HUKUM tidak boleh membedakan perlakuan terhadap setiap parpol, baik yang telah memiliki kursi di DPR RI maupun yang baru didirikan. Undang-Undang (UU) Partai Politik jelas tidak membedakan apakah partai itu ”lama” atau ”baru”, dan juga tidak membedakan pula apakah partai itu sudah memiliki kursi di DPR RI atau belum memiliki kursi di DPR RI.
Acuannya sama, yaitu telah mendaftarkan sebagai peserta Pemilu. Dalam hal adanya UU yang membedakan perlakuan antara satu partai dengan partai-partai lainnya, jelas dan tegas telah melanggar atau bertentangan dengan asas “semua partai politik sama di hadapan hukum” dan prinsip ”Negara melalui UU wajib memperlakukan sama, sederajat, dan adil bagi semua partai politik”.
Dalam hal dibentuknya suatu norma ditujukan atau dimaksudkan hanya menguntungkan secara sepihak dan subjektif dari pihak yang membentuknya, dengan tanpa memperhatikan kepentingan pihak-pihak yang terkena hukum tersebut, maka jelas norma tersebut telah melanggar dan bertentangan dengan ”asas keadilan”.
Baca juga: Mari Bangkit dan Berprogres
Pada tahun 2020 Mahkamah Konstitusi (MK) melahirkan putusan tentang verifikasi partai politik peserta pemilu melalui putusan Nomor 55/PUU-XVIII/2020 menyebutkan bahwa partai politik yang telah lolos verifikasi Pemilu 2019 dan lolos/memenuhi ketentuan Parlimentary Threshold (PT) pada Pemilu 2019 tetap diverifikasi secara administrasi, tetapi tidak diverifikasi secara faktual.
Adapun partai politik yang tidak lolos/ tidak memenuhi ketentuan Parlimentary Threshold (PT) harus dilakukan kembali verifikasi administrasi dan faktual. Hal tersebut sama dengan ketentuan yang berlaku terhadap partai politik baru. Dalam hal putusan Mahkamah Konstitusi di atas akan menimbulkan perdebatan.
Pertama, karena dinilai inkonsistensi terhadap putusan-putusan serupa sebelumnya. Jika melihat ke belakang, MK sudah pernah melahirkan putusan Nomor 52/PUU-X/2012 pada pemilihan umum tahun 2014, Nomor 53/PUU-XV/2017 yang mana mengisyaratkan, bahwa semua partai politik diperlakukan sama dalam verifikasi.
Kedua, bagaimana putusan ini dapat adil dimaknai oleh semua partai politik yang ada. Karena ada parpol di luar Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tetapi mempunyai kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Kalau kita melihat putusan MK Nomor 53/PUU-XV/2017, putusan ini mengabulkan pasal 173 ayat (1) dan (3) tentang verifikasi partai politik. Pasal 173 ayat (1) UU Pemilu ini mengatur bahwa partai politik peserta pemilu merupakan partai politik yang telah ditetapkan atau lulus verifikasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Adapun ayat (3) menyebut, bahwa parpol yang telah lulus verifikasi dengan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak lagi diverifikasi dan ditetapkan sebagai parpol peserta pemilu. Dalam putusannya Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa frasa “ditetapkan” dalam Pasal 173 ayat (1) dan seluruh ketentuan pada Pasal 173 ayat (3) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Dalam pandangan MK , pasal tersebut inkonstitusional atau bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Intinya, putusan Mahkamah Konstitusi ini dapat dimaknai bahwa verifikasi faktual berlaku untuk seluruh partai politik calon peserta Pemilu 2019, termasuk 12 partai politik yang merupakan peserta Pemilu 2014. Verifikasi faktual ini tidak lagi hanya berlaku bagi partai politik baru yang lolos pada tahap penelitian administrasi.
Dalam Putusan MK Nomor 55/PUU-XVIII/2020, MK mengambil posisi untuk berubah sikap dari putusan sebelumnya atas pengujian norma yang substansinya sama dengan alasan penegakan prinsip keadilan.
Idealnya untuk memberi keadilan, semua partai politik wajib mengikuti dua proses verifikasi, baik administrasi atau faktual. Tidak boleh ada keistimewaan terhadap partai tertentu, hanya karena sudah lolos ambang batas parlemen pada pemilihan umum lalu.
Hal ini mengingat, tenggang waktu pemilihan umum yang lama, sangat memungkinkan terjadi perubahan dinamika politik di semua partai politik, baik di tingkat pusat maupun di provinsi dan kabupaten/kota. Dalam mengambil putusan, para hakim pun ada yang berbeda pandangan, tiga hakim MK yang melakukan dissenting opinion.
Ada sejumlah pertimbangan ketika putusan itu dikeluarkan. Pertimbangannya masih sama dengan putusan MK sebelumnya bahwa verifikasi faktual penting karena pertimbangan hukumnya adalah partai politik itu ketika mereka mendaftarkan sebagai partai politik peserta pemilu itu pada start yang sama. (*)
*) Wakil Sekretaris KAHMI Banyuwangi.
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Dilematika Putusan MK Terkait Pendaftaran Peserta Pemilu - Radar Banyuwangi"
Posting Komentar