasi dan pengawasan partisipatif antar penyelenggara pemilu harus saling undang dan wajib datang. Menunjukkan bahwa informasi pemilu dan mencegah pelanggaran pemilu menjadi tanggung jawab bersama. Tunjukkan bahwa dalam hal melakukan pencegahan, seluruh penyelenggara pemilu bersama jajaran berada dalam satu barisan, yaitu kebersamaan.
Pengetahuan kepemiluan menjadi tanggung jawab KPU. Programnya adalah meningkatkan kapasitas pemilih dan membangun kesadaran sebagai warga negara untuk terlibat aktif dalam tahapan pemilu. Sementara Bawaslu menindaklanjuti pemilih yang sadar tersebut dengan memberikan ketrampilan pengawasan. Membersamai masyarakat pemilih untuk mengawasi dan melaporkan segala tindakan yang menciderai demokrasi.
Kegiatan pencegahan yang dilakukan juga saling mendukung satu sama lain, bukan saingan atau justru saling menegasikan. Jika KPU mengisi ruang kognisi pemilih dan masyarakat dengan Rumah Pintar Pemilu, maka Bawaslu mendayagunakan pemilih yang pintar itu untuk melakukan kaderisasi dalam pengawasan partisipatif.
Jika titik temu ini diberlakukan, maka irama partisipasi masyarakat bisa berdendang dengan kuat. Terdapat pembagian tanggung jawab antar penyelenggara pemilu dalam meningkatkan partisipasi masyarakat, baik partisipasi menggunakan hak pilihnya ataupun melaporkan dugaan pelanggaraan pemilu setiap kali menemukannya.
Dan, tidak kalah penting, pola kebersamaan dalam pencegahan juga diberlakukan kepada peserta pemilu, sebagai aktor penting terwujudkan pemilu yang jujur dan adil. Regulasi dan standar tata laksana yang diputuskan oleh penyelenggara pemilu, disosialisasikan kepada peserta pemilu sesegera mungkin. Termasuk untuk menghindari adanya pelanggaran yang disebabkan oleh ketidaktahuan.
Kebersamaan dalam sosialisasi menyampaikan apa yang diatur, apa yang dilarang sekaligus bagaimana cara penegakan hukumnya jika dilanggar. Menyampaikan ketentuan ini dengan lengkap hanya bisa dilakukan oleh antar penyelenggara pemilu secara berbarengan. Dan, kebijakan kebersamaan ini diwujudkan di seluruh penyelenggara pemilu dari level RI, Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, Desa/Kelurahan bahkan hingga TPS.
Kebersamaan juga terwujud dalam pembuatan materi sosialisasi. Pengembangannya disusun dengan saling koordinasi antara materi, metode, dan publikasinya. Misalnya terkait gerakan anti-politik uang. KPU menyusun materi terkait bahaya dan dampak politik uang di segmen masyarakat yang rentan adanya transaksi tersebut berdasarkan dari wilayah yang dipetakan rawan oleh Bawaslu. Bawaslu menyusun strategi pencegahan dan penindakan politik uang berdasarkan dari studi perilaku pemilih yang dihasilkan KPU.
Titik temu kedua adalah penyelenggaraan. KPU melaksanakan tahapan, Bawaslu melakukan pengawasan. Setiap akan melaksanakan tahapan, antar penyelenggara pemilu termasuk pihak terkait menyusun regulasi dan standar tata laksana bersama. Penyusunan regulasi dimaksudkan agar setiap tahapan berkepastian hukum. Tidak ada lagi kekosongan hukum, tidak multi-tafsir dan tidak ada ketentuan yang tidak bisa dilaksanakan.
Pengalaman 2019 dan 2020 menyebutkan, terdapat peraturan perundang-undangan yang mendapatkan catatan yaitu teknis penyelenggaraan, penghitungan suara menggunakan teknologi informasi, tindak lanjut penanganan pelanggaran administrasi, perbedaan waktu penanganan pelanggaran dan perbedaan ketentuan tentang mantan terpidana korupsi.
Belajar dari ketegangan masa lalu, antar penyelenggaran pemilu menyusun regulasi lebih awal dan membangun kesepahaman bersama dan dengan pihak lainnya yang bersinggungan baik langsung maupun tidak langsung. Regulasi merespon dengan cepat dan tepat terhadap waktu penyelenggaraan yang berhimpitan.
