Search

Sebuah dramaturgi pemilu - ANTARA

Jakarta (ANTARA) - Usai sudah pesta demokrasi pemilu serentak 2019. Para pejabat hasil pemilu serentak semua sudah ditetapkan. Pada ranah parlemen atau legislatif, pada 1 Oktober 2019 lalu sudah ditetapkan dan dilantik, yang terdiri dari anggota DPR sebanyak 575 orang, dan anggota DPD 136 orang.

Sementara di wilayah eksekutif, telah dilantik presiden dan wakil presiden terpilih periode 2019-2024, pasangan Joko Widodo-KH Ma’ruf Amin, bahkan Wakil presiden KH Ma’ruf Amin langsung bekerja dan mewakili presiden Jokowi menghadiri penobatan kaisar Jepang yang baru di Tokyo, Jepang.

Sebelum penetapan anggota kabinet, yang akan membantu presiden menjalankan roda pemerintahannya ke depan, ada peristiwa safari politik yang sangat menonjol yang dilakukan oleh Prabowo Subiyanto, menemui para eliet politik, di antaranya Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum DPP NasDem Surya Paloh, Ketua Umum DPP PPP, Soeharso Monoarfa, Ketua Umum Golkar, Erlangga Hartarto, dan masih banyak lagi.

Publik sudah dapat menebak arah safari politik Prabowo itu, mengingat sikap Jokowi yang membuka seluas-luasnhya bagi kubu lawan politik dalam pemilu untuk bergabung di pemerintahan. Dan jawabah dari safari politik itu sekarang dapat kita ketahui, yaitu dimasukkannya Prabowo Subiyanto menjadi anggota cabinet Jokowi sebagai menteri Pertahanan.

Apa yang bisa kita tarik dari bergabugnya kubu prabowo masuk dalam pemerintahan? Jawabannya adalah jelas, Jokowi sesungguhnya ingin membikin pemerintahan yang mayoritas (majority rule) dengan menggandeng para tokoh oposisi, meskipun dari pihak yang menjadi rivalnya dalam pilpres kemarin.

Dan itu berarti Jokowi tidak begitu tertarik pada sistem pemerintahan demokrasi.

Sebagaimana kita ketahui bahwa sistem politik Indonesia tidak mengenal oposisi, bahkan Prabowo berkali-kali juga mengatakan bahwa di negera kita tidak ada oposisi. Apa yang dikatakan oleh Prabowo itu sangat sering kita dengar baik dari media masaa maupun dari kampanyenya.

Indonesia tidak mengenal oposisi, apalagi oposisi yang frontal. Kita lebih mengedepankan jalan musyawarah. Ya, itulah kata yang paling ‘sakti’ yang kerapkali digunakan para elit untuk musyawarah dan mufakat.

Namun sayangnya, musyawarah para elit itu, yang kemudian dilengkapi dengan gotong royong, adalah kalimat sakti mereka yang paling kuat dan berkuasa untuk menguasai semuanya demi memuaskan syahwat kekuasaan elit politik.

Kita adalah bangsa yang bergotong-royong. Kita bangsa timur yang sopan, santun, dan beradab. Kesopanan, kesantunan, dan keadaban kita adalah untuk keluarga batih bukan di luar itu. Ketika ke luar dan mempertahankan kepentingan sendiri, kita sesungguhnya sangat brutal dan tidak beradab.

Perhatikan saja bagaimana kinerja para elit politik kita dewasa ini. Mereka adalah yang terpilih, kenyataannya rakyat juga yang memilih mereka hingga duduk di singgasana kekuasaan. Tapi rakyat hanya sekedar memilih, sementara dia tidak ada kuasa apapun atas pilihannya. Ketika pemilihan selesai, rakyat tidak bisa meminta pertanggungjawaban kepada mereka yang sudah dipilihnya itu.

Sesudah pemilihan, para kandidat yang dipilih rakyat dengan bebas menentukan apa saja dengan kata sakti yang bernama musayawarah itu demi kepentingannya.

Jauh sebelum pemilihan, rakyat saling bermusuhan antarpendukung. Masing-masing bersikeras bahwa calonnya yang terbaik dan calon lainnya adalah ancaman eksistensial untuk hidupnya. Sikap rakyat yang demikian ini bertambah keras ketika dikompori oleh para influencer dan para buzzer masing-masing calon.

Pemilihan pun usai, permusuhan antar pendukung masih dirasakan berlanjut hampir tanpa henti. Rasa dendam kesumat antarpendukung merasuk ke dalam kehidupan kelompok yang paling kecil yaitu keluarga. Perpecahan dan rasa disharmoni tidak kunjung hilang bahkan juga dalam lingkup yang lebih besar dari keluarga. Mereka masih beradu mulut; dan kadang cekcok itu berlanjut menjadi ajakan untuk berkelahi.

Sementara di sisi lain, bagaimana dengan para calon yang dipilih oleh rakyat sesudah pemilihan? Provokasi dan pemecahbelahan yang sangat keras mereka lakukan saat kampanye mereka tinggalkan. Mereka saling cium pipi kiri dan kanan. Mereka justru mengecap rasa manis, saling akrab perpelukan dan sudah barang tentu akan hidup bergelimang kemewahan.

Inikah pemerintahan yang mayoritas (majority rule) itu. Yang dibangun berdasarkan hasil kongkalikong para elit dengan mana musyawarah atau apa pun itu. Sebelum pemilihan mereka memecah-belah pemilihnya. Mereka menebarkan ketakutan lewat provokasinya dan membikin pendukung kubu sebelah ketakutan luar biasa.

Bahkan para elite politik dan intelektual publik pun ikut berpartisipasi menebar ketakutan ini. bahkan Seorang filsuf dan teolog mengeluarkan doktrin minus malum toleratur ut maius tollatur (setan yang lebih kecil dibenarkan untuk mengenyahkan yang lebih besar/the lesser evil is tolerated in order to remove the greater).

Jadi sudah dapat diduga, kegiatan safari politik dari para elit adalah demi persatuan yang kuat para elit. Mereka sangat toleran, dengan dalih rekonsiliasai atau apa pun itu, yang kita lihat sekarang adalah semua untuk para elit, sekarang saatnya berbagi, dan semua dapat bagian, semua senang.

Lalu bagaimana dengan rakyat jelata yang memilihnya, rakyat yang mengsungnya duduk dalam singgasana kekuasaan, yang masih menyimpan benci, dendam dan konflik berkepanjangan? Jelas, mereka tidak dapat bagian apa-apa. Rakyat akan kembali menjadi rakyat jelata yang terus menerus cekcok, sambil mencari dan memperjuangkan sendiri kehidupannya. Urusan rakyat, emang gue pikirin. Urusan belakangan.

*) Penulis adalah staf pengajar komunikasi politik di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Semarang.
 

Oleh Suryanto, S.Sos, M.Si *)
COPYRIGHT © ANTARA 2019

Let's block ads! (Why?)

Baca Lagi Aje https://www.antaranews.com/berita/1127375/sebuah-dramaturgi-pemilu

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Sebuah dramaturgi pemilu - ANTARA"

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.