Regulasi yang disusun bersama tersebut juga dipastikan mendapatkan masukan dari kelompok masyarakat. Masukan ini menjadi penyempurna atas penyusunan yang partisipatif. Apa yang dapat dikontribusikan oleh kelompok masyarakat dijamin dalam ketentuan perundang-undangan.
Fungsi check and balances yang diberlakukan Bawaslu dalam melaksanakan pengawasan, penindakan dan penyelesaian sengketa diawali dengan kesepahaman pandangan terhadap ketentuan perundang-undangan.
Dalam hal melakukan pengawasan, antar penyelenggara pemilu wajib sama-sama terbuka. Setidaknya terbuka antarsesama penyelenggara. Misalnya dalam pelaksanaan tahapan pemutakhiran daftar pemilih. KPU membuka data pemilih sejak awal, Bawaslu menjamin kerahasiaan saat pengawasan. Bukan atas nama kerahasiaan, KPU menutup data dan Bawaslu tidak dapat melaksanakan kewajibannya. Pada akhirnya yang terjadi adalah perdebatan tanpa ujung terkait keterbukaan informasi antar penyelenggara negara, bukan pada subtansi menyusun daftar pemilih yang komprehensif.
Di antara cara yang memudahkan untuk saling terbuka dalam data adalah menggunakan sistem informasi. KPU memang tidak perlu memberikan data mentah-mentah kepada Bawaslu. KPU cukup memberikan akses penuh (full accsess) kepada Bawaslu terhadap Sistem Pendaftaran Pemilih (SIDALIH) yang dikembangkanya. Tentu Bawaslu bertangung jawab untuk menjamin kerahasiaan terutama informasi data pribadi.
Dengan memberikan akses penuh ini di setiap level penyelenggara setiap tahapan, maka memudahkan Bawaslu untuk melakukan analisis, mencari temuan dan memberikan rekomendasi perbaikan. Rekomendasi perbaikan dari Bawaslupun harus menyesuaikan sistem yang dibangun KPU sehingga ketika melakukan tindak lanjut atas rekomendasi tersebut bisa dilakukan secara mudah dan cepat.
Titik temu ketiga adalah penegakan hukum. Ini adalah upaya terakhir bagi penyelenggara pemilu apabila dalam kebersamaan di level pencegahan dan penyelenggaraan memerlukan upaya penindakan dan penyelesaian sengketa. Tidak jarang pada level penegakan hukum ini disebabkan juga oleh tindakan peserta pemilu, partai politik, tim kampanye, pemilih, dan pihak lainnya.
Justru di titik temu ketiga inilah KPU dan Bawaslu diuji soliditas dan kinerjanya. Ujian soliditas dan kinerja saat melaksanakan tahapan dan pengawasan bertemu dengan sikap dan tindakan pihak lain. Ruang penegakan hukum menjadi pembuktian apakah KPU menjalankan fungsinya dengan maksimal dan apakah Bawaslu melakukan pengawasan melekat yang optimal.
Pengalaman Pemilu 2019 tentang perbedaan pemahamaan terkait kampanye diluar jadwal tidak perlu berulang. Perbedaan pemahaman di ruang pengadilan ini pada akhirnya mengurangi kebersamaan pemahaman antar penyelenggara Pemilu dalam hal penegakan ketentuan pidana. Penegakan hukum pidana adalah penegakan yang paling membutuhkan pemahaman bersama.
Ketiga titik temu antar penyelenggara pemilu dalam melakukan pencegahan, penyelenggaraan, dan penegakan hukum adalah prasyarat untuk mewujudkan integritas Pemilu 2024 yang kompleks. Tim seleksi KPU Bawaslu dapat memperhatikan aspek kemudahan dalam mewujudkan titik temu ini ketika menentukan para calon penyelenggara pemilu sebelum diserahkan ke Presiden awal tahun ini.
Pada akhirnya, mempersiapkan Pemilu 2024 yang berkualitas adalah tanggung jawab kita bersama. Mendasarkan pengalaman untuk melakukan perbaikan pemilu mendatang. Tanpa mengurangi kewajiban dan kewenangan yang diberikan undang-undang, kebersamaan mewujudkan pemilu berintegritas kita mulai dari komposisi penyelenggara pemilu yang memiliki jiwa titik temu, bukan titik pisah apalagi titik tengkar. Semoga.
Masykurudin Hafidz pemerhati pemilu dan demokrasi, founder CM Management
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Titik Temu Penyelenggara Pemilu - detikNews"
Posting Komentar